OM. SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA, AM, UM, OM

PRAKATA

Selamat Datang

Semangat Hindu merupakan blog bersama umat Hindu untuk berbagi berita Hindu dan cerita singkat. Informasi kegiatan umat Hindu ini akan dapat menumbuhkan semangat kebersamaan.
Semangat Hindu semangat kita bersama.

Bersama Semangat Hindu kita berbagi berita dan cerita, info kegiatan, bakti sosial dan kepedulian, serta kegiatan keagamaan seperti ; pujawali, Kasadha, Kaharingan, Nyepi, Upacara Tiwah, Ngaben, Vijaya Dhasami dan lain sebagainya.

Marilah Berbagi Berita, Cerita, Informasi, Artikel Singkat. Bagi yang mempunyai Web/Blog, dengan tautan URL maka dapat meningkatkan SEO Web/ blog Anda.

Terima Kasih
Admin

RANBB

---#### Mohon Klik Share untuk mendukung blog ini ####---

Senin, 30 September 2013

Persaudaraan Semesta Menurut Veda

Persaudaraan Semesta Menurut Veda. Kembangkanlah cinta kasih, maka kita pun akan dikasihi mereka, disamping itu merasakan bahwa diri kita merupakan bagian dari satu kesatuan umat manusia, dengan demikian keserasian akan tumbuh berkembang. Setiap orang seperti saudara sendiri.



Cintailah semuanya dan dicintai oleh semuanya

Priyam ma krnu devesu,
priyam rajasu ma krnu.
priyam sarvasya pasyatah
uta sudra utarye

Atharvaveda XIX.62.1
"Ya, Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami dicintai oleh para devata dan para pemimpin bangsa. Semoga kami dikasihi oleh semuanya, siapapun yang memperhatikan (memahami) kami, apakah seorang pengusaha ataukah seorang pekerja"

Rasakan kesatuan dengan semua umat manusia

Yasmin sarvani bhutani-
atmaiva-bhud vijanatah,
tatra ko mahah kah soka
ekatvam anupasyatah

Yayurveda XI.7
"Bilamana orang yang cerdas menjalankan persatuan dengan seluruh dunia yang bernyawa (hidup) dan merasakan kesatuan dengannya, lalu semua keterikatan dan malapetaka lenyap"

Semoga kami memiliki keserasian dengan semua

Samjnanam nah svebhih
samjnanam aranebhih

Atharvaveda VII.52.1
"Semoga kami memiliki kerukunan dengan orang-orang yang dikenal dengan akrab dan orang-orang asingpun"

Orang-orang yang dermawan memperoleh popularitas

Narasamsam sudhrstamam,
apasyam saprathastamam.

Rgveda I.18.9
(Orang yang dermawan dan orang yang mau berusaha (dengan giat) segera memperoleh popularitas)

Begitu luhurnya ajaran Veda bagi kehidupan manusia, memandang dengan luas terhadap alam semesta dan ciptaannya, tidak sempit hanya dengan satu mata saja.

Buku Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan oleh I Made Titib (RANBB)


Kamis, 26 September 2013

Majelis Permusyawaratan

Majelis disebut vidatha, sabha, samsad dan samiti, yang dihadiri oleh para pemimpin (bangsa). Fungsi majelis adalah untuk membimbing dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Gedung majelis hendaknya bagus terdiri dari banyak tiang (yang kokoh). Para anggota majelis dicalonkan oleh rakyat melalui pemimpinnya. Terdapat 7 buah departemen (komisi) dalam majelis. Dengan adanya majelis para pemimpin akan mantap (melaksanakan tugasnya), diharapkan pula keputusan majelis mendapat persetujuan anggota secara sepakat bulat. Setiap anggota majelis hendaknya tunduk kepada aturan yang berlaku.

Pemimpin menghadiri Majelis Permusyawaratan

Candro yati sabham upa . (Rgveda VIII.4.9)

'Sang Hyang Candra, sebagai seorang pemimpin, menghadiri Majelis permusyawaratan.'

Vidathyo na samrat . (Rgveda IV. 21 .2)

'Pemimpin menghadiri sidang Vidatha (Majelis Permusyawaratan)'

Raja na satyah samitir iyanah . (Rgveda IX. 92. 6)

'Seperti seorang pemimpin, menghadiri sidang Samiti (Majelis Permusyawaratan)'

Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan oleh I Made Titib (RANBB)


-->

Selasa, 24 September 2013

Saivisme, Sekta Saiva di Indonesia

Sekta Saiva merupakan sekta yang terpenting dan paling banyak pengaruhnya di Indonesia. Candi-candi besar yang ada di Indonesia sebagian besar merupakan warisan pemikiran dari sekta Siva. Sekta ini memiliki 28 kitab agama dan kamika agama yang dianggap paling penting.

Agama adalah dasar bagi semua perkembangan Saivisme di mana saja. Saivisme di Kashmir dikenal dengan Saivakasmira berkembang di India Utara sedang yang berkembang di Selatan dikenal dengan Saiva Siddhanta. Sekta Saivisme di India Utara dikenal pula dengan nama Pratibhijna yang berkembang sampai ke wilayah-wilayah bekas kerajaan dari maharaja Kaniska di sekitar awal Masehi. Ajaran agama ini berkembang pula ke daratan Tiongkok dan selanjutnya berkembang sampai ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa China di Indonesia.

Di dalam sekta Saiva ini, pegangan utamanya bukan hanya kitab-kitab agama, tetapi juga kitab-kitab Veda (Sruti) dan Smrti (dharmasastra). Agak berbeda sedikit dengan sekta Vaisnava. Tiap agama dalam sekta Saiva dianggap mempunyai upagama seperti halnya upaveda untuk tiap kitab Veda (Sruti). Untuk sekta Saiva, pusat perhatiannya adalah kepada Siva dan agama Siva terbuka bagi setiap orang (varna dan profesi seseorang dalam masyarakat), termasuk juga tidak membeda-bedakan pengikut laki-laki atau perempuan, termasuk pula untuk menjadi Pandita (Dvijati). Sebagai akibat dari sistem sosial ini, ajaran agama tidak menekankan kepada Catur Varna seperti halnya sistem Brahmaisme yang justru menekankan arti dan fungsi seseorang dalam Catur Varna. Saivisme merupakan jalan tengah antara sekta Vaisnava dengan Brahmaisme.

Buku Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, I Made Titib (RANBB)

-->

Senin, 23 September 2013

PHDI, Bhisama tentang Kesucian Pura

Pertahankan Pura sebagai Kawasan Suci. 

Pura sebagai kawasan suci memegang peranan penting dalam konteks hubungan spiritual umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Keberadaan Pura di Bali yang jumlahnya sangat banyak sehingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura. Sebagai tempat suci yang disakralkan, terdapat banyak aturan atau pantangan yang memang harus diikuti, baik oleh krama Hindu dalam melakukan persembahyangan, wisatawan yang berkunjung atau para penggiat ekonomi seperti para pedagang. Aturan itu dimaksudkan agar Pura memiliki radius tertentu sehingga tidak sembarang orang bisa masuk di luar kepentingan persembahyangan.

Parisada Hindu Dharma Indonesia, PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut. Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan. Apalagi banyak pura di Bali sudah dijadikan destinasi kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Melihat kenyataan di lapangan demikian bebasnya wisatawan yang berkunjung ke pura, misalnya wisatawan sampai masuk ke jeroan, padahal ada umat Hindu yang sedang bersembahyang, sebaiknya aturan berwisata ke Pura dikaji lagi. Wisatawan diizinkan berkunjung ke Pura hanya sampai di jaba tengah.

Selain wisatawa, perlu juga mendapatkan perhatian serius adalah keberadaan pedagang-pedagang kaki lima yang hilir mudik sampai pelataran Pura. Apalagi diketahui banyak pedagang non-Hindu seenaknya keluar masuk areal Pura. Hal ini, selain terkesan mengganggu juga kebanyakan pedagang tersebut tidak mengindahkan aturan yang ada. Karena itu perlu dikaji ulang kebijakan yang membebaskan wisatawan berkunjung ke Pura, agar tidak mengganggu kesakralan Pura dan konsentrasi umat yang bersembahyang terjaga.

Perlu juga dibuatkan radius/jarak untuk memisahkan kegiatan persembahyangan dengan kegiatan perekonomian penunjang pariwisata. Sehingga, fungsi awal Pura sebagai kawasan suci umat Hindu kembali terwujud, karena banyak juga pihak-pihak luar ingin mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan Pura sebagai lahan bisnis pariwisata yang potensinya cukup menjanjikan.

Menjadi tanggung jawab umat Hindu untuk menjaga keberadaan kawasan suci. Menjaga kesakralan Pura merupakan harga mati yang mesti dipertahankan. Pura adalah kawasan spiritualitas bukan untuk kepentingan komersial berbasis profit.

Sumber : I Gusti Bagus Usada (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta Bali)
http://www.balipost.co.id


-->

Minggu, 22 September 2013

Dan Engkau Akan Kembali Menjadi Debu

Ketika kita meninggal dunia, badan material yang terdiri dari lima unsur ini - tanah, air, udara, api dan eter - membusuk, dan material-material kasar itu kembali ke elemen-elemen semula. Atau, yang dikatakan Kitab Injil Kristiani, "Engkau adalah debu, dan kepada debulah engkau kembali." Berbagai masyarakat dunia memperlakukan mayat dengan berbagai cara, ada yang menguburnya, dan ada pula yang membuangnya untuk dimakan binatang buas. 

Di India, masyarakat Hindu memperlakukan mayat dengan membakarnya, demikian, mayat itu menjadi abu. Abu hanyalah sejenis tanah. Oleh kebanyakan masyarakat Kristiani, mayat dikubur, dan akhirnya badan dalam kuburan itu pun kembali menjadi debu-debu setelah beberapa waktu, yang sekali lagi, seperti halnya abu, adalah tanah dalam bentuk lain. 

