TUTUR dan TUTUD. Tutur dan Tutud tidak berasal dari bahasa Sanskerta, namun keduanya menjadi istilah yang sarat makna dalam ajaran spiritual Hindu yang mengakar di Indonesia. Tutur dan Tutud adalah bahasa Kawi, bahasa yang dipakai oleh para Kawi-Wiku dalam menulis karya-karya sastra dan filsafat.
Tutur berarti "sadar" , lawan kata kata lupa (lupa), dalam bahasa Sanskerta disebut Smrti; sementara itu tutud berarti "pusat ati", dalam bahasa Sanskerta disebut hredaya. Apa hubungan kedua kata ini ?
Dalam lontar Maha-padma kedua kata ini tersurat dalam suatu deretan kata yang sangat menarik, dalam sebuah tuangan makna yang mendalam : Hana ta ya otot apetak-putih ring tutud. Ya sanghyang Tutur Jati ngaran. Yeka ta paraning matutur, yang mengeta mwang lupa. Apan ing menget matutur, sangkan ing lupa. Apan sangkan in matutur, sangkan ing menget. Apan sangkan ing menget, ya sangkan ing lupa. Ya ta sira ingaranan ta rasa lupa. Rasa lupa, ngaran, yan ta hana karana ring bhuwana, mwang sarira. Apan sira sinangguh Sang Hyang Siwa, apangawak tutur langgeng.
Adalah "otot" yang berwarna putih di ari, itu disebut Sang Hyang Tutur-Jati. Itulah pusat kesadaran, ingat dan lupa. Karena ingat dan sadar adalah asal dari lupa. Karena asal sadar adalah juga asal ingat. Karena asal ingat adalah juga asal lupa. Itulah yang disebut rasa-lupa. Yang dimaksud rasa-lupa adalah apabila pikiran telah tidak dibelenggu oleh dunia (bhuwana) adan badan (sarira).
Kesimpulannya : Kesadaran Abadi itulah yang "Kuasa", karena Beliau disebut Sang Hyang Siwa, yang berbadankan ("kesadaran Abadi")
Hyang Siwa bersthana di dalam "tutud" yang berwarna putuh. Bagi seorang Sadhaka, seorang yogi, tutud berada dalam diri di ati, namun bagi masyarakat luas, mereka perlu membuat "tutud" di luar dirinya. Maka mereka lalu mendirikan tempat suci, mendirikan Padmasana untuk mensthanakan lalu memuja Hyang Siwa. Dan para Kawi menjadikan karya sastranya sebagai "tempat suci" lalu mensthanakan Hyang Siwa di tempat suci yang disusun dengan untaian indah batu-bata kata itu.
Mpu Kanwa misalnya dalam candi bahasa kakawin Arjunawiwaha, secara khusus menempatkan kata tutur dalam konteks yang sangat menarik, yaitu dalam kidung pujaan ke hadapan Hyang Siwa : .... sang maksat metu yang hana wwang amuter tutur pinahayu. "Hyang Siwa akan nampak dengan nyata apa bila ada orang memerah "tutur" dengan benar ". Sebelumnya Mpu Kanwa menyusun kata-kata sebagai berikut: Yang langgeng ikan Siwasmrti dateng sredhha Bhatareswara . "Kalau langgeng kesadaran Siwa di hati tentu Beliau akan memberikan anugerah".
Siwasmrti sama dengan Siwatutur, maka kalimat itu dimaksudkan juga untuk mengatakan : Sang Hyang Siwa apangawak tutur langgeng, sebagaimana tersurat dalam lontar Maha-padma diatas.
Maha-padma juga menyuratkan bahwa tutud yang menjadi pusat tutur adalah juga berada di rongga dalam bunga kadali atau kadalipuspa (mareng kuwung dalem ing kadali puspa, nga, tutud). Sementara itu Lontar Nawaruci menyatakan bahwa tutud adalah ujungnya bunga kadali (ring kadali puspa tungtung ing tutud). Dan menurut Jnanasiddhanta akasara suci OM ketika diuncarkan oleh seorang sadhaka, oleh orang suci, jalannya melewati tutud (sang hyang Pranawa makahawan tutud)
Demikianlah tutud dan tutur menjadi bahan renungan bagi para pemuja Hyang Siwa. Renungan yang juga seharusnya dilakukan pada hari Raya Siwaratri. Sumber bacaan buku Wija Kasawur, Ki Nirdon. (RANBB)
Tutur berarti "sadar" , lawan kata kata lupa (lupa), dalam bahasa Sanskerta disebut Smrti; sementara itu tutud berarti "pusat ati", dalam bahasa Sanskerta disebut hredaya. Apa hubungan kedua kata ini ?
