UPAKARA YADNYA HINDU
Mengenai Upakara Yadnya atau Banten ini sudah ada sorotan tajam dipertanyakan dari segi eksistensinya maupun faktor ekonominya, apakah masih relevan pada masa kehidupan sekarang ini?. Apakah tidak bisa disederhanakan karena banyak menyita waktu, tenaga dan dana ?
Dulu, para pendahulu kita dalam mengamalkan Ajaran Kitab Suci Weda memilih Upakara Yadnya atau Banten sebagai perwujudan konkrit rasa bakti itu kepada Sang Hyang Widhi. Jadi tidak heran jika dalam kehidupan kita sehari-hari diliput oleh Upakara Yadnya ini. Karena setiap Yadnya pasti ada Upacara dan setiap Upacara pasti ada Upakara Yadnya atau Banten ini. Jadi kita rupanya tidak hanya cukup hanya memuja dan memohon kepada SangHyang Widhi pada saat Puja Wali tetapi juga harus menunjukkan prilaku atau bukti tanda bakti kepada-Nya sesuai petunjuk Sastra.
Baca Juga Apakah Hindu Tak Bisa Tanpa Ritual Banten ?
Sebenarnya Ajaran Hindu bersifat fleksibel dan elastis dalam arti ajarannya dapat dilaksanakan menurut Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan). Landasannya adalah Catur Dresta yaitu Purwa Dresta (norma-norma terdahulu yang baik), Desa Dresta (uger-uger yang dibuat oleh Desa Pakraman), Loka Dresta (undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh Pemerintah) dan Sastra Dresta yaitu ketentuan-ketentuan berdasarkan Pustaka-Pustaka yang ada atau Kitab Suci Weda. Begitu juga wujud Upakara Yadnya dari segi materi Bantennya, bisa kecil (kanistama), sedang (madyama) dan besar (uttama). Walaupun demikian masih perlu adanya Pedoman pelaksanaan mengenai Upakara Yadnya atau Banten ini menyangkut Puja Wali untuk dijadikan pegangan bersama. Hal ini perlu untuk menghindari terjadinya friksi atau perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh Agama Hindu tepatnya Umat Hindu bukannya dari eksternal saja tetapi juga dari dalam diri sendiri atau internal yaitu para Cendekiawan Hindu. Ada kelompok yang menghendaki agar Agama Hindu dikembalikan kepada kemurnian ajaran Kitab Suci Weda seperti halnya di India. Ada kelompok yang cendrung berpikiran rasional pragmatis dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomis dalam mengaplikasikan nilai-nilai Ajaran Hindu kedalam aktivitas hidup sehari-hari. Ada juga kelompok yang berpikiran tradisional yang berpegangan kepada tradisi-tradisi warisan Leluhur dengan mengikuti praktek-praktek keagamaan yang sudah ada di Bali.
Menapak kedepan menghadapi perkembangan jaman dan tantangan serta tuntutan kehidupan yang semakin sulit dan semakin majunya IPTEK dan semakin meningkatnya daya pikir atau nalar Umat Hindu membuat mereka lebih mengembangkan pemikiran rasional filosofis dimana ini mau tidak mau nantinya akan secara pelan-pelan mendesak dogmatisme.
Jadi Upakara Yadnya atau Banten ini karena menjadi ciri khas suatu Yadnya yang mempunyai nilai magis dan daya cipta spiritual yang tinggi maka Upakara Yadnya atau Banten ini tetap harus ada dan bisa disederhanakan dengan cara mengambil tingkat sederhana (Kanistama) sesuai ketentuan Sastra Agama.