Adapun masyarakat lainnya-- Jadi bagaimanapun, badan jelita atau tampan ini, yang kita sabuni setiap hari atau dengan perawatan spa, dipusat-pusat kebugaran dan perawatan tubuh, akhirnya akan menjadi jelaga, kotoran atau debu juga. Begitu kita mati, unsur-unsur halus (pikiran, kecerdasan dan ego palsu), yang secara utuh disebut kesadaran, membawa butiran sang roh yang kecil itu memasuki badan baru yang lain untuk menikmati atau menderita, menurut pekerjaannya.

Buku Kembali Lagi Sains Reinkarnasi Sri Srima A.G. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. (RANBB)

Rabu, 18 September 2013

Kitab Hindu dan Buku Suci

Kitab Suci Weda 


Kitab Hindu dan Buku Suci dibagi dalam dua kategori utama yaitu Sruti dan Smriti. Sruti secara harfiah berarti "bahwa apa yang diwahyukan" dan Smriti berarti "bahwa apa yang diingat." Oleh karena itu, Sruti adalah apa yang orang-orang suci Hindu kuno terdengar selama meditasi mendalam. Sruti milik periode Weda sementara Smriti milik periode pasca-Veda. Srutis lebih filosofis dan ritual di alam sementara Smritis perhatian lebih dengan hukum moral dan sipil.

Sruti terdiri dari empat Veda, Upanishadas, Brahmana, Aranyaka, dan Bhagvadgita sementara Smriti terdiri dari Manu Smriti, 18 Puranans, Ramayana, dan Mahabharata dan buku lainnya suci Hindu. Smriti literatur dianggap kurang otoritatif dari Sruti.

Kami mencoba untuk daftar di sini karena banyak buku suci Hindu dan buku lain sebanyak mungkin. Jika Anda tahu ada buku Hindu selain ini, jangan ragu untuk menginformasikan kepada kami tentang orang suci.

Empat Vedas: Rigveda, Atharvaveda, Samveda, Yajurveda

Smritis: Manusmriti, Narada Smriti, Brihaspati Smriti, Yajnavalkya Smriti,

Vedangas (Sutras): Shiksha (Phonetics), Kalpa (Ritual), Vyakarana (Grammar), Nirukta (Etymology), Chhandas (Metrics), Jyotisha (Astronomy), Brahmanas, Aranyakas, Upaniashadas, Aitareya, Chandogya, Kena, Katha, Taittiriya, Svetasvatara, Maitrayani, Isha, Brihadaranyaka, Mandukya,
Mundaka

Upvedas: Ayurveda (Medical Science), Dhanurveda (Military Science), Gandharvaveda (Musical Knowledge), Shilpveda (Science of Architecture),
Bhagvadgita

18 Puranas: Vishnupurana, Shivpurana, Skandhapurana, Varahpurana, Agnipurana, Bhagvatpurana, Bhavishyapuran, Brahmapuran, Brahmandapuran,
Brahmavaivartapuran, Kurmapuran, Lingpuran, Markandeyapuran, Matsyapuran, Naradapuran, Padmapuran, Vamanapuran, Vayupuran

Up-puranas:  Sanat-Kumara, Narasimha, Brihan-Naradiya, Siva-rahasya, Durvasa, Kapila, Vamana, Bhargava, Varuna, Kalika, Samba, Nandi, Surya, Parasara, Vasishtha, Devi-Bhagvata, Ganesha, Mudgala, Hansa, Ramayana, Mahabharata


Diterjemahkan dari sumber aslinya : http://hinduismfacts.org/hindu-scriptures-and-holy-books/  (RANBB)

Selasa, 17 September 2013

Suku Tengger dan Kepercayaan Hindu Mahayana

Suku Tengger dan Kepercayaan Hindu Mahayana

Pada awal tahun 100 Sebelum Masehi orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Namun, setelah Islam mulai masuk ke tanah Jawa pada tahun 1426 Sebelum Masehi keberadaan mereka mulai terdesak.

Mereka pun kemudian mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yakni di daerah pegunungan tengger dan membentuk kelompok atau suku yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).

Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan yaitu Hindu Mahayana. Pada abad ke-16, para pemuja Brahma yang tinggal di Pegunungan Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata Persia) sehingga orang-orang Tengger yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi.

Perpindahan agama orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi tersebut ternyata tidak serta merta menghilangkan seluruh kepercayaan awal mereka. Orang Tengger masih tetap melakukan ajaran Budha termasuk kebiasaan yang pada akhirnya dianut juga oleh penganut Hindu Parsi.

Masyarakat Tengger mempercayai Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi, dan moksa. Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk halus penunggu desa) yang di puja di sebuah punden.

Punden tersebut biasanya terletak di bawah pohon besar atau dibawah batu besar. Roh leluhur pendiri desa mendapatkan dibawah batu besar. Roh leluhur pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di sanggar pemujaan. Setahun sekali masyarakat suku tengger mengadakan upacara pemujaan roh leluhur di kawah Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada. Ajaran agama tersebut di satukan dalam sebuah kitab suci yang ditulis di atas daun lontar yang dikenal dengal nama Primbon.

Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

Dalam melaksanakan peribadatan, masyarakat Tengger melakukan ibadah di punden, danyang dan poten. Poten adalah tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Keberadaan poten ada pada sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zona yakni Mandala utama (Jeroan), Mandala Madya (jaba tengah) dan mandala Nista (Jaba sisi).

sumber : http://www.wartabromo.com/2013/07/27/suku-tengger-dan-kepercayaan-hindu-mahayana/


-->

Pemuda Hindu Indonesia Aksi Sosial di Dusun Ceto

Peradah Gelar Program Pembiayaan Mitra Binaan di Dusun Ceto. Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) menggelar aksi sosial berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Aksi tersebut direalisasikan lewat program Pembiayaan Mitra Binaan Nusantara (PMBN) yang dimulai sejak Mei 2013.

Gede Ariawan, Ketua Program PMBN, mengatakan program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi pemuda dan masyarakat pada umumnya. “Kemandirian ekonomi merupakan fondasi bagi peningkatan kualitas hidup mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan akan pendidikan,” jelas Ariawan 


PMBN yaitu program pengembangan dan pembinaan masyarakat di daerah pedesaan untuk mengembangkan potensi daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk dari program ini di Dusun Ceto adalah penyuluhan atau pelatihan tentang pertanian dan kerajinan patung yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat Dusun Ceto.

Potensi ini dapat terus dikembangkan sehingga memiliki potensi untuk pengembangan eko wisata yang terpadu. Dusun Ceto terkenal dengan wisata religi yang memukau serta diperkaya dengan kawasan hijau pedesaan di sekitarnya.

Kawasan ini juga didukung dengan potensi di sekitar Ceto seperti perkebunan teh, kubis, sayur hijau, wortel, dan tanaman pangan lainnya yang mampu hidup di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.

Apabila kedua sektor tersebut dikembangkan, maka dapat meningkatkan perekonomian di daerah tersebut.

PMBN merupakan suatu program bantuan kemitraan untuk pengembangan wirausaha dalam rangka peningkatan produktivitas masyarakat.

Pelaksanaan program PMBN dimulai dari pendampingan dan pelatihan, perencanaan usaha, perhitungan modal dan operasional, pembuatan proposal hingga kunjungan langsung ke lapangan untuk melihat kondisi riil dari usaha yang telah menerima bantuan.

Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan di Dusun Ceto untuk meningkatkan kesejahteraan tidak hanya di sektor kerajinan dan pertanian namun juga di sektor pariwisata.

Hal ini dilakukan mengingat potensi pariwisata di daerah ini sangatlah menjual. Candi Ceto merupakan candi yang sakral dan menjadi tempat peribadatan bagi masyarakat sekitar yang didukung dengan kawasan yang berbukit, sejuk, dan berkabut. Candi Ceto merupakan destinasi wisata yang menarik di Jawa Tengah.

sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/09/17/peradah-gelar-program-pembiayaan-mitra-binaan-di-dusun-ceto




Senin, 16 September 2013

Gajah Mada adalah Patih Mangkubumi

Belajar dari Sejarah.

Gajah Mada adalah patih mangkubumi (maha patih) Kerajaan Majapahit. Namanya mulai dikenal setelah beliau berhasil memadamkan pemberontakan Kuti. Gajah Mada muncul sebagai seorang pemuka kerajaan sejak masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328). Kariernya dimulai dengan menjadi anggota pasukan pengawal raja (Bahanyangkari). Mula-mula, beliau menjadi Bekel Bahanyangkari (setingkat komandan pasukan). Kariernya terus menanjak pada masa Kerajaan Majapahit dilanda beberapa pemberontakan, seperti pemberontakan Ragga Lawe (1309), Lembu Sura (1311), Nambi (1316), dan Kuti (1319).

Pada tahun 1328 Raja Jayanegara wafat. Beliau digantikan oleh Tribhuanatunggadewi. Sadeng melakukan pemberontakan. Pemberontakan Sadeng dapat ditumpas oleh pasukan Gajah Mada. Atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Maha Patih Majapahit pada tahun 1334. Pada upacara pengangkatannya, beliau bersumpah untuk menaklukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah itu dikenal dengan Sumpah Palapa.

Gajah Mada tetap menjadi Patih mangkubumi ketika Hayam Wuruk naik tahta. Beliau mendampingi Hayam Wuruk menjalankan pemerintahan. Pada masa inilah Majapahit mengalami masa Kejayaan. Wilayah Majapahit meliputi hampir seluruh Jawa, sebagian besar Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Papua.

Rabu, 11 September 2013

Vedarambha Samskara

Bhur bhuwah svah, tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat

(Yayurveda : 36-3)
 
Oh Tuhan yang memberikan kehidupan (bhuh), yang menjauhkan segala duka (bhuwah), yang memberi suka kepada penyembah-Nya (svah), pencipta jagat raya, sumber segala cahaya, pemberi segala kemakmuran (tat savituh), yang diinginkan manusia, yang selalu memberi kemenangan, Yang Mahaesa (devasya). Mahabaik, dan yang menjadi sumber pemusatan pikiran (varenyam), penebus segala dosa. Mahasuci (bhargah), kami menerima (dhimahi) Tuhan yang demikian (tat). Oh Tuhan (yah), anugerahkanlah (pracodayat) budi yang baik (dhiyah) kepada kami (nah).

"Tuhan sebagai pemberi kehidupan, menjauhkan dari segala duka dan memberikan kebahagiaan. Sebagau pencipta jagat raya dan sumber dari segala cahaya dan pemberi kemakmuran, yang diinginkan oleh semua umat manusia. Tuhan yang selalu memberi kemenangan kepada manusia, yang merupakan Mahabaik dan menjadi pusat pikiran, penebus dosa yang Mahasuci, kami menerima Tuhan yang seperti itu. Oh Tuhan anugerahkanlah kepada kami budi yang baik'.

"Vedarambha", yang terdiri dari kata "Veda" (pengetahuan) dan "arambha" (mulai), berarti mulai menerima pengetahuan dari guru. Samskara tersebut sebaiknya dilaksanakan di sekolah oleh para guru. Pada zaman dahulu samskara tersebut biasa dilakukan di asrama atau digurukula (keluarga guru) seperti yang terdapat di India sampai sekarang Vedarambha Samskara penting bagi seseorang anak karena melalui samskara tersebut ia mendapat Gayatri Mantra yang merupakan sumber segala Veda.

Setelah samskara tersebut dilaksanakan, anak akan disebut Brahmacari dan berhak mendapat pelajaran tentang Veda dan Brahmacari. Brahmacari mempunyai makna mencari Tuhan ("Brahma" berarti Tuhan, "Cari" berarti mencari). Salah satu caranya adalah dengan bertapa di gurukula. Anak yang baru pertama kali belajar di sekolah (gurukula) bersumpah untuk tinggal dengan setia di asrama yang pertama, yang disebut Brahmacari.

Saat menjalani pendidikan seorang brahmacari harus mengendalikan semua indra dan tidak boleh berhubungan dengan wanita. Hal ini bertujuan agar dasar yang membentuk kepribadiannya kuat sehingga mampu menghadapi dunia setelah menyelesaikan pendidikan di gurukula.

Dalam samskara tersebut guru memberikan beberapa nasehat; satyam vada, dharman cara, svadhyayanma pramad, matr devo bhava, pitr devo bhava, acarya devo bhava, atithi devo bhavo (Taittiriya:7-11-1-4), yang berarti 'Wahai anak, ucapkanlah selalu yang benar, selalu mengikuti dharma, jangan malas belajar, hormat kepada orang tua, guru dan para guru yang datang meskipun tidak diundang.

Karman kuru, diva ma svapsih, krodhanrte varjaya upart sayyam varjaya, berarti bekerjalah dengan rajin, jangan tidur pada siang hari, kendalikan kemarahan, jangan tidur di atas kasur yang empuk.

Nasihat guru yang lain adalah engkau adalah seorang brahmacari, laksanakan selalu sandhya (sembahyang), minumlah acamana, pelajarilah Veda selama dua belas tahun, patuh pada ucapan guru yang benar, jangan ikuti ucapan yang tidak benar, jangan berhubungan kelamin, makan makanan sattvika, bersikaplah sopan, bicara seperlunya, dan senantiasa hormat kepada guru.

Konsep pendidikan Vidya dan Avidya juga diperkenalkan dalam samskara ini. Seseorang bisa mendapatkan moksa melalui Vidya sedangkan melalui Avidya seseorang akan mendapatkan keahlian dan kematian secara terus menerus. Oleh karena itu, guru akan mengatakan kepada murid (sisya) sebagai berikut : Tat tvam asi, aham brahma asmi, dan brahma satyam jaganmithya, yang berarti Engkau adalah Dia (Tuhan), Atma itu sendiri adalah Brahma, hanya Brahma yang Mahabenar dan yang lain adalah madya. Melalui kata-kata tersebut dan dengan bertapa di dekat kaki guru, murid akan mendapatkan pengetahuan dan merasakan aham brahma asmi, yang artinya "saya adalah brahman (Tuhan)"

Sumber  bacaan buku 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari, DR.Somvir. (RANBB).


-->

Senin, 09 September 2013

Tafsir dalam Hindu (Veda Vedanta)

Tafsir dalam Hindu (Veda Vedanta)
sumberhttp://m.mpujayaprema.com/index.php
Tentang Weda (Veda)
Kitab suci umat Hindu adalah Weda. Weda adalah wahyu Tuhan yang diterima oleh Maharsi, Rsi yang (maha) utama. Weda juga sering disebut sebagai Kitab Sruti, artinya kumpulan wahyu yang diterima melalui pendengaran para Maharsi. Juga disebut Kitab Rahasia, karena inti ajarannya adalah menuntun umat untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yakni moksa. Weda juga sering disebut Kitab Mantra – apalagi di Bali – karena kitab ini berisi puji-pujian berupa mantra, baik untuk menjalankan ritual maupun untuk pemenuhan rohani.
Sebagai wahyu Tuhan, kapankah Weda itu diturunkan? Ini pun tak pernah ada kejelasan atau ada yang menyimpulkan – sesuatu yang biasa di dalam Hindu tak ada sebuah kesimpulan yang pasti dan satu-satunya kesimpulan. Beberapa sarjana tercatat mempunyai argumentasi tentang kapan Weda dibahyukan:
  1. Lokamanya Tilak Shastri, memperkirakan wahyu Weda turun 6 ribu tahun sebelum Masehi.
  2. Bal Ganggadhar Tilak, memperkirakan wahyu Weda turun 4 ribu tahun Sebelum Masehi.
  3. Dr. Haug memperkirakan Weda turun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
  4. Dr. Max Muller memperkirakan Weda turun 1.200 sampai 800 Sebelum Masehi.
  5. Heine Gelderen memperkirakan Weda turun sekitar  tahun 1.500 sampai 1.000 Sebelum Masehi
  6. Sylvain Levy memperkirakan Weda turun sekitar 1.000 Sebelum Masehi.
  7. W. Stutterheim memperkirakan Weda diturunkan sekitar 1000 sampai 500 Sebelum Masehi.
Memang,jarang sekali diperdebatkan kapan turunnya Weda. Barangkali perdebatan yang tak akan pernah selesai sementara tujuan berdebat pun tak pernah sampai. Yang penting bagi penganut Hindu, Weda diwahyukan dan ada yang menerima wahyu itu. Ada 7 Maharsi penerima Weda. Mereka itu adalah: Maharsi Grtsamada, Maharsi Wiswamitra, Maharsi Wamadewa, Maharsi Atri, Maharsi Bharadwaja, Maharsi Wasistha, Maharsi Kanwa
Diperkirakan Weda ini turun dalam rentang waktu yang panjang dan tidak di satu tempat. Dan yang berjasa mengumpulkan wahyu yang tersebar ini adalah Maharsi Wyasa. Beliaulah yang kemudian memilah-milah disesuaikan dengan fungsinya. Maharsri Wyasa yang juga penyusun Mahabharata, Bhagavadgita dan Brahmasutra  ini, memiliki empat asisten untuk memilah Weda. Mereka itu:
  1. Maharsi Paila (ada yg menyebut Pulaha), hasil pilahannya melahirkan kitab Rg Weda (Rgveda Samhita)
  2. Maharsi Waisampayana, hasil pilahannya kitab Yajur Weda (Yajurveda Samhita)
  3. Maharsi Jaimini, hasil pilahannya melahirkan kitab Sama Weda (Samaveda Samhita)
  4. Maharsi Sumantu, hasil pilahannya melahirkan kitab Atharwa Weda (Atharvaveda Samhita).
Rgveda mempunyai 10.552 bait/sloka mantra yang isinya berupa nyanyi puji-pujian untuk persembahan pada Tuhan. Kitab ini dibagi dalam 10 mandala (buku ataubab).
Samaveda mempunyai 1.875 mantra, isinya juga puji-pujian dalam melaksanakan yadnya (upacara).
Yajurveda mempunyai 1.975 mantra, isinya tentang tuntunan hidup keseharian yang berhubungan dengan masalah duniawi.
Atharwaveda mempunyai 5.987 mantram, isinya juga tentang tuntunan kehidupan yang berhubungan dgn masalah duniawi.

Untuk mempermudah mempelajari ke empat Weda (Catur Weda) ini para maharsi membuat buku pedoman. Rsi Panini misalnya membuat kitab-kitab yang berhubungan dengan pengetahuan bahasa Sansekerta, seperti kitabSiksa (ilmu phonetika), kitab Wyakarana (ilmu tata bahasa Sansekerta), Nirukta (ilmu etimologi Sansekerta). Lalu ada kitab Kalpasastra (petunjuk tentang upakara agama) dan Jyotistha yang berisi pengetahuan tentang astrologi dan astronomi. Dua kitab terakhir ini erat kaitannya dengan waktu pelaksanaan upacara. Di Bali ilmu ini berkembang demikian pesat yang disebut ilmu wariga, dan berujung pada bagaimana menentukan hari baik dan hari buruk untuk pelaksanaan upacara keagamaan.

Keenam kitab di atas karena berisi petunjuk bagaimana mempelajari dalam arti membaca Weda, maka hampir tak ada masalah. Beda dengan kitab-kitab yang berisi cara menerangkan Weda sehingga bisa dijadikan praktek atau pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab-kitab itu disebut kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Semua Weda didampingi kitab-kitab ini.

