OM. SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA, AM, UM, OM

PRAKATA

Selamat Datang

Semangat Hindu merupakan blog bersama umat Hindu untuk berbagi berita Hindu dan cerita singkat. Informasi kegiatan umat Hindu ini akan dapat menumbuhkan semangat kebersamaan.
Semangat Hindu semangat kita bersama.

Bersama Semangat Hindu kita berbagi berita dan cerita, info kegiatan, bakti sosial dan kepedulian, serta kegiatan keagamaan seperti ; pujawali, Kasadha, Kaharingan, Nyepi, Upacara Tiwah, Ngaben, Vijaya Dhasami dan lain sebagainya.

Marilah Berbagi Berita, Cerita, Informasi, Artikel Singkat. Bagi yang mempunyai Web/Blog, dengan tautan URL maka dapat meningkatkan SEO Web/ blog Anda.

Terima Kasih
Admin

RANBB

---#### Mohon Klik Share untuk mendukung blog ini ####---

Tampilkan postingan dengan label Pembagian Kitab Suci Veda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pembagian Kitab Suci Veda. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2024

VEDA ADALAH ILMU PENGETAHUAN SUCI

 

KITAB SUCI VEDA ADALAH SUMBER KEBENARAN

 Veda berasal dari akar kata Vid yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Jadi, Veda adalah ilmu pengetahuan suci yang berasal dari wahyu Sang Hyang Widhi melalui para Maha Rsi.

 Kitab suci Veda adalah sumber kebenaran, sehingga dijadikan sumber keyakinan dan kepercayaan bagi umat Hindu.

 Berdasarkan kitab Manu Smrthi dan Manawa Dharmasastra dapat dik- lasifikasikan menjadi dua pengelompok ini terdiri dari besar, yaitu Sruti dan Smrthi.

 Veda Sruti dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu bagian mantra, kitab Brah- mana, dan Upanisad. Sedangkan Smrthi, dapat dikelompokkan menjadi kelompok Vedangga (batang tubuh Veda) dan kelompok Upaveda (Veda tambahan).

 Para Maha Rsi yang menerima wahyu Veda disebut dengan Sapta Rsi, ada pun ketujuh Maha Rsi yang menerima wahyu itu adalah Rsi Grtsamada, Rsi Wiswamitra, Rsi Wamadewa, Rsi Atri, Rsi Bharadwaja, Rsi Wasista, dan Rsi Kanwa.

 Veda dikodifikasi oleh Bhagawan Wyasa dengan dibantu oleh para siswa-siswanya, yaitu: Bhagawan Pulaha, Bhagawan Jaimini, Bhagawan Waisampayana, dan Bhagawan Sumantu.

 Veda juga disebut Kitab suci Hindu karena berbentuk buku disujikan dan berisi pedoman kehidupan bagi umat Hindu.

 Veda juga disebut dengan pujastuti atau mantra, ketika dilafalkan oleh para sulinggih.

 Veda Sruti adalah veda yang didengar secara langsung oleh para maharsi penerima wahyu.

 Veda Smrthi adalah Veda yang lebih operasional terutama untuk menjelas- kan secara lebih mudah apa yang terdapat di dalam Veda Sruti.

Senin, 26 Juni 2023

Jalan Perbuatan Karma Marga

Percikan Dharma

Jalan Perbuatan (Karma Marga)


Om Swastyastu

Umat se-dharma, dalam kehidupan ini untuk dapat mencapai tujuan utama umat Hindu yaitu Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma salah satunya yaitu jalan perbuatan. Oleh karena berbuat baik, benar, giat, jujur dan tidak malas disabdakan dalam sabda suci Hyang Widhi. 



Jalan perbuatan ini disebut jalan Karma Marga. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa jalam Karma Marga dan Bhakti , demikian Karma dan Jnana, Jnana dan Raja Marga. Sesungguhnya semua jalan hampir sama cuma pemahaman dan kemampuan umat manusia mengkuti jalan-jalan itu berbeda-beda. Jalan perbuatan menekankan pada kerja keras, kejujuran dan meyakini setiap perbuatan bila dikerjakan dengan baik sesuai dengan ajaran-Nya, maka seseorang juga akan sampai kepada-Nya.


Kerja yang jujur


Aksair ma divyah krsim it krsasva

vite ramasva bahu manyanmanah,

tatra gavah kitava tatra jada

tanme vi caste sarvitayam aryah.


Rg Veda X. 34. 13


Artinya

Jangan bermain dadu, tanamilah ladangmu; Berbahagialah  dengan kekayaan itu, banggakanlah itu. Wahai penjudi, ingat ternakmu dan ingat istrimu. Demikianlah nasehat Swanita yang mulia.


Ulasan

Bahwa dalam hidup ini penuh liku-liku maka jangan pernah gunakan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena kesempatan hidup tidak selamanya seperti ini kadang kehidupan nanti tidak sama karena karna wasana mengikuti kehidupan selanjutnya.


Oleh karena itu gunakan kesempatan seperti ini untuk kerja kerja dan kerja secara jujur agar dapat hasil yang maksimal. Demikian dengan kerja secara jujur tanpa pamrih bisa membawa kita menuju Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.

Om Santih Santih Santih Om


Aris Widodo

Penyuluh Agama Hindu

Kota Serang 

Minggu, 18 Juni 2023

Percikan Dharma Yajna dan Sraddha

 Percikan Dharma Yajna dan Sraddha


Om Swastyastu

Umat se-dharma, setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap, akan sia-sia belaka. Demikian pula keyakinan kita kepadaTuhan atau Hyang Widhi. Sraddha apnoti brahma apnoti, mereka yang memliki keyakinan yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan atau Hyang Widhi, demikian pula dalam melaksanakan yajna, mutlak dilandasi Sraddha atau keyakinan yang mantap.



Orang yang yakin dengan Hyang Widhi tidak pernah kehilangan.



Artikel Terkait Vasudhaiva Kutumbakam :

Nu cit sa bhresate jano resan

mano yo asya ghoram avivasat

yajnair ya indre dadhate duvamsi,

ksayat sa raya rtapa rtejah


Rg Veda VII. 20. 6


Dia, yang mengambil hati Sang Hyang Indra yang dasyat itu dengan sarana yajna, tidak ragu-ragu maupun menderita rugi. Dia, yang menyembah Sang Hyang Indra dan berbicara kebenaran, menikmati berlimpahan kekayaan.


Ulasan

Bahwa kalau kita yakin akan Tuhan niscaya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam berusaha. Untuk itu modal utama yang harus dipupuk dalam diri kita yaitu yakin dan melakukan kebenaran pasti tidak ragu-ragu dan tidak akan merasa kehilangan.

Om Santih Santih Santih Om


Aris Widodo

Penyuluh Agama Hindu

Kota Serang

Senin, 08 April 2019

Percikan Dharma Pengorbanan Suci (Yajna).

Percikan Dharma
Pengorbanan Suci (Yajna).


Umat se-dharma, dalam hidup ini pasti ada suatu pengorbanan suci yang harus dilakukan oleh manusia itu sendiri. Untuk itu perlu sekali dilakukan agar hidup ini menjadi lebih indah dan memberikan inspirasi untuk selalu melakukan korban suci.

Yajna adalah korban suci, yaitu yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih. Yajna mengandung pengertian yang sangat luas, jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian upacara atau upakara. Yajna merupakan pusat alam semesta, diciptakan atas dasar Yajna, keiklhasan-Nya selanjutnya beliau bersabda supaya setiap manusia mengikuti jejak-Nya.

Orang yang telah melakukan yajna memperoleh pencerahan batin. Demikian pula dalam kehidupan modern, donor darah ataupun donor organ tubuhpun dapat disebut sebagai Yajna yang utama. Oleh karena itu dengan yajna yang kita lakukan niscaya semua anugrah pasti didapatkannya.

Pengorbanan untuk kebahagiaan abadi

Svar yanto napeksanta,
a dyam rohanti rodasi

yajnam ye vi vatodharam,
suvidvamso vitenire

Yajur Veda XVII. 68

Artinya
Para sarjana yang terkenal yang melaksanakan pengorbanan, mencapai kahyangan (swarga) tanpa suatu bantuan apapun. Mereka membuat jalan masuk mereka dengan mudah ke kahyangan (Swarga), yang menyeberangi bumi dan wilayah pertengahan.