Hal ini sesuai dengan himbauan dari Danghyang Dwijendra atau Bhatara Sakti Wau Rawuh yang diunggah dalam Pustaka Eka Dasa Rudra dimana beliau mengatakan : "Bahwa jaman akan berubah maka perlu ada perubahan atau pembaharuan dalam ritual agama. Perubahan dan pembaharuan ini bukannya merusak agama dan ajarannya tetapi justru untuk menyelaraskan cara berpikir agama dengan budaya manusia yang sedang berkembang. ". Ini dilakukan agar Sradha atau keimanan Hindu tidak kandas dalam perjalanan sejarah. Yang penting menurut beliau dalam perubahan dan pembaharuan itu nilai dan Sradha atau keimanan Hindu tidak berubah. Dikutip dari makalah Ida Pedanda Nabe Gde Putra Sidemen. (RANBB)
Upakara Yadnya |
Dulu, para pendahulu kita dalam mengamalkan Ajaran Kitab Suci Weda memilih Upakara Yadnya atau Banten sebagai perwujudan konkrit rasa bakti itu kepada Sang Hyang Widhi. Jadi tidak heran jika dalam kehidupan kita sehari-hari diliput oleh Upakara Yadnya ini. Karena setiap Yadnya pasti ada Upacara dan setiap Upacara pasti ada Upakara Yadnya atau Banten ini. Jadi kita rupanya tidak hanya cukup hanya memuja dan memohon kepada SangHyang Widhi pada saat Puja Wali tetapi juga harus menunjukkan prilaku atau bukti tanda bakti kepada-Nya sesuai petunjuk Sastra.
Baca Juga Apakah Hindu Tak Bisa Tanpa Ritual Banten ?
Sebenarnya Ajaran Hindu bersifat fleksibel dan elastis dalam arti ajarannya dapat dilaksanakan menurut Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan). Landasannya adalah Catur Dresta yaitu Purwa Dresta (norma-norma terdahulu yang baik), Desa Dresta (uger-uger yang dibuat oleh Desa Pakraman), Loka Dresta (undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh Pemerintah) dan Sastra Dresta yaitu ketentuan-ketentuan berdasarkan Pustaka-Pustaka yang ada atau Kitab Suci Weda. Begitu juga wujud Upakara Yadnya dari segi materi Bantennya, bisa kecil (kanistama), sedang (madyama) dan besar (uttama). Walaupun demikian masih perlu adanya Pedoman pelaksanaan mengenai Upakara Yadnya atau Banten ini menyangkut Puja Wali untuk dijadikan pegangan bersama. Hal ini perlu untuk menghindari terjadinya friksi atau perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh Agama Hindu tepatnya Umat Hindu bukannya dari eksternal saja tetapi juga dari dalam diri sendiri atau internal yaitu para Cendekiawan Hindu. Ada kelompok yang menghendaki agar Agama Hindu dikembalikan kepada kemurnian ajaran Kitab Suci Weda seperti halnya di India. Ada kelompok yang cendrung berpikiran rasional pragmatis dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomis dalam mengaplikasikan nilai-nilai Ajaran Hindu kedalam aktivitas hidup sehari-hari. Ada juga kelompok yang berpikiran tradisional yang berpegangan kepada tradisi-tradisi warisan Leluhur dengan mengikuti praktek-praktek keagamaan yang sudah ada di Bali.
Menapak kedepan menghadapi perkembangan jaman dan tantangan serta tuntutan kehidupan yang semakin sulit dan semakin majunya IPTEK dan semakin meningkatnya daya pikir atau nalar Umat Hindu membuat mereka lebih mengembangkan pemikiran rasional filosofis dimana ini mau tidak mau nantinya akan secara pelan-pelan mendesak dogmatisme.
Jadi Upakara Yadnya atau Banten ini karena menjadi ciri khas suatu Yadnya yang mempunyai nilai magis dan daya cipta spiritual yang tinggi maka Upakara Yadnya atau Banten ini tetap harus ada dan bisa disederhanakan dengan cara mengambil tingkat sederhana (Kanistama) sesuai ketentuan Sastra Agama.
Hal ini sesuai dengan himbauan dari Danghyang Dwijendra atau Bhatara Sakti Wau Rawuh yang diunggah dalam Pustaka Eka Dasa Rudra dimana beliau mengatakan : "Bahwa jaman akan berubah maka perlu ada perubahan atau pembaharuan dalam ritual agama. Perubahan dan pembaharuan ini bukannya merusak agama dan ajarannya tetapi justru untuk menyelaraskan cara berpikir agama dengan budaya manusia yang sedang berkembang. ". Ini dilakukan agar Sradha atau keimanan Hindu tidak kandas dalam perjalanan sejarah. Yang penting menurut beliau dalam perubahan dan pembaharuan itu nilai dan Sradha atau keimanan Hindu tidak berubah. Dikutip dari makalah Ida Pedanda Nabe Gde Putra Sidemen. (RANBB)