Kitab Brahmana menerangkan bagaimana mempergunakan mantra Weda dalam rangkaian upacara. Aranyaka kemudian menjelaskan bagian-bagian mantra itu. Sedangkan Upanisad berisi petunjuk bagaimana memahami ajaran suci Weda dalam khidupan di dunia ini. Secara garis besar kemudian bisa digolongkan, kitab Brahmana dan Atanyaka sebagai pedoman Karma Kandha (karma=perbuatan, kandha = bagian), yakni bagaimana kita berbuat sesuai dengan Weda. Sedang Upanisad tergolong Jnana Kandha (jnana=ilmu pengetahuan). Di sinilah diatur bagaimana Weda mengajarkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia, apa yang harus dilakukan, apa yang tak boleh dilakukan, apa yang dipantang, dan semua seluk beluk masalah kehidupan manusia.

Saking luasnya pembidangan ini, Upanisad terdiri dari 108 kandha (bagian atau kitab) dan di bagian inilah terbuka penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran itu bisa karena “salah membaca” karena tidak dikuasainya kitab Siksa, Wyakarana, Nirukta atau berbeda pemahaman dalam mempelajari Kalpasastra dan Jyotistha.

Kitab-kitab yang muncul dari cara menafsirkan Weda ini disebut kitab Smerti (Smrti). Kitab-kitab inilah yang sangat banyak adanya, disusun oleh para rsi yang terkenal pada zamannya seperti Maharsi Manu, Yajnawalkhya, Sanka, Likhita, Parasara. Kitab-kitab itu umumnya berlabel dharmasastra yaitu ajaran tentang dharma menjadi petunjuk tentang kebenaran. Yang terkenal di bawa ke Nusantara ini misalnya Manawadharmasastra, Sarasamuccaya dan lainnya.

Sebelum sampai pada masalah penafsiran, inti dari pembahasan kali ini, baik dilengkapi dulu penggolongan kitab-kitab suci yang menunjang Weda. Ada yang disebut kitab Itihasa, ini adalah karya sastra (bisa saja berupa kejadian yang sebenarnya tetapi disastrakan) yang menceritakan tentang kepahlawanan dengan segala lika-likunya. Ada 2 Itihasa yang dianggap “bisa mewakili cara pemahamanWeda untuk kalangan awam dan anak-anak” yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata.

Ramayana digubah oleh Maharsi Walmiki terdiri dari 7 kandha (bagian atau buku) dengan 24.000 bait syair. (1) Ayodhya Kandha (kisah kelahiran Rama), (2) Bala Kandha (kisah Rama ketika kanak-kanak), (3) Aranya Kandha(kisah Rama di hutan mengamankan pertapaan Wiswamitra), (4) Kiskinda Kandha (kisah Rama yang diminta bantuan oleh Sugriwa dalam perang saudara melawan Subali, akhirnya Sugriwa menjadi abdi Rama), (5) Sundara Kandha (pembuatan jembatan menuju Alengka), (6) Yuda Kandha (kisah pertempuran Rama melawan Rahwana), dan (7) Utara Kandha (kisah asal-usul leluhur dan keturunan Rama, Sita dan lain-lain).
Kitab Mahabharata disusun Maharsi Wyasa terdiri dari 18 Kandha (di sini disebut parwa karena bagian-bagian itu besar dengan banyak sub-bagian. Itu sebabnya di Bali, wayang kulit Mahabharata disebut wayang kulit parwa). Bagiannya: (1) Adiparwa (ini pengantar semua parwa dengan cerita garis besarnya saja), (2) Sabhaparwa (tentang perjudian dan kekalahan pihak Pandawa), (3) Wanaparwa (pembuangan Pandawa ke hutan), (4)Wirataparwa(tentang penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata selama satu tahun), (5) Udyogaparwa (tentang upaya perdamaian yang dipimpin Prabu Kresna), (6) Bhismaparwa (kisah Rsi Bhisma sebagai panglima perang Korawa), (7)Dronaparwa (cerita Rsi Drona sebagai panglima perang Korawa), (8) Karnaparwa (cerita Senopati Karna sebagai panglima perang Korawa), (9) Salyaparwa (tentang Senopati Salya sebagai panglima perang Korawa), (10)Sauptikaparwa (kisah penculikan dan pembunuhan Panca Kumara, putra Pandawa oleh Aswatama), (11) Striparwa (kisah tangisan para istri yang suaminya giugur di medan perang), (12) Santiparwa (tentang nasehat Rsi Kripa dan kawan-kawannya kepada Pandawa), (13) Anusasanaparwa (cerita penobatan cucu Arjuna, Parikesit, sebagai raja keluarga Pandawa), (14) Aswamedaparwa (upacara korban kuda memperluas kerajaan Hastina), (15)Asramawasanaparwa (kisah memasuki Wanaprasta sampai meninggalnya leluhur Pandawa seperti Dewi Kunti, Prabu Drestarasta di hutan), (16) Mausalaparwa (tentang pralayanya – kiamat – keluarga Yadhu dan hancurnya kerajaan Dwarawati), (17) Mahaprasthanikaparwa (tentang meninggalnya Pandawa dan Drupadi, kecuali Dharmawangsa yang langsung masuk sorga), (18) Swargarohanaparwa (tentang kehidupan Pandawa di Sorga).

Dari seluruh parwa ini, ada satu parwa yakni Bhismaparwa dianggap istimewa karena di salah satu bagiannya ada wejangan yang penuh muatan filsafat dari Sri Kresna kepada Arjuna di tengah Padang Kurusetra, yang terkenal kemudian dengan nama Bhagawadgita. Kitab BG ini sering disebut sebagai Pancamo Weda, atau Weda yang kelima, meski mengundang polemik sampai sekarang karena: apakah ini bisa digolongkan wahyu Tuhan atau tidak? Sebagian menyebut BG bukan wahyu,jadi bukan kitab suci, namanya saja gubahan Maharsi Wiyasa. Tapi sebagian lain menyebut kitab suci karena posisi Kresna saat itu adalah Awatara. Kelompok fanatik yang menyebutkan BG sebagai kitab suci dan Krishna adalah Tuhan adalah Hare Krishna. Kelompok ini dalam istilah Hindu disebut Sampradaya atau aliran.

Selain Itihasa, adakitab-kitab penunjang Weda yang sering disebut-sebut sebagai “cara awal mempelajari Weda”. Kitab itu disebut Purana. Arti harafiah Purana adalah sejarah (di Bali setiap pura ada purananya), yakni cerita tentang sejarah penciptaan bumi ini dan siapa yang berkuasa saat itu. Ada 18 Kitab Purana, yakni (1) Brahmanda Purana, (2) Brahmawaiwarta Purana, (3) Markandeya Purana, (4) Bhawisya Purana, (5) Wamana Purana, (6) Brahma Purana, (7) Wisnu Purana, (8) Narada Purana, (9) Bhagawata Purana, (10) Garuda Purana, (11) Padma Purana, (12) Waraha Purana, (13) Matsya Purana, (14) Kurma Purana, (15) Lingga Purana, (16) Siwa Purana, (17) Skanda Purana, (18) Agni Purana.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia pada abad 4 tidak membawa serta kitab-kitab itu, apalagi Catur Weda. Yang dibawa adalah kitab-kitab “dibawahnya” seperti Itihasa, Purana, Dharmasastra dan sejenisnya. Ini yang kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa Jawa Kuno (Kawi) sehingga muncullah berbagai jenis lontar (karena ditulis didaun rontal) dan dari sana menyebar ke umat. Demikianlah orang-orang di Nusantara mengenal Kekawin Ramayana, Arjuna Wiwaha (dari kelompok Itihasa), Manawadharmasastra, Sarasamuccaya (dari kelompok Dharmasastra), Brahmanda Purana (kelompok Purana), Argapatra, Wraspati Tatwa, Bhuwanakosa dan banyak lagi dari kelompok pedoman pemujaan dan pelaksanaan upacara.

Di manakah Penafsiran Bermasalah?

Kitab-kitab yang hanya menuntun bagaimana cara “membaca Weda” tentu tidak bermasalah. Demikian pula kitab Itihasa, Purana, nyaris tanpa masalah, karena itu hanya berupa cerita. Kalau pun ada penafsiran yang bermasalah lantaran menangkap pesan dari sudut yang berbeda, itu bukan masalah besar. Misalnya: Pandawa kalah berjudi sampai dibuang ke hutan. Penafsiran positif: janganlah berjudi karena ternyata berjudi itu akibatnya tidak baik, lihat keluarga Pandawa. Namun penafsiran negatif; judi itu sudah ada sejak dulu kala, Pandawa yang dipimpin Yudistira yang alim saja berjudi.


Yang bermasalah adalah kitab-kitab Smerti. Para penafsir, yang merupakan Rsi ternama di zamannya, bisa berbeda cara menafsirkan kata-kata yang indah – sekaligus—misteri dari Weda. Ini menyangkut pemahaman pada kiasan yang bisa berbeda, atau ada missi tertentu dari para Rsi itu – termasuk pula posisi sang Rsi. Kitab Sarasamuccaya yang disusun Bhagawan Wararuci dianggap kontroversial bertahun-tahun yang lalu, ketika pertamakali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kitab yang berisi 511 sloka (ayat) ini berisi pedoman tentang perilaku yang baik atau etika. Diperkirakan disusun pada abad ke-9 – 10, kitab ini ditulis Bhagawan Wararuci dengan dua bahasa yaitu Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Karena itu banyak yang menduga Bhagawan Wararuci lahir di Nusantara karena kitab ini ditemukan dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno dari aslinya, Sansekerta. Kedua bahasa itu dipersandingkan. Namun, tidak ada kepastian bahwa beliau lahir di Nusantara, bisa saja Sarasamuccaya itu datang dari India dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Hal-hal yang anonim itu jamak dalam susastra Hindu di era kerajaan-kerajaan di Jawa.