Ulasan
Bahwa sesungguhnya dalam hidup ini ada sesuatu yang perlu dikorbankan yaitu apa yang kita punya tentunya, namun demikian apapun yang ķita korbankan apabila didasari dengan keikhlasan niscaya akan membuahkan hasil yang sesuai dengan pengorbanan tersebut.

Dengan pengorbanan yang tulus dan ikhlas dan tanpa pamrih pasti Hyang Widhi akan memberikan yang terindah dalam hidupnya.

oleh : Bapak Aris Widodo


Rabu, 21 Desember 2016

HINDU ADALAH AGAMA MISI

HINDU ADALAH AGAMA MISI


Umat Hindu banyak yang ragu dan tidak Percaya Diri (PeDe) untuk mengatakan, bahwa Hindu adalah agama misi. Keraguaan dan rasa minder tersebut jelas tak beralasan. Secara bodoh saja, jika kita menyatakan Hindu bukan agama misi, buat apa PHDI yang didalamnya ada BPH (Badan Penyiaran Hindu), PERADAH, WHDI, MAJAPAHID dan lain sebagainya ??

Sementara di dalam sastra Veda terdapat pesan, baik tersurat maupun tersirat yang menyatakan bahwa Hindu adalah 'Agama Misi'

'yathemam vacam kalyanim,avadani janebhyah,brahma, rajanyabhyam, draya,caryaya,svaya,caranaya ca' Yajur Veda XXVI.2 
artinya: sampaikanlah ajaran suci ini kepada seluruh manusia, kepada Brahmana, Ksatrya, Waisya & sudra, kepada orang-orang ku,orang-orang mu dan bahkan orang asing sekalipun. Sloka Suci tersebut sangat jelas dan meyakinkan, bahwa Hindu adalah Agama Misi, namun cara mengemasnya yang mungkin berbeda, tidak vulgar dan radikal. Tidak harus kita berebut pengikut yang akhirnya menghalalkan segala cara.

“Nasti Veda Param sastram”, tidak ada kitab yang seagung Veda. 

Tugas kita, setidaknya bagaimana kita terpanggil untuk membuat rasa nyaman umat yang berada di dalamnya merasa yakin dan nyaman terhadap agama yang diyakininya. Anak2 dan keluarga sebagai bagian terkecil dari komponen Hindu merupakan dasar pembentuk komunitas Hindu yang besar dan kuat. 

Terdapat beberapa sloka suci yang patut kita jadikan referensi dan dasar meyakinkan anak, saudara, tetangga dan warga Hindu kita agar tetap di dalam 'Pangkuan Dharma':

'yah sastra vidhim utsrijya, vartate kama karatah, nasa sidhim avapnoti, nasukham naparam gatim',*Bh.G. VI.23 : 

siapapun yang meninggalkan ajaran Sastra Vidhi/Veda (agama Hindu) dan berada dalam pengaruh kama (keinginan duniawi), mereka tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan tujuan tertinggi.

'rnani tryapakritya, namomokse niwecayet, ana pakrtya moksamtu, sevamano vrajatyadah' MDS.VI.35: 

mereka yang telah membayar 3 hutangnya (tri rna), hendaknya ia menunjukkan kearah pembebasan terakhir (moksa), tapi mereka yang tidak menyelesaikan 3 hutangnya,maka akan jatuh ke ke dalam Neraka.


Berpijak dari sloka suci tersebut saya mengajak kepada seluruh umat Hindu, terlebih organisasi yang mengatasnamakan Hindu, mari kita sadar dan bangkit. Hindu sudah terlalu lama tertidur. Mari kita sadar dan bangkit bersama untuk membangun Hindu, dari diri kita, keluarga kita, dari sekarang dan dari lingkungan kecil kita...

Kamis, 02 Januari 2014

NIBANDHA : Buku Yang Tidak Merupakan Kelompok Veda

 Jenis kitab-kitab Nibandha
Kelompok buku-buku yang tidak merupakan kelompok Veda tetapi isinya memberi pandangan tersendiri baik yang sependapat ataupun yang bertentangan dengan argumentasi atau alasan-alasan yang meyakinkan tetang kebenaran ajaran yang diketengahkan adalah merupakan kitab-kitab yang dapat digolongkan sebagai kelompok Nibandha. Sifatnya dapat berbentuk komentar, kritik atau ulasan-ulasan yang berdiri sendiri atau yang dikaitkan dengan salah satu pasal atau buku yang tergolong kelompok Veda. Ini penting karena apapun yang akan diketengahkan setidak-tidaknya ada kaitannya dengan Veda.

Secara tradisional sifat pengkaitan itu dibedakan antara bentuk sifat yang ortodok dan dengan yang bersifat hetherodok. Yang ortodok mengkaitkan langsung dengan sumber induknya, yaitu Veda, sedangkan yang hetherodok, tidak bersumber pada Veda melainkan berdiri sendiri dan Veda dianggap sebagai produk tidak otoriter bagi mereka. Golongan terakhir ini terdiri dari golongan Buddhis, Jaina dan Lokayatika yang ajarannya tersimpul dalam banyak buku. Walaupun demikian dari segi Hinduisme golongan Hetherodox ini adalah golongan Hindu pula.

Jenis kitab-kitab Nibandha itu banyak dan merupakan hasil karya ilmiah dari tokoh-tokoh pemuka agama Hindu. Karya mereka langsung membahas berbagai aspek terhadap berbagai persoalan menurut bidang ilmu yang terdapat dan tersebar didalam Veda. Kitab ”gubahan” yang terdapat banyak sesudah Veda Sruti dan Srnrti itu adalah merupakan karya Nihandha. Dalam hal ini misal Sarasamuccaya adalah tergolong jenis Nibandha dalam rangkaiannya dengan Itihasa. Demikian pula kitab-kitab rontal/lontar yang memuat berbagai ajaran yang merupakan gubahan baik langsung maupun tak langsung, semuanya adalah merupakan kitab-kitab Nibandha.

Kitab-kitab filsafat seperti Purwamimamsa adalah digubah berdasarkan bagian-bagian tertentu dari kitab Brahmana dan demikian pula kitab-kitab Bhasya karya Sahara, Brhattika karya Kumarih, Sarasamuccaya karya Kathyayana (Wararuci) dan sebagainya.
Jadi sangat hanyak kitab yang penting yang perlu dikenal dibidang Nihandha itu. Kitab agama yang juga dikenal sebagai kitab Tantra, Brahmasutra, Vedantasutra, Wahya, Brahmamimamsa, Uttaramimamsa, dan berbagai nama-nama buku sebagaimana disebut didalam buku Vedaparikrama dan halaman 15 - 21, semuanya adalah tergolong jenis Nibandha.

Semua jenis Nibandha itu merupakan sumber ke II yang menurut ajaran pokok-pokok ajaran Hindu yang penting pula artinya. Untuk itu bila hendak menghayati ajaran Veda sebagaimana dikehendaki menurut ketentuan-ketentuan umum itu maka jelas peranan Nibandha menentukan arah perkembangan ajaran agama. ini tidak bertentangan dengan ajaran umum didalam Veda karena untuk menghayati Veda dianjurkan agar kita harus membaca semua atau kita harus mampu memahami dan berpandangan luas. Dengan demikian peranan ajaran Atmanastusti mempengaruhi perkembangan Nibandha.
Dengan uraian singkat ini kiranya cukup dapat disimpulkan pokok-pokok pengertian ajaran Nibandha dalam rangkaian seluruh kitab Veda itu. Selanjutnya tergantung dan kita masing-masing bagaimana mamanfaatkan materi yang ada sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, Veda membuka jalan yang lebih bijaksana dengan menetapkan fungsi dan tugas ,,Lembaga Parisada” sebagai lembaga majelis agama yang mempunyai fungsi judikatip bagi masyarakat Hindu. Tentang kedudukan Parisada ini diatur didalam Veda Smrti. (Manawadharmasastra XII. 109-115) yang perumusannya berbunyi sebagai berikut:

Ds. XII. 108.
Anamnatesu dharmesu katham syaditi ced bhawed.
yam sista brahmana bruyuh sadharmah syadacamkitah.
Artinya: :
Kalau ditanya bagaimana hukumnya sedangkan ketentuan itu belum dijumpai secara khusus maka para sista (ahli) dalam bidang itu akan menetapkannya sebagai ketentuan yang mempunyai kekuatan hukum.

 M. Ds. XII. 109.
 Dharmendhigatoyoistu Vedah saparibrhanah,
 tesista brahmãna jneyah sruti praptyaksahetawah.

Artinya:
Para Brahmana yang tergolong sista menurut Veda, adalah mereka yang mempelajari Veda lengkap dengan bagian-bagiannya dan dapat membuktikan pandangannya dari segi Sruti.


M Ds. XII. 110.
Dasãwarã wã parisadyam dharma parikalpayet,
 tryawarã wa’pi wrttasthä tam dharma na wicalayet.

Artinya :
Apapun juga bentuk Parisada itu jumlah anggotanya sekurang-kurangnya terdiri atas sepuluh orang atau tiga orang yang sesuai menurut fungsi jabatannya; keputusannya dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan sah yang tidak boleh dibantah.

M. Ds. XII. 111.
 Traiwidyohaitukastarkamairuktodharma patnakah trayascasraminahpurwe parisatsyad  dasãwarã.

Artinya :
Tiga orang ahli dibidang Veda, seorang ahli dibidang lokika. seorang ahli dibidang Mimamsa, seorang ahli dibidang Nirukta, seorang ahli didalam pengucapan mantra dan tiga orang dari jenis golongan pertama merupakan anggota Parisada ahli yang terdiri atas 10 anggota.

M Ds. XII. 112.
Rg. Veda widyajurwicca samaVeda widewaca tryawarã parisajjneyãdharma  samsaryanirnaye.
Artinya :
Seorang yang ahli dibidang Rg. Veda, seorang yang mengerti YajurVeda dan seorang yang mengerti SamaVeda dinyatakan merupakan tiga anggota majelis Parisada yang mempunyai wewenang dalam memutuskan bila perumusan hukum Hindu itu diragukan.

Dari lima contoh diatas maka jelas bahwa lembaga Parisada mempunyai peranan penting pula sebagai lembaga yudikatip dalam menentukan rumusan-rumusan yang diperlukan karena suatu hal pasal-pasal yang diperlukan dibidang agama belum dijumpai atau masih diragukan.
Dengan berpedoman pada naskah-naskah ini maka tidaklah begitu sulit dalam mempergunakan Veda itu. Yang terpenting didalam penggunaan Veda ini seseorang harus memahami masalahnya dan mengetahui kira-kira tentang masalah yang dihadapi serta letak dimana ketentuan hukum itu akan dijumpai.  Inilah yang merupakan ajaran umum yang perlu dihayati bagi setiap Hindu dan mereka yang akan menyimpulkan berbagai tradisi Hindu menurut Veda.

sumber http://bimashindusultra.blogspot.com/2013/10/weda-kitab-suci-agama-hindu.html

Rabu, 11 September 2013

Vedarambha Samskara

Bhur bhuwah svah, tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat

(Yayurveda : 36-3)
 
Oh Tuhan yang memberikan kehidupan (bhuh), yang menjauhkan segala duka (bhuwah), yang memberi suka kepada penyembah-Nya (svah), pencipta jagat raya, sumber segala cahaya, pemberi segala kemakmuran (tat savituh), yang diinginkan manusia, yang selalu memberi kemenangan, Yang Mahaesa (devasya). Mahabaik, dan yang menjadi sumber pemusatan pikiran (varenyam), penebus segala dosa. Mahasuci (bhargah), kami menerima (dhimahi) Tuhan yang demikian (tat). Oh Tuhan (yah), anugerahkanlah (pracodayat) budi yang baik (dhiyah) kepada kami (nah).

"Tuhan sebagai pemberi kehidupan, menjauhkan dari segala duka dan memberikan kebahagiaan. Sebagau pencipta jagat raya dan sumber dari segala cahaya dan pemberi kemakmuran, yang diinginkan oleh semua umat manusia. Tuhan yang selalu memberi kemenangan kepada manusia, yang merupakan Mahabaik dan menjadi pusat pikiran, penebus dosa yang Mahasuci, kami menerima Tuhan yang seperti itu. Oh Tuhan anugerahkanlah kepada kami budi yang baik'.

"Vedarambha", yang terdiri dari kata "Veda" (pengetahuan) dan "arambha" (mulai), berarti mulai menerima pengetahuan dari guru. Samskara tersebut sebaiknya dilaksanakan di sekolah oleh para guru. Pada zaman dahulu samskara tersebut biasa dilakukan di asrama atau digurukula (keluarga guru) seperti yang terdapat di India sampai sekarang Vedarambha Samskara penting bagi seseorang anak karena melalui samskara tersebut ia mendapat Gayatri Mantra yang merupakan sumber segala Veda.

Setelah samskara tersebut dilaksanakan, anak akan disebut Brahmacari dan berhak mendapat pelajaran tentang Veda dan Brahmacari. Brahmacari mempunyai makna mencari Tuhan ("Brahma" berarti Tuhan, "Cari" berarti mencari). Salah satu caranya adalah dengan bertapa di gurukula. Anak yang baru pertama kali belajar di sekolah (gurukula) bersumpah untuk tinggal dengan setia di asrama yang pertama, yang disebut Brahmacari.

Saat menjalani pendidikan seorang brahmacari harus mengendalikan semua indra dan tidak boleh berhubungan dengan wanita. Hal ini bertujuan agar dasar yang membentuk kepribadiannya kuat sehingga mampu menghadapi dunia setelah menyelesaikan pendidikan di gurukula.

Dalam samskara tersebut guru memberikan beberapa nasehat; satyam vada, dharman cara, svadhyayanma pramad, matr devo bhava, pitr devo bhava, acarya devo bhava, atithi devo bhavo (Taittiriya:7-11-1-4), yang berarti 'Wahai anak, ucapkanlah selalu yang benar, selalu mengikuti dharma, jangan malas belajar, hormat kepada orang tua, guru dan para guru yang datang meskipun tidak diundang.

Karman kuru, diva ma svapsih, krodhanrte varjaya upart sayyam varjaya, berarti bekerjalah dengan rajin, jangan tidur pada siang hari, kendalikan kemarahan, jangan tidur di atas kasur yang empuk.

Nasihat guru yang lain adalah engkau adalah seorang brahmacari, laksanakan selalu sandhya (sembahyang), minumlah acamana, pelajarilah Veda selama dua belas tahun, patuh pada ucapan guru yang benar, jangan ikuti ucapan yang tidak benar, jangan berhubungan kelamin, makan makanan sattvika, bersikaplah sopan, bicara seperlunya, dan senantiasa hormat kepada guru.

Konsep pendidikan Vidya dan Avidya juga diperkenalkan dalam samskara ini. Seseorang bisa mendapatkan moksa melalui Vidya sedangkan melalui Avidya seseorang akan mendapatkan keahlian dan kematian secara terus menerus. Oleh karena itu, guru akan mengatakan kepada murid (sisya) sebagai berikut : Tat tvam asi, aham brahma asmi, dan brahma satyam jaganmithya, yang berarti Engkau adalah Dia (Tuhan), Atma itu sendiri adalah Brahma, hanya Brahma yang Mahabenar dan yang lain adalah madya. Melalui kata-kata tersebut dan dengan bertapa di dekat kaki guru, murid akan mendapatkan pengetahuan dan merasakan aham brahma asmi, yang artinya "saya adalah brahman (Tuhan)"

Sumber  bacaan buku 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari, DR.Somvir. (RANBB).


-->

Senin, 09 September 2013

Tafsir dalam Hindu (Veda Vedanta)

Tafsir dalam Hindu (Veda Vedanta)
sumberhttp://m.mpujayaprema.com/index.php
Tentang Weda (Veda)
Kitab suci umat Hindu adalah Weda. Weda adalah wahyu Tuhan yang diterima oleh Maharsi, Rsi yang (maha) utama. Weda juga sering disebut sebagai Kitab Sruti, artinya kumpulan wahyu yang diterima melalui pendengaran para Maharsi. Juga disebut Kitab Rahasia, karena inti ajarannya adalah menuntun umat untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yakni moksa. Weda juga sering disebut Kitab Mantra – apalagi di Bali – karena kitab ini berisi puji-pujian berupa mantra, baik untuk menjalankan ritual maupun untuk pemenuhan rohani.
Sebagai wahyu Tuhan, kapankah Weda itu diturunkan? Ini pun tak pernah ada kejelasan atau ada yang menyimpulkan – sesuatu yang biasa di dalam Hindu tak ada sebuah kesimpulan yang pasti dan satu-satunya kesimpulan. Beberapa sarjana tercatat mempunyai argumentasi tentang kapan Weda dibahyukan:
  1. Lokamanya Tilak Shastri, memperkirakan wahyu Weda turun 6 ribu tahun sebelum Masehi.
  2. Bal Ganggadhar Tilak, memperkirakan wahyu Weda turun 4 ribu tahun Sebelum Masehi.
  3. Dr. Haug memperkirakan Weda turun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
  4. Dr. Max Muller memperkirakan Weda turun 1.200 sampai 800 Sebelum Masehi.
  5. Heine Gelderen memperkirakan Weda turun sekitar  tahun 1.500 sampai 1.000 Sebelum Masehi
  6. Sylvain Levy memperkirakan Weda turun sekitar 1.000 Sebelum Masehi.
  7. W. Stutterheim memperkirakan Weda diturunkan sekitar 1000 sampai 500 Sebelum Masehi.
Memang,jarang sekali diperdebatkan kapan turunnya Weda. Barangkali perdebatan yang tak akan pernah selesai sementara tujuan berdebat pun tak pernah sampai. Yang penting bagi penganut Hindu, Weda diwahyukan dan ada yang menerima wahyu itu. Ada 7 Maharsi penerima Weda. Mereka itu adalah: Maharsi Grtsamada, Maharsi Wiswamitra, Maharsi Wamadewa, Maharsi Atri, Maharsi Bharadwaja, Maharsi Wasistha, Maharsi Kanwa
Diperkirakan Weda ini turun dalam rentang waktu yang panjang dan tidak di satu tempat. Dan yang berjasa mengumpulkan wahyu yang tersebar ini adalah Maharsi Wyasa. Beliaulah yang kemudian memilah-milah disesuaikan dengan fungsinya. Maharsri Wyasa yang juga penyusun Mahabharata, Bhagavadgita dan Brahmasutra  ini, memiliki empat asisten untuk memilah Weda. Mereka itu:
  1. Maharsi Paila (ada yg menyebut Pulaha), hasil pilahannya melahirkan kitab Rg Weda (Rgveda Samhita)
  2. Maharsi Waisampayana, hasil pilahannya kitab Yajur Weda (Yajurveda Samhita)
  3. Maharsi Jaimini, hasil pilahannya melahirkan kitab Sama Weda (Samaveda Samhita)
  4. Maharsi Sumantu, hasil pilahannya melahirkan kitab Atharwa Weda (Atharvaveda Samhita).
Rgveda mempunyai 10.552 bait/sloka mantra yang isinya berupa nyanyi puji-pujian untuk persembahan pada Tuhan. Kitab ini dibagi dalam 10 mandala (buku ataubab).
Samaveda mempunyai 1.875 mantra, isinya juga puji-pujian dalam melaksanakan yadnya (upacara).
Yajurveda mempunyai 1.975 mantra, isinya tentang tuntunan hidup keseharian yang berhubungan dengan masalah duniawi.
Atharwaveda mempunyai 5.987 mantram, isinya juga tentang tuntunan kehidupan yang berhubungan dgn masalah duniawi.

Untuk mempermudah mempelajari ke empat Weda (Catur Weda) ini para maharsi membuat buku pedoman. Rsi Panini misalnya membuat kitab-kitab yang berhubungan dengan pengetahuan bahasa Sansekerta, seperti kitabSiksa (ilmu phonetika), kitab Wyakarana (ilmu tata bahasa Sansekerta), Nirukta (ilmu etimologi Sansekerta). Lalu ada kitab Kalpasastra (petunjuk tentang upakara agama) dan Jyotistha yang berisi pengetahuan tentang astrologi dan astronomi. Dua kitab terakhir ini erat kaitannya dengan waktu pelaksanaan upacara. Di Bali ilmu ini berkembang demikian pesat yang disebut ilmu wariga, dan berujung pada bagaimana menentukan hari baik dan hari buruk untuk pelaksanaan upacara keagamaan.

Keenam kitab di atas karena berisi petunjuk bagaimana mempelajari dalam arti membaca Weda, maka hampir tak ada masalah. Beda dengan kitab-kitab yang berisi cara menerangkan Weda sehingga bisa dijadikan praktek atau pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab-kitab itu disebut kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Semua Weda didampingi kitab-kitab ini.

Kitab Brahmana menerangkan bagaimana mempergunakan mantra Weda dalam rangkaian upacara. Aranyaka kemudian menjelaskan bagian-bagian mantra itu. Sedangkan Upanisad berisi petunjuk bagaimana memahami ajaran suci Weda dalam khidupan di dunia ini. Secara garis besar kemudian bisa digolongkan, kitab Brahmana dan Atanyaka sebagai pedoman Karma Kandha (karma=perbuatan, kandha = bagian), yakni bagaimana kita berbuat sesuai dengan Weda. Sedang Upanisad tergolong Jnana Kandha (jnana=ilmu pengetahuan). Di sinilah diatur bagaimana Weda mengajarkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia, apa yang harus dilakukan, apa yang tak boleh dilakukan, apa yang dipantang, dan semua seluk beluk masalah kehidupan manusia.

Saking luasnya pembidangan ini, Upanisad terdiri dari 108 kandha (bagian atau kitab) dan di bagian inilah terbuka penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran itu bisa karena “salah membaca” karena tidak dikuasainya kitab Siksa, Wyakarana, Nirukta atau berbeda pemahaman dalam mempelajari Kalpasastra dan Jyotistha.

Kitab-kitab yang muncul dari cara menafsirkan Weda ini disebut kitab Smerti (Smrti). Kitab-kitab inilah yang sangat banyak adanya, disusun oleh para rsi yang terkenal pada zamannya seperti Maharsi Manu, Yajnawalkhya, Sanka, Likhita, Parasara. Kitab-kitab itu umumnya berlabel dharmasastra yaitu ajaran tentang dharma menjadi petunjuk tentang kebenaran. Yang terkenal di bawa ke Nusantara ini misalnya Manawadharmasastra, Sarasamuccaya dan lainnya.

Sebelum sampai pada masalah penafsiran, inti dari pembahasan kali ini, baik dilengkapi dulu penggolongan kitab-kitab suci yang menunjang Weda. Ada yang disebut kitab Itihasa, ini adalah karya sastra (bisa saja berupa kejadian yang sebenarnya tetapi disastrakan) yang menceritakan tentang kepahlawanan dengan segala lika-likunya. Ada 2 Itihasa yang dianggap “bisa mewakili cara pemahamanWeda untuk kalangan awam dan anak-anak” yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata.