Dalam lontar Maha-padma kedua kata ini tersurat dalam suatu deretan kata yang sangat menarik, dalam sebuah tuangan makna yang mendalam : Hana ta ya otot apetak-putih ring tutud. Ya sanghyang Tutur Jati ngaran. Yeka ta paraning matutur, yang mengeta mwang lupa. Apan ing menget matutur, sangkan ing lupa. Apan sangkan in matutur, sangkan ing menget. Apan sangkan ing menget, ya sangkan ing lupa. Ya ta sira ingaranan ta rasa lupa. Rasa lupa, ngaran, yan ta hana karana ring bhuwana, mwang sarira. Apan sira sinangguh Sang Hyang Siwa, apangawak tutur langgeng.
Adalah "otot" yang berwarna putih di ari, itu disebut Sang Hyang Tutur-Jati. Itulah pusat kesadaran, ingat dan lupa. Karena ingat dan sadar adalah asal dari lupa. Karena asal sadar adalah juga asal ingat. Karena asal ingat adalah juga asal lupa. Itulah yang disebut rasa-lupa. Yang dimaksud rasa-lupa adalah apabila pikiran telah tidak dibelenggu oleh dunia (bhuwana) adan badan (sarira).
Kesimpulannya : Kesadaran Abadi itulah yang "Kuasa", karena Beliau disebut Sang Hyang Siwa, yang berbadankan ("kesadaran Abadi")
Hyang Siwa bersthana di dalam "tutud" yang berwarna putuh. Bagi seorang Sadhaka, seorang yogi, tutud berada dalam diri di ati, namun bagi masyarakat luas, mereka perlu membuat "tutud" di luar dirinya. Maka mereka lalu mendirikan tempat suci, mendirikan Padmasana untuk mensthanakan lalu memuja Hyang Siwa. Dan para Kawi menjadikan karya sastranya sebagai "tempat suci" lalu mensthanakan Hyang Siwa di tempat suci yang disusun dengan untaian indah batu-bata kata itu.
Mpu Kanwa misalnya dalam candi bahasa kakawin Arjunawiwaha, secara khusus menempatkan kata tutur dalam konteks yang sangat menarik, yaitu dalam kidung pujaan ke hadapan Hyang Siwa : .... sang maksat metu yang hana wwang amuter tutur pinahayu. "Hyang Siwa akan nampak dengan nyata apa bila ada orang memerah "tutur" dengan benar ". Sebelumnya Mpu Kanwa menyusun kata-kata sebagai berikut: Yang langgeng ikan Siwasmrti dateng sredhha Bhatareswara . "Kalau langgeng kesadaran Siwa di hati tentu Beliau akan memberikan anugerah".
Siwasmrti sama dengan Siwatutur, maka kalimat itu dimaksudkan juga untuk mengatakan : Sang Hyang Siwa apangawak tutur langgeng, sebagaimana tersurat dalam lontar Maha-padma diatas.
Maha-padma juga menyuratkan bahwa tutud yang menjadi pusat tutur adalah juga berada di rongga dalam bunga kadali atau kadalipuspa (mareng kuwung dalem ing kadali puspa, nga, tutud). Sementara itu Lontar Nawaruci menyatakan bahwa tutud adalah ujungnya bunga kadali (ring kadali puspa tungtung ing tutud). Dan menurut Jnanasiddhanta akasara suci OM ketika diuncarkan oleh seorang sadhaka, oleh orang suci, jalannya melewati tutud (sang hyang Pranawa makahawan tutud)
Demikianlah tutud dan tutur menjadi bahan renungan bagi para pemuja Hyang Siwa. Renungan yang juga seharusnya dilakukan pada hari Raya Siwaratri. Sumber bacaan buku Wija Kasawur, Ki Nirdon. (RANBB)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan