Pages

Minggu, 27 Juli 2014

Panca Bunyi untuk Orang Bali

tari bali
Gadis Penari Bali
Banyak orang berpendapat sama tentang mengapa kesenian Bali hidup dan berkembang subur serta banyak sekali ragamnya. Komentar mereka adalah, karena di Bali kesenian terkait erat dengan aktivitas adat dan agama. Tidak ada satu pun kegiatan agama dan adat yang tidak mengikutsertakan kesenian.
Karena itu banyak orang berpendapat, peristiwa adat dan agama di Bali itu sendiri sudah merupakan peristiwa kesenian yang sangat unik. Kata mereka lagi, hanya kalau melarang kegiatan keagamaan saja yang sanggup membuat kesenian Bali musnah. Ini sama saja artinya dengan seni di Bali itu akan macet total kalau adat dan agama lumpuh. Tentu, ini suatu hal yang sulit terjadi, mustahil.

Tapi tak banyan orang yang bertanya-tanya, mengapa kegiatan adat dan agama di Bali membutuhkan kesenian? Kalau toh ada yang berkomentar, pendapat itu adalah, karena seni merupakan persembahan kepada Sang Hyang Pencipta. Namun, begitu banyak upacara adat dan agama bagi orang Bali yang ternyata membutuhkan pertunjukan dan peristiwa kesenian. Orang meninggal harus diantar oleh kidung dan gamelan angklung. Upacara ngotonin harus disertai pertunjukan wayang kulit. Orang kawin senang sekali kalau disemarakkan dengan gamelan semara pengulingan. Wayang, angklung, kidung, semara pengulingan, memang sebuah persembahan, namun ia juga punya makna "demi seseorang". Untuk itu mengantar roh, untuk bayar kaul, untuk kesemarakan. Bukanlah ini berarti justru kegiatan ritual untuk manusia juga menyebabkan kesenian tumbuh subur? Lalu, mengapa upacara untuk manusia mesti ada bunyi kulkul (kentongan), gending dan suara gamelan?



Orang Bali punya teori untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut mereka, kegiatan ritual untuk orang Bali selalu disertai lima bunyi; suara genta, mantra, kidung, gamelan, dan bunyi kulkul. Itu untuk upacara yang komplet. Upacara orang kawin misalnya, pasti ada keleneng genta, dengung mantra, yang diantar pendeta. Lalu harus ada suara gamelan dan kidung. Bunyi kulkul untuk memberitahu warga banjar, hari itu ada pasangan menikah.

Panca bunyi itu hampir selalu komplet kita dapatkan kalau ada upacara pitra yadnya ngaben. Pasti selalu ada puja-puja pendeta berupa mantra dan genta, gamelan kelentangan atau angklung, kidung-kidung mengantar roh ke kedituan (alam sana), dan suara kulkul pemberitahuan untuk krama banjar. (Baca Alam Setelah Kematian)

Untuk upacara perkawinan, ngotonin, menek bajang (akil balik), bunyi kulkul sangat jarang kita dengar menyertainya. Tapi menurut orang Bali pula, keluarga-keluarga berada, keluarga puri, dan keluargayang memegang teguh tradisi, selalu ingin tampil lengkap dengan panca bunyi itu. Untuk upacara balita seperti ngotonin, memang keluarga itu tak memukul kulkul balai banjar, karena biasanya cukup memberi tahu keluarga atau tetangga dekat saja.Namun keluarga itu biasanya membuat kulkul kecil dan dipukul sendiri dirumah.

Panca bunyi itulah yang menyebabkan upacara adat dan agama untuk orang Bali selalu menghadirkan kesenian. Seni pertunjukan mendapat tempat dan waktu untuk tampil. Tentu penampilan ini dilakoni oleh keluarga-keluarga berada, oleh orang-orang yang punya cukup uang buat menggelar seni pertunjukan.
Hal ini memang baru sebatas teori, pendapat ini tidak mengada-ngada, tidak mencari-cari, dan masuk akal. Sehingga orang yang mendengarkannya bisa dibuat manggut-manggut dan bergumam, "Ya, ya, yaaaa..."

Tapi ternyata orang Bali yang melaksanakan upacara adat lengkap dengan Panca bunyi tak banyak jumlahnya. Ngotonin misalnya, lebih menekannya pada sesaji dibandingkan pertunjukan dan hentakan gamelan.  Karena itu orang selalu saja menggugat teori ini, dan menganggap banyak kelemahan. Misalnya, mengapa dikatakan panca bunyi, tidak sapta, sanga atau dasa bunyi ?

Kalau digugat tak apa-apa, toh ini sebuah teori. Yang penting ada jawaban baru dari pertanyaan; mengapa orang Bali sangat lengket dengan kesenian? Begitu dekat dengan bunyi? Sumber bacaan buku Basa Basi Bali Gde Aryantha Soethama. (RANBB)


Selasa, 15 Juli 2014

Rawana dan Wanara

Rawana dan Wanara. Adalah Sang Sukasarana, raksasa sakti di utus oleh Sang Rawana untuk memata-matai Sri Rama. Sang Sukasarana berubah wujud menjadi seekor kera, menyusup di antara kera yang telah berkumpul di Gunung Swela. Sang Sukasarana bertugas untuk menghitung banyaknya pasukan kera (wanara), mereka yang berani, setia dan sakti, sekaligus dengan pemimpinnya yang berani mati bagi Sri Rama, atau adakah di antara mereka, di antara pempimpin wanara itu yang memihak Rawana.


Ternyata Sang Wibhisana mengetahui kehadiran seekor kera yang sesungguhnya adalah raksasa Sukasarana. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Sri Rama dan memohon untuk membunuhnya. Namun Sri Rama tidak berkenan, "Sama sekali ia tidak boleh dibunuh. Siapa yang akan menyampaikan berita kepada tuannya kalau di dibunuh. Lepaskan ia agar ia cepat menghadap tuannya untuk menyampaikan keadaan kita". Maka kera siluman itupun dilepaskan.