Ramayana digubah oleh Maharsi Walmiki terdiri dari 7 kandha (bagian atau buku) dengan 24.000 bait syair. (1) Ayodhya Kandha (kisah kelahiran Rama), (2) Bala Kandha (kisah Rama ketika kanak-kanak), (3) Aranya Kandha(kisah Rama di hutan mengamankan pertapaan Wiswamitra), (4) Kiskinda Kandha (kisah Rama yang diminta bantuan oleh Sugriwa dalam perang saudara melawan Subali, akhirnya Sugriwa menjadi abdi Rama), (5) Sundara Kandha (pembuatan jembatan menuju Alengka), (6) Yuda Kandha (kisah pertempuran Rama melawan Rahwana), dan (7) Utara Kandha (kisah asal-usul leluhur dan keturunan Rama, Sita dan lain-lain).
Kitab Mahabharata disusun Maharsi Wyasa terdiri dari 18 Kandha (di sini disebut parwa karena bagian-bagian itu besar dengan banyak sub-bagian. Itu sebabnya di Bali, wayang kulit Mahabharata disebut wayang kulit parwa). Bagiannya: (1) Adiparwa (ini pengantar semua parwa dengan cerita garis besarnya saja), (2) Sabhaparwa (tentang perjudian dan kekalahan pihak Pandawa), (3) Wanaparwa (pembuangan Pandawa ke hutan), (4)Wirataparwa(tentang penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata selama satu tahun), (5) Udyogaparwa (tentang upaya perdamaian yang dipimpin Prabu Kresna), (6) Bhismaparwa (kisah Rsi Bhisma sebagai panglima perang Korawa), (7)Dronaparwa (cerita Rsi Drona sebagai panglima perang Korawa), (8) Karnaparwa (cerita Senopati Karna sebagai panglima perang Korawa), (9) Salyaparwa (tentang Senopati Salya sebagai panglima perang Korawa), (10)Sauptikaparwa (kisah penculikan dan pembunuhan Panca Kumara, putra Pandawa oleh Aswatama), (11) Striparwa (kisah tangisan para istri yang suaminya giugur di medan perang), (12) Santiparwa (tentang nasehat Rsi Kripa dan kawan-kawannya kepada Pandawa), (13) Anusasanaparwa (cerita penobatan cucu Arjuna, Parikesit, sebagai raja keluarga Pandawa), (14) Aswamedaparwa (upacara korban kuda memperluas kerajaan Hastina), (15)Asramawasanaparwa (kisah memasuki Wanaprasta sampai meninggalnya leluhur Pandawa seperti Dewi Kunti, Prabu Drestarasta di hutan), (16) Mausalaparwa (tentang pralayanya – kiamat – keluarga Yadhu dan hancurnya kerajaan Dwarawati), (17) Mahaprasthanikaparwa (tentang meninggalnya Pandawa dan Drupadi, kecuali Dharmawangsa yang langsung masuk sorga), (18) Swargarohanaparwa (tentang kehidupan Pandawa di Sorga).

Dari seluruh parwa ini, ada satu parwa yakni Bhismaparwa dianggap istimewa karena di salah satu bagiannya ada wejangan yang penuh muatan filsafat dari Sri Kresna kepada Arjuna di tengah Padang Kurusetra, yang terkenal kemudian dengan nama Bhagawadgita. Kitab BG ini sering disebut sebagai Pancamo Weda, atau Weda yang kelima, meski mengundang polemik sampai sekarang karena: apakah ini bisa digolongkan wahyu Tuhan atau tidak? Sebagian menyebut BG bukan wahyu,jadi bukan kitab suci, namanya saja gubahan Maharsi Wiyasa. Tapi sebagian lain menyebut kitab suci karena posisi Kresna saat itu adalah Awatara. Kelompok fanatik yang menyebutkan BG sebagai kitab suci dan Krishna adalah Tuhan adalah Hare Krishna. Kelompok ini dalam istilah Hindu disebut Sampradaya atau aliran.

Selain Itihasa, adakitab-kitab penunjang Weda yang sering disebut-sebut sebagai “cara awal mempelajari Weda”. Kitab itu disebut Purana. Arti harafiah Purana adalah sejarah (di Bali setiap pura ada purananya), yakni cerita tentang sejarah penciptaan bumi ini dan siapa yang berkuasa saat itu. Ada 18 Kitab Purana, yakni (1) Brahmanda Purana, (2) Brahmawaiwarta Purana, (3) Markandeya Purana, (4) Bhawisya Purana, (5) Wamana Purana, (6) Brahma Purana, (7) Wisnu Purana, (8) Narada Purana, (9) Bhagawata Purana, (10) Garuda Purana, (11) Padma Purana, (12) Waraha Purana, (13) Matsya Purana, (14) Kurma Purana, (15) Lingga Purana, (16) Siwa Purana, (17) Skanda Purana, (18) Agni Purana.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia pada abad 4 tidak membawa serta kitab-kitab itu, apalagi Catur Weda. Yang dibawa adalah kitab-kitab “dibawahnya” seperti Itihasa, Purana, Dharmasastra dan sejenisnya. Ini yang kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa Jawa Kuno (Kawi) sehingga muncullah berbagai jenis lontar (karena ditulis didaun rontal) dan dari sana menyebar ke umat. Demikianlah orang-orang di Nusantara mengenal Kekawin Ramayana, Arjuna Wiwaha (dari kelompok Itihasa), Manawadharmasastra, Sarasamuccaya (dari kelompok Dharmasastra), Brahmanda Purana (kelompok Purana), Argapatra, Wraspati Tatwa, Bhuwanakosa dan banyak lagi dari kelompok pedoman pemujaan dan pelaksanaan upacara.

Di manakah Penafsiran Bermasalah?

Kitab-kitab yang hanya menuntun bagaimana cara “membaca Weda” tentu tidak bermasalah. Demikian pula kitab Itihasa, Purana, nyaris tanpa masalah, karena itu hanya berupa cerita. Kalau pun ada penafsiran yang bermasalah lantaran menangkap pesan dari sudut yang berbeda, itu bukan masalah besar. Misalnya: Pandawa kalah berjudi sampai dibuang ke hutan. Penafsiran positif: janganlah berjudi karena ternyata berjudi itu akibatnya tidak baik, lihat keluarga Pandawa. Namun penafsiran negatif; judi itu sudah ada sejak dulu kala, Pandawa yang dipimpin Yudistira yang alim saja berjudi.


Yang bermasalah adalah kitab-kitab Smerti. Para penafsir, yang merupakan Rsi ternama di zamannya, bisa berbeda cara menafsirkan kata-kata yang indah – sekaligus—misteri dari Weda. Ini menyangkut pemahaman pada kiasan yang bisa berbeda, atau ada missi tertentu dari para Rsi itu – termasuk pula posisi sang Rsi. Kitab Sarasamuccaya yang disusun Bhagawan Wararuci dianggap kontroversial bertahun-tahun yang lalu, ketika pertamakali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kitab yang berisi 511 sloka (ayat) ini berisi pedoman tentang perilaku yang baik atau etika. Diperkirakan disusun pada abad ke-9 – 10, kitab ini ditulis Bhagawan Wararuci dengan dua bahasa yaitu Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Karena itu banyak yang menduga Bhagawan Wararuci lahir di Nusantara karena kitab ini ditemukan dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno dari aslinya, Sansekerta. Kedua bahasa itu dipersandingkan. Namun, tidak ada kepastian bahwa beliau lahir di Nusantara, bisa saja Sarasamuccaya itu datang dari India dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Hal-hal yang anonim itu jamak dalam susastra Hindu di era kerajaan-kerajaan di Jawa.

Kitab Sarasamuccaya ini dimaksudkan oleh Wararuci sebagai intisari dari Astadasaparwa (Mahabharata), gubahan Rsi Wiyasa. Sara artinya intisari, sedangkan samuccaya artinya himpunan. Inilah himpunan dari instisari ajaran etika yang ada dalam Astadasaparwa. Karena kitab ini intisari dari Ithihasa Mahabharata, sementara Mahabharata adalah “kisah kepahlawanan” untuk memahami Weda lebih lanjut, maka tak mudah menemukan di mana sloka-sloka Sarasamuccaya ini ada dalam Weda.

Pertamakali kitab ini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh I Nyoman Kajeng dkk. Kitab yang slokanya indah ini ternyata beberapa ayat di bagian akhirnya, ketika membahas soal wanita, menjadi kontroversi. Itu lantaran disebutkan wanita hanya menjadi pengumbar nafsu seks, dan wanita menjadi perusak keluarga karena tak bisa menahan birahinya. Kesimpulannya: hindarilah wanita.

I Nyoman Kajeng (kini telah tiada) menerjemahkan Sarasamuccaya bukan dari bahasa Sansekerta, beliau tak paham bahasa itu. Staf di Gedung Kirtya Singaraja ini menerjemahkan Sarasamuccaya dari buku Prof. Dr. Raghu Vira, Ph.D pada tahun 1959. Kajeng menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari sloka Jawa Kuno, dan karena itu dia menyebut kemungkinan banyak yang janggal. Ya, kejanggalan ini, bisa jadi pula termasuk sloka/ayat yang kontroversi soal wanita itu.

Sarasamuccaya terjemahan Nyoman Kajeng ini kembali diterbitkan tahun 1997 dengan catatan penutup dari Parisada Hindu Dharma. Isi catatan itu adalah wanita yang dimaksudkan dalam sloka yang bermasalah itu adalah untuk seseorang yang memang tak boleh berhubungan dengan wanita, seperti yang memilih hidup Sukla Brahmacari, misalnya, Brahmacari, Sannyasi, pertapa, pendeta. Bagi orang-orang seperti inilah tujuan sloka itu. Nah dengan menggolongkan kitab ini hanya untuk kaum Sukla Brahmacari, maka masuk akallah jika wanita itu harus dijauhi atau dihindari.

Belakangan, seorang ahli Sansekerta Tjok Rai Sudharta, menerjemahkan Sarasamuccaya ke dalam bahasa Indonesia langsung dari bahasa Sansekerta. Tjok menyebutkan kitab ini untuk semua golongan usia, bukan hanya untuk kaum Sukla Brahmacari. Tjok Rai Sudharta menyebutkan, yang dimaksudkan oleh Wararuci tentang wanita dalam buku ini adalah wanita nakal. Karena itu wanita nakal harus dihindari, bukan semua wanita dihindari.
Di era internet belakangan ini (sekitar tahun lalu) muncul web anonim dalam bahasa Indonesia yang membuat terjemahan Sarasamuccaya. Terjemahan lumayan bagus. Dalam ayat-ayat tentang wanita, terjemahan ini menyebutkan “wanita jalang”, bahkan di setiap kata wanita jalang ada garis miring kata “lelaki hidung belang”. Yang mau dikatakan oleh penerjemah moderen ini adalah, Sarasamuccaya selain baik untuk pelajaran etika bagi semua golongan usia, juga baik untuk wanita. Karena kata wanita dalam Sarasamuccaya haruslah diartikan semua orang yang jalang atau binal, baik ia wanita maupun lelaki.
Saya kutip satu sloka, ayat 428

Bahasa Sansekerta

Nasam kascidagamyo’sti nasam wayasi niscayah, Wirupam wa surupam wa pumanityewa bhunjate

Terjemahan Kajeng dkk


Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita, tidak patut aku pergi ke situ, sebab keadaanku begini, akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati, tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu, sebaliknya dia pergi saja dan ia tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda atau pun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk. Ah, laki-laki ini, demikian saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang.

Terjemahan Tjok Rai Sudarta

Bagi seorang perempuan nakal, tidak ada yang tidak boleh didatanginya. Ia akan langsung menuju sasarannya dan ia tidak peduli apakah itu orang tua, apa orang muda. Tidak peduli dia apakah orang itu tampan atau jelek rupanya. “Ia adalah laki-laki” hanya itu yang dipikirkannya ketika perempuan nakal itu ada dalam gejolak nafsunya.
Terjemahan era internet

Tidak ada yang menjadi pantangan bagi wanita jalang/lelaki hidung belang, ia tidak membedakan apakah orang tua ataukah bocah, jika nafsu birahinya datang semua orang digoda dan diajak melakukan senggama.

Tafsir Weda di kitab terjemahan Al Quran

Ada contoh menarik lagi. Pada kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan Departemen Agama, ada dikutip kitab Weda, walau hanya beberapa baris. Kutipan itu ada di Bab Dua yang bertajuk Nabi Muhamad S.A.W pada point (b) berjudul: Kitab Weda adalah kitab untuk sesuatu golongan berisi pernyataan sebagai berikut:


Di antara pengikut-pengikut Weda, maka membaca kitab Weda itu menjadi hak yang khusus bagi kasta yang tinggi saja. Demikianlah maka Gotama Risyi berkata: “Apabila seorang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya, apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Weda, maka raja harus memotong badannya. (Gotama Smrti 4).

Siapa Gotama Risyi? Tak begitu dikenal, bahkan jika pun nama ini misalnya salah dan yang benar adalah Rsi Gotama, juga tak dikenal di kalangan para penulis Smrti. Karena itu pula kitab Gotama Smrti yang dikutip dalam terjemahan Al Quran ini tak jelas memuat soal apa saja, di luar teks yang dikutip.


Dalam Weda tak pernah satu pun ada mantra yang menyebut soal kasta. Jika dihubungkan dengan istilah Sudra, Brahmana dan lainnya, itu ada di dalam ajaran Catur Warna, empat jabatan fungsional dalam masyarakat, yaitu Sudra, Wesya, Kesatria dan Brahmana. Ayat tentang “warna” ini ada banyak di dalam Weda.

Sudra adalah awal kehidupan seorang manusia, dan ketika orang itu belajar dan memanfaatkan ilmunya untuk melaksanakan fungsi sosial di masyarakat, ia bisa menjadi Wesya atau pun Kesatria. Wesya fungsi sosial yang bergerak di bidang ekonomi dan secara gampang disebut pedagang, atau mungkin lebih tepatnya swasta. Sedang Kesatria melaksanakan pengabdiannya di pemerintahan, atau sebut gampangnya pegawai negeri. Jika seorang Sudra itu tak memperbaiki kualitas pribadinya lalu mencari penghasilan dengan mengandalkan tenaga ototnya semata, maka ia tetap saja Sudra. Sedangkan Brahmana adalah fungsi sosial orang yang sudah lanjut – ia tak lagi mencari uang untuk menghidupi keluarganya karena ditopang oleh keturunannya – dan itu bisa ditempuh dari jalur Sudra, Wesya, Kesatria. Brahmana lah orang yang sepenuhnya menekuni Weda, terutama mempraktekkan mantra-mantra Weda untuk kepentingan ritual, puja-puji kepada Tuhan Yang Esa.

Nah, dalam proses belajar menjadi seorang Brahmana inilah ada berbagai ketentuan dimuat dalam Weda. Misalnya, jika mendengar ada orang yang membaca Weda, seorang Sudra (atau siapa pun) harus konsentrasi penuh. Semua suara-suara di luar pembacaan Weda itu harus dihindari, jika perlu telinga ditutup dengan timah, sehingga hanya pembacaan Weda saja yang didengar.

Kemudian kalau hasrat itu meningkat dan tidak puas hanya dari mendengar, lalu mencoba membaca sendiri Weda, seorang Sudra (atau siapapun) harus “dipotong lidah”nya. Ini simbolis, bukannya lidah dipotong tetapi ditulisi aksara suci oleh sang guru, yang secara kasat mata kelihatan seperti diiris-iris (istilah di Bali: dirajah). Proses ini sampai sekarang diteruskan, di Indonesiadisebut mewinten dan di India disebut upayana. Seseorang harus mengikuti ritual ini untuk pertamakalinya jika belajar Weda denganmembaca Weda secara langsung.
Kalau terus lagi mempelajari Weda karena ingin tuntas menjadi Brahmana sejati, maka sang guru Nabe “memotong badan” sang Sudra (arau siapapun) dengan cara simbolis. Upacara ini disebut seda raga (ritual kematian) dan beberapa saat ritual itu dinyatakan lahir kembali untuk kedua kalinya (dwijati). Pada kelahiran kedua inilah orang tersebut baru menjadi Brahmana.

Bagaimana mungkin Gotama Risyi melahirkan pernyataan yang jauh bedadari penafsiran yang umum? Mungkin ada kendala bahasa, atau ada tujuan politis, atau Gotama terpancing dengan perbedaan kelas yang memang terjadi di India dan dia kebetulan dari kasta yang tinggi. Ini pun masih dipertanyakan mengingat jumlah kasta di India banyak sekali, tidak cuma empat. Hampir setiap profesi mengikatkan diri dengan membentuk kasta, misalnya, ada kasta untuk kaum pengrajin gerabah. Sudra di pedalaman India bukanlah yang terendah karena ada lagi kasta Paria.

Tetapi yang lebih mengherankan orang Hindu termasuk saya adalah apa relevansinya kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan proyek Departemen Agama harus mengutip kitab Smerti yang kontroversial itu. Apa yang mau diinformasikan kepada pembaca muslim, pengguna Al Quran?

Boleh dikatakan dalam kasus Gotama Risyi ini,tafirnya bisa digolongkan salah menerjemahkan keindahan kata Weda. Begitu banyak soal Catur Warna ini ada disebutkan dalam Weda, ssalah satu saya kutip:
Yathenam wacam kalyanim, awadai jnebhyah
Brahmana Rajanyabhyam Cudra ya caryaya ca
Swaya carana ca
(Yajurweda XXV.2)

Terjemahannya:
Biar kuajarkan pengetahuan suci ini, kepada orang banyak. Kaum Brahmana, Kesatria, Sudra dan Waisya. Dan bahkan kepada orang asing sekalipun.