Kitab Sarasamuccaya ini dimaksudkan oleh Wararuci sebagai intisari dari Astadasaparwa (Mahabharata), gubahan Rsi Wiyasa. Sara artinya intisari, sedangkan samuccaya artinya himpunan. Inilah himpunan dari instisari ajaran etika yang ada dalam Astadasaparwa. Karena kitab ini intisari dari Ithihasa Mahabharata, sementara Mahabharata adalah “kisah kepahlawanan” untuk memahami Weda lebih lanjut, maka tak mudah menemukan di mana sloka-sloka Sarasamuccaya ini ada dalam Weda.

Pertamakali kitab ini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh I Nyoman Kajeng dkk. Kitab yang slokanya indah ini ternyata beberapa ayat di bagian akhirnya, ketika membahas soal wanita, menjadi kontroversi. Itu lantaran disebutkan wanita hanya menjadi pengumbar nafsu seks, dan wanita menjadi perusak keluarga karena tak bisa menahan birahinya. Kesimpulannya: hindarilah wanita.

I Nyoman Kajeng (kini telah tiada) menerjemahkan Sarasamuccaya bukan dari bahasa Sansekerta, beliau tak paham bahasa itu. Staf di Gedung Kirtya Singaraja ini menerjemahkan Sarasamuccaya dari buku Prof. Dr. Raghu Vira, Ph.D pada tahun 1959. Kajeng menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari sloka Jawa Kuno, dan karena itu dia menyebut kemungkinan banyak yang janggal. Ya, kejanggalan ini, bisa jadi pula termasuk sloka/ayat yang kontroversi soal wanita itu.

Sarasamuccaya terjemahan Nyoman Kajeng ini kembali diterbitkan tahun 1997 dengan catatan penutup dari Parisada Hindu Dharma. Isi catatan itu adalah wanita yang dimaksudkan dalam sloka yang bermasalah itu adalah untuk seseorang yang memang tak boleh berhubungan dengan wanita, seperti yang memilih hidup Sukla Brahmacari, misalnya, Brahmacari, Sannyasi, pertapa, pendeta. Bagi orang-orang seperti inilah tujuan sloka itu. Nah dengan menggolongkan kitab ini hanya untuk kaum Sukla Brahmacari, maka masuk akallah jika wanita itu harus dijauhi atau dihindari.

Belakangan, seorang ahli Sansekerta Tjok Rai Sudharta, menerjemahkan Sarasamuccaya ke dalam bahasa Indonesia langsung dari bahasa Sansekerta. Tjok menyebutkan kitab ini untuk semua golongan usia, bukan hanya untuk kaum Sukla Brahmacari. Tjok Rai Sudharta menyebutkan, yang dimaksudkan oleh Wararuci tentang wanita dalam buku ini adalah wanita nakal. Karena itu wanita nakal harus dihindari, bukan semua wanita dihindari.
Di era internet belakangan ini (sekitar tahun lalu) muncul web anonim dalam bahasa Indonesia yang membuat terjemahan Sarasamuccaya. Terjemahan lumayan bagus. Dalam ayat-ayat tentang wanita, terjemahan ini menyebutkan “wanita jalang”, bahkan di setiap kata wanita jalang ada garis miring kata “lelaki hidung belang”. Yang mau dikatakan oleh penerjemah moderen ini adalah, Sarasamuccaya selain baik untuk pelajaran etika bagi semua golongan usia, juga baik untuk wanita. Karena kata wanita dalam Sarasamuccaya haruslah diartikan semua orang yang jalang atau binal, baik ia wanita maupun lelaki.
Saya kutip satu sloka, ayat 428

Bahasa Sansekerta

Nasam kascidagamyo’sti nasam wayasi niscayah, Wirupam wa surupam wa pumanityewa bhunjate

Terjemahan Kajeng dkk


Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita, tidak patut aku pergi ke situ, sebab keadaanku begini, akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati, tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu, sebaliknya dia pergi saja dan ia tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda atau pun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk. Ah, laki-laki ini, demikian saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang.

Terjemahan Tjok Rai Sudarta

Bagi seorang perempuan nakal, tidak ada yang tidak boleh didatanginya. Ia akan langsung menuju sasarannya dan ia tidak peduli apakah itu orang tua, apa orang muda. Tidak peduli dia apakah orang itu tampan atau jelek rupanya. “Ia adalah laki-laki” hanya itu yang dipikirkannya ketika perempuan nakal itu ada dalam gejolak nafsunya.
Terjemahan era internet

Tidak ada yang menjadi pantangan bagi wanita jalang/lelaki hidung belang, ia tidak membedakan apakah orang tua ataukah bocah, jika nafsu birahinya datang semua orang digoda dan diajak melakukan senggama.

Tafsir Weda di kitab terjemahan Al Quran

Ada contoh menarik lagi. Pada kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan Departemen Agama, ada dikutip kitab Weda, walau hanya beberapa baris. Kutipan itu ada di Bab Dua yang bertajuk Nabi Muhamad S.A.W pada point (b) berjudul: Kitab Weda adalah kitab untuk sesuatu golongan berisi pernyataan sebagai berikut:


Di antara pengikut-pengikut Weda, maka membaca kitab Weda itu menjadi hak yang khusus bagi kasta yang tinggi saja. Demikianlah maka Gotama Risyi berkata: “Apabila seorang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya, apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Weda, maka raja harus memotong badannya. (Gotama Smrti 4).

Siapa Gotama Risyi? Tak begitu dikenal, bahkan jika pun nama ini misalnya salah dan yang benar adalah Rsi Gotama, juga tak dikenal di kalangan para penulis Smrti. Karena itu pula kitab Gotama Smrti yang dikutip dalam terjemahan Al Quran ini tak jelas memuat soal apa saja, di luar teks yang dikutip.


Dalam Weda tak pernah satu pun ada mantra yang menyebut soal kasta. Jika dihubungkan dengan istilah Sudra, Brahmana dan lainnya, itu ada di dalam ajaran Catur Warna, empat jabatan fungsional dalam masyarakat, yaitu Sudra, Wesya, Kesatria dan Brahmana. Ayat tentang “warna” ini ada banyak di dalam Weda.

Sudra adalah awal kehidupan seorang manusia, dan ketika orang itu belajar dan memanfaatkan ilmunya untuk melaksanakan fungsi sosial di masyarakat, ia bisa menjadi Wesya atau pun Kesatria. Wesya fungsi sosial yang bergerak di bidang ekonomi dan secara gampang disebut pedagang, atau mungkin lebih tepatnya swasta. Sedang Kesatria melaksanakan pengabdiannya di pemerintahan, atau sebut gampangnya pegawai negeri. Jika seorang Sudra itu tak memperbaiki kualitas pribadinya lalu mencari penghasilan dengan mengandalkan tenaga ototnya semata, maka ia tetap saja Sudra. Sedangkan Brahmana adalah fungsi sosial orang yang sudah lanjut – ia tak lagi mencari uang untuk menghidupi keluarganya karena ditopang oleh keturunannya – dan itu bisa ditempuh dari jalur Sudra, Wesya, Kesatria. Brahmana lah orang yang sepenuhnya menekuni Weda, terutama mempraktekkan mantra-mantra Weda untuk kepentingan ritual, puja-puji kepada Tuhan Yang Esa.

Nah, dalam proses belajar menjadi seorang Brahmana inilah ada berbagai ketentuan dimuat dalam Weda. Misalnya, jika mendengar ada orang yang membaca Weda, seorang Sudra (atau siapa pun) harus konsentrasi penuh. Semua suara-suara di luar pembacaan Weda itu harus dihindari, jika perlu telinga ditutup dengan timah, sehingga hanya pembacaan Weda saja yang didengar.

Kemudian kalau hasrat itu meningkat dan tidak puas hanya dari mendengar, lalu mencoba membaca sendiri Weda, seorang Sudra (atau siapapun) harus “dipotong lidah”nya. Ini simbolis, bukannya lidah dipotong tetapi ditulisi aksara suci oleh sang guru, yang secara kasat mata kelihatan seperti diiris-iris (istilah di Bali: dirajah). Proses ini sampai sekarang diteruskan, di Indonesiadisebut mewinten dan di India disebut upayana. Seseorang harus mengikuti ritual ini untuk pertamakalinya jika belajar Weda denganmembaca Weda secara langsung.
Kalau terus lagi mempelajari Weda karena ingin tuntas menjadi Brahmana sejati, maka sang guru Nabe “memotong badan” sang Sudra (arau siapapun) dengan cara simbolis. Upacara ini disebut seda raga (ritual kematian) dan beberapa saat ritual itu dinyatakan lahir kembali untuk kedua kalinya (dwijati). Pada kelahiran kedua inilah orang tersebut baru menjadi Brahmana.

Bagaimana mungkin Gotama Risyi melahirkan pernyataan yang jauh bedadari penafsiran yang umum? Mungkin ada kendala bahasa, atau ada tujuan politis, atau Gotama terpancing dengan perbedaan kelas yang memang terjadi di India dan dia kebetulan dari kasta yang tinggi. Ini pun masih dipertanyakan mengingat jumlah kasta di India banyak sekali, tidak cuma empat. Hampir setiap profesi mengikatkan diri dengan membentuk kasta, misalnya, ada kasta untuk kaum pengrajin gerabah. Sudra di pedalaman India bukanlah yang terendah karena ada lagi kasta Paria.

Tetapi yang lebih mengherankan orang Hindu termasuk saya adalah apa relevansinya kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan proyek Departemen Agama harus mengutip kitab Smerti yang kontroversial itu. Apa yang mau diinformasikan kepada pembaca muslim, pengguna Al Quran?

Boleh dikatakan dalam kasus Gotama Risyi ini,tafirnya bisa digolongkan salah menerjemahkan keindahan kata Weda. Begitu banyak soal Catur Warna ini ada disebutkan dalam Weda, ssalah satu saya kutip:
Yathenam wacam kalyanim, awadai jnebhyah
Brahmana Rajanyabhyam Cudra ya caryaya ca
Swaya carana ca
(Yajurweda XXV.2)

Terjemahannya:
Biar kuajarkan pengetahuan suci ini, kepada orang banyak. Kaum Brahmana, Kesatria, Sudra dan Waisya. Dan bahkan kepada orang asing sekalipun.

Di sini jelas semua orang bisa mempelajari Weda, termasuk kelompok Sudra, bahkan kepada orang asing, yang ditafsirkan sebagai orang yang bukan penganut Hindu. Jadi Weda bukan kitab untuk satu golongan. Sloka ini sering dijadikan pembenar pula bahwa agama Hindu sebenarnya juga agama missi, menangkis anggapan orang tua Bali di masa lalu yang menyebutkan, Hindu tidak mencari pengikut tetapi mereka datang sendiri.

Di kitab-kitab “turunan” Weda pun soal Catur Warna sering disebut, termasuk di dalam kitab Bhagawadgita. Salah satunya BG IV. 13 berbunyi:
Chatur varnyam maya srishtam, guna karma vibhagasah
Tasya kartaram api mam, viddhy akartaram avyayam

Terjemahan Nyoman S Pendit: Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja. Tetapi ketahuilah walau pencitanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.


Terjemahan Mohan MS:Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuaidengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja).Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapiketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).


Ini ulasan Mohan MS: Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra. Sistim varna ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orangorang luar.


Tapi Mohan MS juga berbeda menafsirkan salah satu ayat BG dibandigkan penerjemah BG lainnya. Satu contoh tafsir yang berbeda itu, misalnya, Bhagawad Gita Percakapan 4 ayat 11 (BG IV.11),  berbunyi:

 Ye yatha mam prapadyante
Tams tathai ‘va bhajamy aham
Terjemahan Nyoman S Pendit
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah Ku, semuanya Kuterima
Dari mana-mana semua mereka, menuju jalanKu, oh Partha                   
                                                                                                                                                                           
Terjemahan Mohan MS (dipakai dalamweb resmi PHDI)
Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!

Nah, apa pengertian jalan itu? Para penerjemah Weda seperti Ida Bagus Puja, Prof. Dr Mantra, Nyoman S. Pendit dan lainnya lagi, mengartikan jalan itu sebagai “jalan karma” atau “Karma Yogya” dan “jalan ilmu pengetahuan” atau “Jnana Karma”. Apapun yang dipilih, apakah memuja Tuhan lewat kerja atau memuja Tuhan lewat ilmu pengetahuan, semuanya diterima, karena semua jalan itu menuju ke arah Tuhan. Penafsiran yang lebih liar lagi adalah orang bisa memuja Tuhan dengan tekun melakukan pekerjaan tanpa pamrih – misalnya mengajar di tempat terpencil mencerdaskan orang-orang padahal tak pernah sembahyang – atau orang bisa mengerjakan berbagai sesajen untuk dihaturkan kepada Tuhan dalam suatu persembahan yang kasat mata. Semua diterima Tuhan.

Penafsiran seperti ini didasarkan pula pada urutan-urutan sloka BG itu, di mana sebelumnya Krishna banyak memberikan wejangan kepada Arjuna tentang berbagai jalan yang bisa digunakan untuk sampai pada-Nya, termasuk Karma Yoga dan Jnana Yogya.
Tetapi seorang guru spiritual seperti Mohan MS – beliau keturunan India tetapi sangat membaur dengan masyarakat pedesaan – menafsirkan lain. Jalan itu adalah agama atau keyakinan. Jadi, agama atau keyakinan apapun yang dipeluk manusia, tujuannya sama saja, menyembah Tuhan.

Saya kutip penafsiran Mohan MS yang lengkap dari sloka ini:

Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untukmencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yangdiinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan ituberdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan ituakan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakanoleh Sang Kreshna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu kearahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salahmengartikannya.

Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang MahaEsa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dantidak ada alasan lain untuk mengubah atau mempengaruhi orang yangberagama atau berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. SeorangHindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempatpemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuanyang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa.

Konon, ayat ini gencar digunakan oleh kalangan missionaris di Bali di tahun-tahun 1960-1970an – ketika penafsiran BG belum banyak beredar – sehingga umat Hindu banyak beralih agama pasca meletusnya Gunung Agung yang menimbulkan penderitaan hebat di Bali. Jika digunakan kata-kata sederhana, bentuknya seperti ini: “sudahlah untuk apa beragama Hindu yang ruwet, pindah ke agama lain yang lebih simple saja, toh kitab suci Hindu membolehkan semuanya itu, agama itu hanya jalan saja.”

Penafsiran di akar rumput

Sejatinya, perbedaan penafsiran seperti contoh tadi, hampir tak punya pengaruh di kalangan masyarakat Hindu pedesaan, katakanlah kaum yang “tidak terbiasa mempelajari tatwa agama”. Dalam agama Hindu dikenal tiga kerangka dasar: tatwa, susila, acara. Tatwa adalah memahami ajaran-ajaran agama, susila adalah perilaku yang baik sebagai ciri memeluk agama, acara adalah rangkaian ritual. Penafsiran tadi (contoh dari Gotama Risyi, Mohan MS) termasuk dalam ranah tatwa, terlalu “akademis” dan diawang-awang bagi masyarakat pedesaan. Karena itu, betapa pun simpang siurnya, tak berpengaruh besar.

Lain hal kalau beda penafsiran di tataran acara atau ritual. Ini pasti jadi masalah. Lalu bagaimana umat Hindu di Nusantara ini, khususnya di Bali memecahkan masalahnya?

Parisada dan pemerintah Bali pernah melahirkan lembaga penafsir dengan menghimpun wakil-wakil Parisada di semua kabupaten dan tokoh-tokoh yang dianggap layak mempunyai ilmu dalam bidang agama. Maka lahirnya lembaga yang disebut Lembaga Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Lembaga ini menyelenggarakan seminar yang beruntun untuk memecahkan persoalan yang sudah dihimpun sebelumnya. Sekitar lima tahun bekerja (1973-1978) – tentu tidak sepanjang waktu – dengan 14 kali mengadakan seminar, menghasilkan 39 kesatuan tafsir dari berbagai masalah. Ada yang menyangkut tentang pedoman hari raya keagamaan, alat-alat upacara, tata busana bersembahyang, jenis dan bentuk pura dan sebagainya. Bahkan sampai diatur bagaimana seorang sulinggih atau pendeta, misalnya, disarankan tak menyetir mobil karena takut terjadi pelanggaran lalulintas, pendeta tidak etis diadili.

Tapi tak semua kesatuan tafsir ini dipatuhi masyarakat, pro dan kontra tetap saja terjadi. Namun Parisada dan Pemda Bali tetap ngotot melanjutkan kerja Lembaga ini pada tahun anggaran 1988/1989, setelah 10 tahun absen. Pada seminar ke XV itu hanya dibahas 2 hal yakni Upacara Nuntun Dewa Hyang (menuntun roh yang sudah suci setelah upacara Ngaben, di mana ditempatkan) dan Tata Cara Membangun Perumahan. Kedua hal ini dianggap mendesak, terutama ketika lahan perumahan semakin sempit di perkotaan bagaimana membangun rumah yang bertingkat.Di mana meletakkan tempat suci dan sebagainya.
Lagi-lagi hasil seminar kesatuan tafsir ini tak begitu diperhatikan, tetapi juga tak menimbulkan kehebohan. Masyarakat tetap dengan “kearifannya sendiri” tentu dengan dukungan para pendeta Hindu yang memang sulit sepakat untuk berbagai masalah – selalu ada perbedaan di sana-sini.

Dan itulah akhir dari tugas lembaga Kesatuan Tafsir itu, karena setelah 1989, lembaga itu bubar dengan sendirinya. Lalu siapa yang mengambil alih penafsiran itu? Tugas itu dibebankan kepada PHDI Pusat, karena majelis ini dianggap lebih berwewenang menafsirkan Weda dan sifatnya nasional (bukan Bali sentris) sehingga bisa diberlakukan secara nasional di seluruh Indonesia. Nah, PHDI menugaskan Sabha Walaka (himpunan para pemikir Hindu yang bukan pendeta), sebuah lembaga resmi dalam PHDI untuk menyusun apa-apa yang perlu “disatukan tafsirnya”. Kemudian setiap tahun dalam Pesamuan Agung (semacam Rakernas) hal itu dibahas bersama Sabha Pandita (himpunan para pendeta Hindu). Kalau yang dibahas memenui syarat dan memang penting “disatukan tafsirnya” lahirlah apa yang disebut Bhisama (semacam fatwa di Islam). Jadi, bhisama itu jauh lebih kuat dari hanya sekedar hasil Seminar Kesatuan Tafsir.

Sudah banyak bhisama yang dilahirkan PHDI, dari yang tidak berani dibahas Seminar Kesatuan Tafsir seperti soal Kasta dalam Hindu, sampai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan seperti Bhisama Kesucian Pura. Juga ada Bhisama Soal Tabuh Rah dan Bhisama Tentang Dana Punia. Para pendeta dalam melahirkan bhisama itu sangat berpijak pada Weda, dan kupasan itu memakan energi yang luar biasa. Misalnya ketika membicarakan bagaimana kasta itu tak ada dalam Hindu dan justru bertentangan dengan ajaran Hindu, yang dibahas adalah soal Catur Warna, sehingga namanya juga Bhisama Tentang Catur Warna. Begitu pula ketika menyasar soal haramnya sabungan ayam (tajen) yang dibahas bukan sabungan ayamnya, tetapi Tabuh Rah (upacara memercikkan darah hewan) yang selama ini dianggap sebagai pembenar adanya sabungan ayam.