Sang Sukasarana menghadap Sang Rawana. Ia melapor apa yang ia alami, apa yang diketahuinya. Bahwa semua wanara setia kepada Sri Rama ; Sang Hanuman teguh hatinya, Sang Anggada tidak pernah surut baktinya, Sang Gawa, Sang Gawaya, Sang Gawaksa, Sang Jambawan, Sang Nala, Sang Nila, Sang Susena, Sang Kesari, Sang Suraba, Sang Wresaba, Sang Indayu, Sang Kumuda, Sang Darimuka, Sang Gandamadana, Sang Dwiwida, Sang Panasa, Sang Bimaawaktra, Sang Tara, Sang Winata, Sang Subodra, Sang Kala Waktra, Sang Dumra, Sang Satabali, Sang Putaksa, Sang Mainda, Sang Dhruwasa, Sang Danurdhana, Sang Dama, Sang Mattahasti, itulah sebarisan pimpinan pasukan wanara yang gagah perkasa, yang sangat setia kepada Sri Rama. Sang Sukasarana juga menyatakan kekecutan hatinya mengetahui kekuatan pasukan Sri Rama itu. Tentu saja Sang Rawana menjadi marah dan menghardik utusannya itu, sekaligus menyatakan penghinaannya kepada pasukan kera yang dinilainya sangat lemah dan bodoh.

Di pihak lain Sri Rama, Wibhisana, Sugriwa dan Hanuman mengadakan perundingan, perihal menentukan siapa saja yang akan dijadikan duta menghadap Sang Rawana. Maka pilihan pun jatuh pada Sang Anggada, putra Sang Bali, wanara sangat sakti saudara Sang Sugriwa. Sang Anggada menerima perintah dengan sangat lega karena baktinya yang tulus kepada Sri Rama (ri bhakti nira hetu tang alang-alang ri Sang Wawana)

Sang Anggada pun terbang ke Alengka. Setibanya di hadapan Sang Rawana ia segera berkata dengan jelas dan tegas : 
"Hai Sang Rawana. Tuan adalah raja, mohon di dengar kata-kata saya. Saya ini adalah putra Sang Bali yang terkenal bernama Sang Anggada. Sri Rama keturunan Raghu adalah raja semesta dunia. Beliaulah yang mengutus saya datang kepada tuan, itulah sebabnya saya menghadap. Tujuan saya adalah mohon agar Tuan bersama rakyat tuan sujud menyembah kepada Sri Rama. Mohon agar jiwa tuan selamat dan kekal menikmati kebahagiaan hidup"

Demikianlah permintaan wanara Anggada kepada Sang Rawana. Ia meminta supaya Sang Rawana tunduk kepada Sri Rama. Dan dengan arif wanara muda menasehatinya : lawan ndya kari dona ning wwang abhimana tatah sada / ryya nitya nikanang hurip tuwi kayowanan tan lana : dan lagi apa pahalanya orang yang selalu angkuh ? Karena hidup ini tidak kekal, demikian pula umur muda tidak abadi.  Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)

Selasa, 08 Juli 2014

Berdoa untuk Orang Non-Hindu

Boleh nggak kita mendoakan orang non-Hindu yang meninggal dengan doa Hindu ?

Mantra-mantra Veda dan Upanisad ditujukan kepada semua manusia, tanpa membedakan ras, suku dan agama. Bahkan untuk mahluk, serta alam semesta. Mantra yang paling sering diucapkan oleh Sulinggih atau pinandita waktu meminpin upacara berbunyi :

"Sarve Bhavantu Sukinah, Sarva santu niramayah, Sarve badrani pasyantu, Ma kascit dukha bhag bavet, Om loka samasta sukhino bhavantu "

Artinya : Semoga semua hidup berbahagia. Semoga semua menikmati kesehatan yang baik. Semoga semua mendapat keberuntungan. Semoga tidak ada mengalami kesedihan, Semoga damai dimana-mana.

Jadi semua didoakan. Ini satu bukti Hindu atau Veda tidak bersifat sekterian. Veda bukan untuk satu kelompok manusia, apakah berdasarkan suku, bangsa, ras atau keyakinan. Tetapi ingat tidak semua agama mengijinkan umatnya mendoakan orang meninggal yang lain keyakinannya. Sebaiknya hanya dalam hati saja, niay baik harus dilaksanakan dengan cara baik.

Baca Juga : Cara Pengucapan Mantra Dalam Bahasa Sanskerta




Apa perbedaan Mantra, Sloka dan Gita ?

Mantra secara etimologi didefinisikan sebagai 'itu yang melindungi' (tra = melindungi, to protect) ketika diucapkan secara berulang dan direnungkan (man = berpikir, menerung, to think, to reflect).  Kata Mantra mempunyai dua arti: bagian-bagian yang berbentuk puisi dari Veda, dan nama-nama dan suku kata yang digunakan untuk mengidentifikasikan atau mengambil hati para Dewa. Yang pertama bersifat Veda yang kedua bersifat Tanrik. Veda secara umum dibagi dalam dua bagian besar. Mantra dan Brahmana. Mantra dalam tiga Veda diklasifikasikan ladi sebagai rk, yajus, dan saman. Kitab-kitab Brahmana dalam bentuk prosa, menjelaskan rincian upacara korban dan mengutip mantra yang tepat yang digunakan dalam upacara itu.

Sloka adalah satu sajak yang terdiri dari dua baris, masing-masing dari kedua baris ini terdiri dari delapan suku kata. Gita artinya nyanyian atau kidung.