Di sini jelas semua orang bisa mempelajari Weda, termasuk kelompok Sudra, bahkan kepada orang asing, yang ditafsirkan sebagai orang yang bukan penganut Hindu. Jadi Weda bukan kitab untuk satu golongan. Sloka ini sering dijadikan pembenar pula bahwa agama Hindu sebenarnya juga agama missi, menangkis anggapan orang tua Bali di masa lalu yang menyebutkan, Hindu tidak mencari pengikut tetapi mereka datang sendiri.

Di kitab-kitab “turunan” Weda pun soal Catur Warna sering disebut, termasuk di dalam kitab Bhagawadgita. Salah satunya BG IV. 13 berbunyi:
Chatur varnyam maya srishtam, guna karma vibhagasah
Tasya kartaram api mam, viddhy akartaram avyayam

Terjemahan Nyoman S Pendit: Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja. Tetapi ketahuilah walau pencitanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.


Terjemahan Mohan MS:Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuaidengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja).Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapiketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).


Ini ulasan Mohan MS: Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra. Sistim varna ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orangorang luar.


Tapi Mohan MS juga berbeda menafsirkan salah satu ayat BG dibandigkan penerjemah BG lainnya. Satu contoh tafsir yang berbeda itu, misalnya, Bhagawad Gita Percakapan 4 ayat 11 (BG IV.11),  berbunyi:

 Ye yatha mam prapadyante
Tams tathai ‘va bhajamy aham
Terjemahan Nyoman S Pendit
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah Ku, semuanya Kuterima
Dari mana-mana semua mereka, menuju jalanKu, oh Partha                   
                                                                                                                                                                           
Terjemahan Mohan MS (dipakai dalamweb resmi PHDI)
Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!

Nah, apa pengertian jalan itu? Para penerjemah Weda seperti Ida Bagus Puja, Prof. Dr Mantra, Nyoman S. Pendit dan lainnya lagi, mengartikan jalan itu sebagai “jalan karma” atau “Karma Yogya” dan “jalan ilmu pengetahuan” atau “Jnana Karma”. Apapun yang dipilih, apakah memuja Tuhan lewat kerja atau memuja Tuhan lewat ilmu pengetahuan, semuanya diterima, karena semua jalan itu menuju ke arah Tuhan. Penafsiran yang lebih liar lagi adalah orang bisa memuja Tuhan dengan tekun melakukan pekerjaan tanpa pamrih – misalnya mengajar di tempat terpencil mencerdaskan orang-orang padahal tak pernah sembahyang – atau orang bisa mengerjakan berbagai sesajen untuk dihaturkan kepada Tuhan dalam suatu persembahan yang kasat mata. Semua diterima Tuhan.

Penafsiran seperti ini didasarkan pula pada urutan-urutan sloka BG itu, di mana sebelumnya Krishna banyak memberikan wejangan kepada Arjuna tentang berbagai jalan yang bisa digunakan untuk sampai pada-Nya, termasuk Karma Yoga dan Jnana Yogya.
Tetapi seorang guru spiritual seperti Mohan MS – beliau keturunan India tetapi sangat membaur dengan masyarakat pedesaan – menafsirkan lain. Jalan itu adalah agama atau keyakinan. Jadi, agama atau keyakinan apapun yang dipeluk manusia, tujuannya sama saja, menyembah Tuhan.

Saya kutip penafsiran Mohan MS yang lengkap dari sloka ini:

Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untukmencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yangdiinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan ituberdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan ituakan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakanoleh Sang Kreshna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu kearahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salahmengartikannya.

Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang MahaEsa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dantidak ada alasan lain untuk mengubah atau mempengaruhi orang yangberagama atau berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. SeorangHindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempatpemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuanyang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa.

Konon, ayat ini gencar digunakan oleh kalangan missionaris di Bali di tahun-tahun 1960-1970an – ketika penafsiran BG belum banyak beredar – sehingga umat Hindu banyak beralih agama pasca meletusnya Gunung Agung yang menimbulkan penderitaan hebat di Bali. Jika digunakan kata-kata sederhana, bentuknya seperti ini: “sudahlah untuk apa beragama Hindu yang ruwet, pindah ke agama lain yang lebih simple saja, toh kitab suci Hindu membolehkan semuanya itu, agama itu hanya jalan saja.”

Penafsiran di akar rumput

Sejatinya, perbedaan penafsiran seperti contoh tadi, hampir tak punya pengaruh di kalangan masyarakat Hindu pedesaan, katakanlah kaum yang “tidak terbiasa mempelajari tatwa agama”. Dalam agama Hindu dikenal tiga kerangka dasar: tatwa, susila, acara. Tatwa adalah memahami ajaran-ajaran agama, susila adalah perilaku yang baik sebagai ciri memeluk agama, acara adalah rangkaian ritual. Penafsiran tadi (contoh dari Gotama Risyi, Mohan MS) termasuk dalam ranah tatwa, terlalu “akademis” dan diawang-awang bagi masyarakat pedesaan. Karena itu, betapa pun simpang siurnya, tak berpengaruh besar.

Lain hal kalau beda penafsiran di tataran acara atau ritual. Ini pasti jadi masalah. Lalu bagaimana umat Hindu di Nusantara ini, khususnya di Bali memecahkan masalahnya?

Parisada dan pemerintah Bali pernah melahirkan lembaga penafsir dengan menghimpun wakil-wakil Parisada di semua kabupaten dan tokoh-tokoh yang dianggap layak mempunyai ilmu dalam bidang agama. Maka lahirnya lembaga yang disebut Lembaga Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Lembaga ini menyelenggarakan seminar yang beruntun untuk memecahkan persoalan yang sudah dihimpun sebelumnya. Sekitar lima tahun bekerja (1973-1978) – tentu tidak sepanjang waktu – dengan 14 kali mengadakan seminar, menghasilkan 39 kesatuan tafsir dari berbagai masalah. Ada yang menyangkut tentang pedoman hari raya keagamaan, alat-alat upacara, tata busana bersembahyang, jenis dan bentuk pura dan sebagainya. Bahkan sampai diatur bagaimana seorang sulinggih atau pendeta, misalnya, disarankan tak menyetir mobil karena takut terjadi pelanggaran lalulintas, pendeta tidak etis diadili.

Tapi tak semua kesatuan tafsir ini dipatuhi masyarakat, pro dan kontra tetap saja terjadi. Namun Parisada dan Pemda Bali tetap ngotot melanjutkan kerja Lembaga ini pada tahun anggaran 1988/1989, setelah 10 tahun absen. Pada seminar ke XV itu hanya dibahas 2 hal yakni Upacara Nuntun Dewa Hyang (menuntun roh yang sudah suci setelah upacara Ngaben, di mana ditempatkan) dan Tata Cara Membangun Perumahan. Kedua hal ini dianggap mendesak, terutama ketika lahan perumahan semakin sempit di perkotaan bagaimana membangun rumah yang bertingkat.Di mana meletakkan tempat suci dan sebagainya.
Lagi-lagi hasil seminar kesatuan tafsir ini tak begitu diperhatikan, tetapi juga tak menimbulkan kehebohan. Masyarakat tetap dengan “kearifannya sendiri” tentu dengan dukungan para pendeta Hindu yang memang sulit sepakat untuk berbagai masalah – selalu ada perbedaan di sana-sini.

Dan itulah akhir dari tugas lembaga Kesatuan Tafsir itu, karena setelah 1989, lembaga itu bubar dengan sendirinya. Lalu siapa yang mengambil alih penafsiran itu? Tugas itu dibebankan kepada PHDI Pusat, karena majelis ini dianggap lebih berwewenang menafsirkan Weda dan sifatnya nasional (bukan Bali sentris) sehingga bisa diberlakukan secara nasional di seluruh Indonesia. Nah, PHDI menugaskan Sabha Walaka (himpunan para pemikir Hindu yang bukan pendeta), sebuah lembaga resmi dalam PHDI untuk menyusun apa-apa yang perlu “disatukan tafsirnya”. Kemudian setiap tahun dalam Pesamuan Agung (semacam Rakernas) hal itu dibahas bersama Sabha Pandita (himpunan para pendeta Hindu). Kalau yang dibahas memenui syarat dan memang penting “disatukan tafsirnya” lahirlah apa yang disebut Bhisama (semacam fatwa di Islam). Jadi, bhisama itu jauh lebih kuat dari hanya sekedar hasil Seminar Kesatuan Tafsir.