Ini untuk menghindari kesan PHDI mengurusi hal-hal yang bukan agama, seperti mengurusi kasta dan sabungan ayam.
Apakah bhisama ini serta merta dipatuhi umat Hindu? Tidak juga. Bhisama Tentang Dana Punia meskipun sudah lahir tahun 2002, tetap saja sulit dilaksanakan. Dalam bhisama ini disebutkan antara lain, umat Hindu wajib menyetorkan dana punia sebesar 2,5 % dari pendapatan bersih (maksudnya setelah dipotong pajak dan kewajiban pada negara). Sepuluh tahun sudah berjalan, PHDI tetap merasa sulit menerapkan bhisama itu. Hanya masalah Kasta yang lebih diikuti, itu pun sebenarnya sulit disebut karena bhisama, tetapi lebih pada kesadaran orang Bali yang tak mau lagi dikelas-kelaskan sesuai keturunan. Apalagi organisasi yang berlabel keturunan ini makin eksis dan mereka berlomba-lomba mendidik para Brahmana, pendeta Hindu, suatu hal yang di masa lalu kelas Brahmana ini dimonopoli golongan (atau tepatnya keturunan) tertentu.

Om a no bhaadrah kratavo yantu visvato, semoga pikiran yang baik datang dari segala arah.

(Makalah ini dibacakan pada Kuliah Tafsir di Komunitas Salihara Jakarta, pada 1 Desember 2012)

Marilah Membaca tentang Kebenaran yang sejati , kunjungi website resmi Mpu Jayaprema yang kita sucikan klik http://m.mpujayaprema.com/index.php

Jumat, 06 September 2013

Tuhan Menurut Bhagawadgita

Bhagawadgita adalah bagian kecil dari epos besar Mahabharata yang ditulis oleh Bhagawan Viasa. Bhagawadgita merupakan wejangan Sri Kresna kepada Arjuna yang merasa takut dan sedih berperang dengan keluarganya sendiri termasuk guru dan kakeknya. Sri Kresna yang merupakan Awatara atau penjelmaan Tuhan memberikan penjelasan agar Arjuna tidak perlu ragu melaksanakan tugasnya. Sri Kresna banyak menjelaskan tentang Atman dan Brahman.

Apakah Tuhan atau Brahman itu ?
Menurut Vaswami (Bhagawadgita, 2007:175-176), Arjuna antara lain bertanya, apakah sebenarnya Brahman itu. Pertanyaan ini dijawab oleh Sri Kresna sebagai berikut :

Aksaram brahma praramam svabhava ' dhyamam ucyate bhuta-bhavodbhava-karo visargah karma-samjnitah' (Bhagawadgita III.3)

Artinya :
Brahman adalah Yang Maha Agung dan Suci, yang tidak dapat dihancurkan, yang abadi. Sang Diri Sejati yang ada dalam tubuh manusia disebut Adhyatman atau Atman. Kekuatan yang menciptakan semua mahluk dan benda disebut Karma.

Tuhan adalah Pencipta Semua Mahluk
Disamping tidak dilahirkan dan tidak dapat dibinasakan, Tuhan itu adalah pencipta alam semesta dan semua mahluk seperti dinyatakan dalam Bhagawadgita berikut ini :

Ajo 'pi sann avyayatma bhutanam isvaro'pi san prakrtim svam adhisthaya sambhavamy atma-mayaya. (Bhagawadgita IV.6)

Artinya :
Meskipun Tuhan tidak pernah dilahirkan dan tidak bisa dibinasakan, Tuhan adalah pencipta semua mahluk.

Tuhan adalah Asal dari Semuanya.
Semua yang ada dijagat raya ini berasal dari Tuhan. Manusia juga adalah ciptaan Tuhan. Demikian dinayatakan dalam Sloka Bhagawadgita berikut ini :

Aham sarwasya prabhawo mattah sarwam prawartate iti matwa bhayante man bhuda bhawasamamwitah. (Bhagawadgita X.8)

Artinya :
Tuhan adalah asal dari semuanya, dari Tuhan mahluk muncul. Mengetahui ini orang bijaksana menyembah Tuhan dengan rasa penyatuan diri.

Tuhan adalah Asal dan Pemusnah Alam Semesta
Semua benda dan mahluk dalam alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Pemusnahnyapun adalah Tuhan. Demikian Bhagawadgita berikut ini menyatakan :

Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah prabavah pralayas tatha. (Bhagawadgita VII.6)

Artinya :
Tuhan adalah asal mula dari semua mahluk. Tuhan adalah asal mula seluruh alam semesta dan juga pemusnahnya.

Tuhan adalah Cahaya, Kekuatan dan Rasa Segar
Tuhan adalah cahaya pada bulan dan matahari, juga rasa segar dalam air. Tuhan adalah kata Om dalam semua Weda. Tuhan adalah juga suara dalam ether dan benih kekuatan dalam diri manusia. Hal ini sesuai dengan Bhagawadgita berikut ini :

Raso 'ham apsu kaunteya prabhasmi sasi-suryayoh pranavah sarva-vedesu sabdah khe paurusam nrsu.  (Bhagawadgita VII.8)

Artinya :
Tuhan adalah rasa segar dalam air, cahaya pada bulan dan matahari. Tuhan adalah Om dalam semua Weda. Tuhan adalah juga suara dalam ether dan benih kekuatan dalam diri manusia.

Tuhan adalah Bapak, Ibu, Kakek dan Pelindung Manusia.
Tuhan adalah Bapak dunia, juga Ibu dan Kakeknya. Tuhan adalah juga pelindung umat manusia. Tuhan adalah tunggal. Tuhan adalah juga Om dalam Weda-Weda, Reg Weda, Sama dan Yayur Weda. Perhatikanlah Sloka Bhagawadgita dibawah ini :

Pitaham asya jagato mata dhata pitamahah vedyam pavitram aumkara rk sama yajur eva ca. (Bhagawadgita IX.17)

Artinya :
Tuhan adalah Bapak, Ibu, Kakek dan Pelindung umat manusia. Tuhan yang suci dan tunggal itu harus diketahui oleh manusia. Tuhan adalah juga Om, dalam Weda, Reg Weda, Sama Weda dan Yayur Weda.

Tuhan tidak Menuntut Apa-apa, hanya dedikasi :
Tuhan tidak pernah menuntut apa-apa dari Yadnya Tuhan kepada manusia. Tuhan hanya menginginkan pengabdian atau dedikasi dan cinta kasih umat manusia. Dedikasi dan cinta kasih itu cukup ditunjukkan dengan sehelai daun, sekuntum bunga dan air, asal dipersembahkan dengan kasih sayang akan diterima oleh Tuhan. Simaklah Sloka Bhagawadgita berikut :

Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah. (Bhagawadgita IX.26)

Artinya :
Barang siapa mempersembahkan kepada Tuhan dengan penuh dedikasi sehelai daun, sekuntum bunga ataupun air, maka persembahan yang suci murni dan penuh kasih sayang itu akan diterima oleh Nya.

Tuhan Bersemayam pada Semua Mahluk sebagai Atman.
Tuhan adalah Atman yang berada pada semua mahluk ciptaan-Nya. Tuhan adalah juga asal usul semuanya, yang membantu umat manusia, menentukan hidup dan akhir dari kehidupannya. Hal ini ternyata dari Sloka Bhagawadgita berikut :

Aham atma gudakesa sarva-bhutasya-sthitah aham adis ca madhyam ca bhutanam anta eva ca. (Bhagawadgita X.20)

Artinya :
Tuhan adalah Atman yang bersemayam di hati semua mahluk. Tuhan adalah permulaan, ditengah-tengah dan akhir dari setiap yang ada.

Tuhan adalah Benih dari Segalanya.
Tidak ada sesuatupun yang dapat hidup tanpa Tuhan. Tuhan adalah benih dari semua benda yang ada di alam semesta ini. Hal ini dinyatakan dalam Sloka Bhagawadgita dibawah ini :

Yac capi sarva-bhutanam bijam tad aham na tad asti vina yat syan maya bhutam caracaram. (Bhagawadgita X.30)

Artinya :
Tuhan adalah benih dari segala benda. Tidak ada satupun baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dapat hidup tanpa Tuhan.

Tuhan Turun ke Dunia Menjadi Awatara
Jika pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma merajalela, pada waktu itu Tuhan akan turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia. Berikut adalah pernyataan Kitab Bhagawadgita :

Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srijamy aham. (Bhagawadgita IV.7)
Paritranaya sadhunam vinasaya ca dushkritam dharma samsthapanarthaya sambhavami yuge-yuge. (Bhagawadgita IV.8)

Artinya :
Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma merajalela, pada waktu itulah Tuhan sendiri menjelma ke dunia.

Yang Memuja Tuhan akan dilindungi
Tuhan itu Maha Pemurah. Karena itu siapapun yang memuja Tuhan dan selalu merenungkan Nya akan diberikan apa yang mereka perlukan. Di samping itu Tuhan juga akan melindunginya. Demikian Kitab Bhagawadgita menyatakan :

Ananyas cintayanto mam ye janah paryuoasate tesam nitya abhiyuktanam yogaksema vahamy aham. (Bhagawadgita IX.22)

Artinya :
Mereka yang memuja Tuhan, selalu merenungkan Nya akan diberikan apa yang mereka perlukan dan Tuhan akan melindungi apa yang mereka miliki.

Kamis, 05 September 2013

Dharma Wacana : Pengertian Wija dan Bhasma

Belajar Hindu.



Apakah wija sama dengan Bhasma ?. Kadangkala antara Wija / Bija dan Bhasma itu pengertiannya rancu. Wija dibuat dari beras sedangkan Bhasma dibuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat.

Kemudian hasil gosokan (asaban) ini diendapkan. Inilah bahan Bhasma. Kata Bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "Bhas" dalam kata Bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma  adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannya juga berbeda. Kalau Wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus Walaka, sedangkan Bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih.

Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian Bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa ( Siwa Bhasma ), di samping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya ( Bhasma sesa ).