Sudah banyak bhisama yang dilahirkan PHDI, dari yang tidak berani dibahas Seminar Kesatuan Tafsir seperti soal Kasta dalam Hindu, sampai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan seperti Bhisama Kesucian Pura. Juga ada Bhisama Soal Tabuh Rah dan Bhisama Tentang Dana Punia. Para pendeta dalam melahirkan bhisama itu sangat berpijak pada Weda, dan kupasan itu memakan energi yang luar biasa. Misalnya ketika membicarakan bagaimana kasta itu tak ada dalam Hindu dan justru bertentangan dengan ajaran Hindu, yang dibahas adalah soal Catur Warna, sehingga namanya juga Bhisama Tentang Catur Warna. Begitu pula ketika menyasar soal haramnya sabungan ayam (tajen) yang dibahas bukan sabungan ayamnya, tetapi Tabuh Rah (upacara memercikkan darah hewan) yang selama ini dianggap sebagai pembenar adanya sabungan ayam.

Ini untuk menghindari kesan PHDI mengurusi hal-hal yang bukan agama, seperti mengurusi kasta dan sabungan ayam.
Apakah bhisama ini serta merta dipatuhi umat Hindu? Tidak juga. Bhisama Tentang Dana Punia meskipun sudah lahir tahun 2002, tetap saja sulit dilaksanakan. Dalam bhisama ini disebutkan antara lain, umat Hindu wajib menyetorkan dana punia sebesar 2,5 % dari pendapatan bersih (maksudnya setelah dipotong pajak dan kewajiban pada negara). Sepuluh tahun sudah berjalan, PHDI tetap merasa sulit menerapkan bhisama itu. Hanya masalah Kasta yang lebih diikuti, itu pun sebenarnya sulit disebut karena bhisama, tetapi lebih pada kesadaran orang Bali yang tak mau lagi dikelas-kelaskan sesuai keturunan. Apalagi organisasi yang berlabel keturunan ini makin eksis dan mereka berlomba-lomba mendidik para Brahmana, pendeta Hindu, suatu hal yang di masa lalu kelas Brahmana ini dimonopoli golongan (atau tepatnya keturunan) tertentu.

Om a no bhaadrah kratavo yantu visvato, semoga pikiran yang baik datang dari segala arah.

(Makalah ini dibacakan pada Kuliah Tafsir di Komunitas Salihara Jakarta, pada 1 Desember 2012)

Marilah Membaca tentang Kebenaran yang sejati , kunjungi website resmi Mpu Jayaprema yang kita sucikan klik http://m.mpujayaprema.com/index.php

CHANNEL YOUTUBE SAYA - MOHON DI SUBSCRIBE

Cari Artikel di Blog ini

Berita Terkait Semangat Hindu

Artikel Agama Hindu

108 Mutiara Veda 3 kerangka agama hindu advaita visistadviata dvaita Agama Hindu Dharma agama islam Ajaran Hindu aksara suci om alien menurut hindu Apa yang dimaksud Cuntaka Apa yang dimaksud dengan Japa Apa yang dimaksud dengan Puja arcanam nyasa aris widodo artikel hindu arya dharma Arya Wedakarna Asta Brata Atharvaveda Atman avatara sloka babad Badan Penyiaran Hindu bagian catur weda bahasa jawa kuno bahasa kawi bahasa sanskerta Banggalah Menjadi Hindu banten hindu bali Belajar Hindu BELAJAR ISTILAH AGAMA HINDU bhagavad gita Bhagawadgita bhagawan bhuta yadnya Bimas Hindu BPH Banten brahma wisnu siwa Brahman Atman Aikyam brahmana ksatriya wesia sudra budaya bali budha kliwon sinta Bukan Heroisme buku hindu terpopuler Canakhya Nitisastra cara sembahyang hindu catur asrama Catur Brata Catur Cuntakantaka Catur Purusha Artha Catur Purusharta catur veda Catur Warna Catur Weda Cendekiawan Hindu Cinta Kasih Dalam Perspektif Hindu Dana Punia Deva adalah sinar suci Brahman Deva Brahma Deva Indera dewa dewi hindu dewa yadnya dewata nawa sanga dewi kata-kata dewi saraswati dharma artha kama moksa Dharma Santi dharma wacana Doa Anak Hindu donasi buku hindu epos mahabharata ramayana filosofi pohon bambu filsafat agama hindu ganesha Gayatri Sebagai Mantra Yoga Hari Raya Galungan Hari Raya Kuningan Hari Raya Nyepi Hari Raya Pagerwesi Hari Raya Saraswati Hari Raya Siwaratri HINDU adalah ARYA DHARMA HINDU ADALAH SANATHANA DHARMA HINDU ADALAH VAIDHIKA DHARMA Hindu Agama Terbesar di Dunia Hindu Banten Hindu beribadah di Pura Hindu Festival Hindu Indonesia hindu nusantara Hindu Tengger Hinduism Facts Hinduism the Greatest Religion in the Word Hukum Karma Ida Pedanda sakti isi catur weda Jadilah Manusia Setia Japa dan Mantram Jiwa jual buku hindu kakawin Kamasutra Keagungan Aksara Suci OM Kekawin Lubdhaka kepemimpinan jawa kuna Kerajaan Hindu Keruntuhan Agama Hindu kesadaran diri kidung dewa yadnya Kitab Suci Weda lontar Lontar Kala Maya Tattwa Maharsi Atri Maharsi Bharadvaja Maharsi Gritsamada Maharsi Kanva Maharsi Vamadeva Maharsi Vasistha Maharsi Visvamitra manawa dharma sastra Mantra Mantra Yoga manusa yadnya Meditasi Matahari Terbit Mengapa Kita Beragama menghafal sloka Mimbar Agama Hindu Moksha Motivasi Hindu Mpu Jayaprema nakbalibelog Naskah Dialog Nuur Tirtha Om or Aum one single family opini hindu moderat Panca Sradha panca yadnya Panca Yajna pandita Panglong 14 Tilem Kepitu parahyangan agung jagatkartta paras paros segilik seguluk Pasraman Pasupati Pembagian Kitab Suci Veda Pemuda Hindu Indonesia pendidikan hindu pengertian catur weda Pengertian Cuntaka penyuluh agama hindu Peradah percikan dharma Percikan Dharma Dewa Yajna phdi pinandita Pitra Yadnya Ngaben Pitrapuja potong gigi Principle Beliefs of Hinduism Proud To Be Hindu Puja dan Prathana Pujawali purana purnama tilem Purwaning Tilem Kapitu Radio online Bali rare angon nak bali belog Reinkarnasi Rgveda ritual hindu Roh Rsi yadnya sabuh mas sad darsana sad guru Samaveda sanatana dharma sang hyang pramesti guru Sang Kala Amangkurat Sang Kala Dungulan Sang Kala Galungan Sang Kala Tiga sapta rsi Sapta Timira Sarassamuscaya Sarassamuscaya Sloka sattvam rajah tamah sejarah agama hindu Sekta Hindu Semangat Hindu seni budaya hindu Sex and Hinduism siwa budha waesnawa siwa ratri Sloka sloka bhagawad gita sloka bhatara sloka Rgveda sloka yayurveda Slokantara Sloka Spiritual Bersifat Misterius spiritualitas hindu spma ribek sradha dan bhakti sri rama krishna paramahansa Sri Sathya Sai Baba Sri Svami Sivananda sumpah dalam perkara tabuh gesuri tabuh kreasi baru tabuh telu lelambatan tantri kamandaka tat twam asi tattwa susila upakara Tempat Suci Hindu tiga hubungan harmonis tri hita karana Tri kaya parisudha tri kerangka agama hindu tri mala tri pramana Triji Ratna Permata tujuan perkawinan tujuh penerima wahyu tumimbal lahir upacara hindu upacara menek deha Upanisad upaweda Utsawa Dharma Gita vaidhika dharma Vasudhaiva Kutumbakam VEDA ADALAH ILMU PENGETAHUAN SUCI vedangga Vijaya Dashami Wasudewa Kutumbhakam widhi tatwa wija kasawur wiwaha agama hindu Yajna dan Sraddha yajna dan sradha Yayurveda Yoga Kundalini