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dalam suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunir atau kunyit (Curcurma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah Bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiva-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuh-kembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang penting di dua tempat, yaitu; pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa Wija disamping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Sumber bacaan buku Hindu Menjawab 2 Susila dan Upakara, Ngakan Made Madrasuta. (RANBB)

Senin, 02 September 2013

Om, is the most important symbol in Hinduism

Om, is the most important symbol in Hinduism

Aum, also known as, Om, is the most important symbol in Hinduism. It is made up of three Sanskrit letters namely A, U, and M and is written as No. 3 with a curved line like a tail going out from the center on the back side of three with a moon-shaped curve and a dot above 3. All the major Hindu mantras start with Aum. Aum represents Brahman, the Almighty. You would understand the importance of this symbol by this only. It is the sound heard at the time of creation of universe.

Swastika is the second most important Hindu symbol.

Swastika is the second most important Hindu symbol. Swastika looks like the Nazi symbol. The only difference is Nazi symbol is tilted as if standing on one point while the Hindu symbol seems as if standing on a horizontal branch. The word Swastika can be broken as Su+Asti+ka where Su means good and Asti means “it really is” and “ka” makes the word a noun. That means “Everything is good.”

Swastika is also considered to be sacred and represents luck and prosperity. A swastika is drawn on Kalash at the time of Hindu rituals. It is also used in pendants and printed on walls of the Hindu temples.

As Hinduism is the oldest religion on the earth, it has more numbers of symbols than other religions. Each Hindu symbol has a different meaning and is used on different occasions. Hinduism symbols are also used as body tattoos in the Western countries as well as in India. Hinduism signs and symbols are very popular in India and are also known as Indian symbols. We are providing here a comprehensive list of major Hindu symbols and their meanings.  

Om or Aum, Swastika, Tilak, Lingam, Trishul, Bindi, Kalash, Yantra, The saffron-colored flag, Rudraksha Bead, Lotus, Shankha (Conch Shell), Dharmachakra, Lamp, Banyan Tree, Nandi, Shri, Ganesha, Kamandalu, Cow, Sudarshan Chakra, Veena, Paduka, Peacock Feather, Symbols of a married Hindu woman, Sun, Snake.

More Articles Related to Hindu Symbols: see-source : http://hinduismfacts.org/hindu-symbols/

Minggu, 01 September 2013

Hindu Sumber Mata Air Keyakinan yang Sebenarnya

Agama adalah persatuan manusia dengan Yang Suci, dan tujuan terakhir dari agama adalah pengejawantahan Kebenaran. Bentuk-bentuk yang melambangkan Kebenaran hanyalah indikasi; mereka bukanlah Kebenaran itu sendiri, yang mengatasi semua konseptualisasi. Pikiran dalam upayanya untuk memehami Kebenaran melalui 'reasoning' pasti akan gagal, karena Kebenaran mengatasi pikiran yang mencoba untuk memeluknya.

Agama Hindu adalah unik di antara agama-agama dunia Saya dengan tegas mengatakan bahwa agama Hindu adalah agama terbesar di dunia. Untuk memulainya, agama Hindu adalah deklarasi spiritual manusia yang tertua di dunia, sumber pancuran dari keyakinan yang sesungguhnya di planet ini. Usia agama Hindu yang patut dimuliakan telah membuatnya menjadi matang. Dialah satu-satunya agama, sepanjang pengetahuan Saya, yang tidak didirikan atas satu-satunya peristiwa sejarah atau satu-satunya nabi, tetapi Agama Hindu sendiri telah mendahului sejarah yang tercatat.

Agama Hindu telah disebut "ayunan tempat lahir spiritualitas" dan "ibu dari segala agama," sebagaian karena agama Hindu telah mempengaruhi hampir setiap agama dan sebagian lagi karena ia menyerap semua agama-agama lain, menghormati kitab-kitab suci, orang-orang suci dan philosofi mereka. Hal ini mungkin karena agama Hindu melihat dengan penuh kasih kepada semua upaya spiritualitas yang murni dan mengetahui dengan jelas bahwa semua jiwa-jiwa bergerak menuju persatuan dengan Yang Suci, dan semuanya telah ditetapkan, tanpa kecuali, untuk mencapai pencerahan spiritual dan pembebasan dalam hidup ini atau hidup yang akan datang.

Tentu saja, setiap agama di dunia adalah strata pikiran dalam manusia. Dia adalah satu kelompok orang yang  berfikir secara sadar (consciously); secara bawah-sadar (subconsciously) dan secara bawah-suprakesadaran (subsuperconsciously) dan dibimbing oleh supra kesadaran mereka dan supra kesadaran-dari para pemimpin mereka, yang kemudian membentuk lapangan kekuatan spiritual yang kita sebut suatu agama. Agama tidak hadir di luar pikiran manusia. Orang-orang dari semua agama telah dipengaruhi oleh pengalaman yang sama. Mereka semua telah menerima sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan yang sama aau mirip, dan persetujuan mereka bersama menciptakan ikatan persahabatan dan tujuan, doktrin dan persatuan.

Sumber bacaan buku Hinduism, the Greatest Religion in the World (Hindu Agama Terbesar di Dunia) Stephen Knapp. (RANBB)




Cari Artikel di Blog ini

Berita Terkait Semangat Hindu

Artikel Agama Hindu

108 Mutiara Veda 3 kerangka agama hindu advaita visistadviata dvaita Agama Hindu Dharma agama islam Ajaran Hindu aksara suci om Apa yang dimaksud Cuntaka Apa yang dimaksud dengan Japa Apa yang dimaksud dengan Puja aris widodo artikel hindu arya dharma Arya Wedakarna Asta Brata Atharvaveda Atman babad Badan Penyiaran Hindu bagian catur weda bahasa jawa kuno bahasa kawi bahasa sanskerta Banggalah Menjadi Hindu banten hindu bali Belajar Hindu bhagavad gita Bhagawadgita bhagawan bhuta yadnya Bimas Hindu BPH Banten brahma wisnu siwa Brahman Atman Aikyam brahmana ksatriya wesia sudra budaya bali budha kliwon sinta Bukan Heroisme Canakhya Nitisastra cara sembahyang hindu catur asrama Catur Brata Catur Cuntakantaka Catur Purusha Artha Catur Purusharta catur veda Catur Warna Catur Weda Cendekiawan Hindu Dana Punia dewa dewi hindu dewa yadnya dewata nawa sanga dewi kata-kata dewi saraswati dharma artha kama moksa Dharma Santi dharma wacana Doa Anak Hindu epos mahabharata ramayana filsafat agama hindu ganesha Gayatri Sebagai Mantra Yoga Hari Raya Galungan Hari Raya Kuningan Hari Raya Nyepi Hari Raya Pagerwesi Hari Raya Saraswati Hari Raya Siwaratri HINDU adalah ARYA DHARMA HINDU ADALAH SANATHANA DHARMA HINDU ADALAH VAIDHIKA DHARMA Hindu Agama Terbesar di Dunia Hindu Banten Hindu beribadah di Pura Hindu Festival Hindu Indonesia hindu nusantara Hindu Tengger Hinduism Facts Hinduism the Greatest Religion in the Word Hukum Karma Ida Pedanda sakti isi catur weda Jadilah Manusia Setia Japa dan Mantram Jiwa kakawin Kamasutra Keagungan Aksara Suci OM Kekawin Lubdhaka kepemimpinan jawa kuna Kerajaan Hindu kidung dewa yadnya Kitab Suci Weda lontar Lontar Kala Maya Tattwa manawa dharma sastra Mantra Mantra Yoga manusa yadnya Meditasi Matahari Terbit Mengapa Kita Beragama menghafal sloka Mimbar Agama Hindu Moksha Motivasi Hindu Mpu Jayaprema nakbalibelog Naskah Dialog Nuur Tirtha Om or Aum one single family opini hindu moderat Panca Sradha panca yadnya Panca Yajna pandita Panglong 14 Tilem Kepitu parahyangan agung jagatkartta paras paros segilik seguluk Pasraman Pasupati Pembagian Kitab Suci Veda Pemuda Hindu Indonesia pendidikan hindu pengertian catur weda Pengertian Cuntaka penyuluh agama hindu Peradah percikan dharma Percikan Dharma Dewa Yajna phdi pinandita Pitra Yadnya Ngaben Pitrapuja potong gigi Principle Beliefs of Hinduism Proud To Be Hindu Puja dan Prathana Pujawali purana purnama tilem Purwaning Tilem Kapitu Radio online Bali rare angon nak bali belog Reinkarnasi Rgveda ritual hindu Roh Rsi yadnya sabuh mas sad darsana sad guru Samaveda sanatana dharma sang hyang pramesti guru Sang Kala Amangkurat Sang Kala Dungulan Sang Kala Galungan Sang Kala Tiga Sapta Timira Sarassamuscaya Sarassamuscaya Sloka sattvam rajah tamah Sekta Hindu Semangat Hindu seni budaya hindu Sex and Hinduism siwa budha waesnawa siwa ratri Sloka sloka bhagawad gita sloka Rgveda sloka yayurveda Slokantara Sloka Spiritual Bersifat Misterius spiritualitas hindu spma ribek sradha dan bhakti sri rama krishna paramahansa Sri Sathya Sai Baba Sri Svami Sivananda sumpah dalam perkara tabuh gesuri tabuh kreasi baru tabuh telu lelambatan tantri kamandaka tat twam asi tattwa susila upakara Tempat Suci Hindu tiga hubungan harmonis tri hita karana Tri kaya parisudha tri kerangka agama hindu tri mala tri pramana Triji Ratna Permata tujuan perkawinan tumimbal lahir upacara hindu upacara menek deha Upanisad Utsawa Dharma Gita vaidhika dharma Vasudhaiva Kutumbakam Vijaya Dashami widhi tatwa wija kasawur wiwaha agama hindu Yajna dan Sraddha yajna dan sradha Yayurveda Yoga Kundalini