OM. SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA, AM, UM, OM

PRAKATA

Selamat Datang

Semangat Hindu merupakan blog bersama umat Hindu untuk berbagi berita Hindu dan cerita singkat. Informasi kegiatan umat Hindu ini akan dapat menumbuhkan semangat kebersamaan.
Semangat Hindu semangat kita bersama.

Bersama Semangat Hindu kita berbagi berita dan cerita, info kegiatan, bakti sosial dan kepedulian, serta kegiatan keagamaan seperti ; pujawali, Kasadha, Kaharingan, Nyepi, Upacara Tiwah, Ngaben, Vijaya Dhasami dan lain sebagainya.

Marilah Berbagi Berita, Cerita, Informasi, Artikel Singkat. Bagi yang mempunyai Web/Blog, dengan tautan URL maka dapat meningkatkan SEO Web/ blog Anda.

Terima Kasih
Admin

RANBB

---#### Mohon Klik Share untuk mendukung blog ini ####---

Tampilkan postingan dengan label lontar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lontar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Januari 2023

Isi Lontar Kekawin Lubdhaka

Bagaimana isi Lontar Kekawin Lubdhaka ?

Bagaimana isi Lontar Kekawin Lubdhaka ?

Di dalam Lontar Kekawin Lubdhaka mengungkapkan sebagai berikut :



Seorang yang tinggal di puncak gunung, bernama Lubdhaka penghidupannya adalah sebagai seorang pemburu. Adapun yang senang diburunya adalah Mong (Harimau), Wek (Babi Hutan), Gajah dan Badak (Warak).

Pada suatu hari, tepatnya pada hari panglong 14, Tilem Kapitu (bulan Magha) pagi-pagi buta dia telah meninggalkan rumah pergi ke hutan untuk berburu, itulah kegiatannya sehari-hari. Kebetulan pada hari itu kepergiannya ke hutan mengalami kesialan karena tidak ada seekor binatangpun yang dilihatnya, tetapi Si Lubdhaka tetap sabar menunggu dalam keadaan perut kosong. Saat menjelang senja hari, belum juga ada seekor binatang pun yang nampak, maka muncul dalam pikiran Si Lubdhaka, kemungkinan binatang-binatang tersebut sedang mencari tempat minum, dan karena mempunyai perkiraan yang demikian, maka dia pun berusaha menemukan sumber-sumber air yang ada di hutan tersebut. Kemudian Si Lubdhaka menemukan sebuah telaga, dan kebetulan pada tepi telaga ada sebuah pohon yang rimbun yang disebut dengan pohon Bila (Pohon Maja). Di bawah pohon itulah Si Lubdhaka berteduh sambil menunggu binatang yang akan datang untuk minum air. Namun harapannya tetap saja kandas, ternyata tidak seekor binatang pun ada yang datang untuk meminum air, sangat kecewa Si Lubdhaka.

Sang mentari pun telah kelam, dan dijemputlah oleh kegelapan, tiada bisikan deringan sayap jangkrikpun lenyap, suasana berganti menjadi sepi dan malam itu sangat mengerikan sehingga Si Lubdhaka tidak berani bermalam dibawah pohon karena takut disergap oleh harimau, maka diapun naik ke pohon Bila tersebut, serta duduk pada dahan pohon yang menjulur ke atas telaga, dalam perhitungannya kalau jatuh tidak akan cedera. Untuk menghilangkan kantuknya, maka Si Lubdhaka memetik-metik daun Bila tersebut satu-persatu lalu dijatuhkan ke dalam telaga. Setelah dalam perhitungan 108 kali menjatuhkan daun Bila-nya dan saat itu tepat pada dauh Yoga (dauh penciptaan) dilihatlah olehnya sebuah lingga bermunculan dari dalam telaga dalam waktu sekejap. Tidak lama lagi datanglah sang fajar menyingsing. Si Lubdhaka turun dari pohon Bila langsung pulang dengan tangan hampa. Sesampainya Si Lubdhaka di rumah hari sudah senja, dengan perut lapar karena satu hari satu malam tidak sebutir nasipun dapat menyentuh perutnya, kebetulan di rumahnya ada nasi kerak (entip), itulah yang dimakannya.

Setelah beberapa tahun berselang, maka Si Lubdhaka jatuh sakit, dan sakitnya makin parah, akhirnya Si Lubdhaka meninggal dunia. Diceritakan setelah Si Lubdhaka meninggal dunia Sang Hyang Yamadipati telah mengetahui maka diperintahkanlah pada Cikrabala, Kingkarabala untuk menjemput rohknya Si Lubdhaka agar dibawa ke Yama Loka, untuk diadili serta dihukum sesuai dengan dosanya atas perbuatannya di dunia semasih hidupnya, suka melakukan perbuatan “Himsa Karma”.

Demikian juga Sang Hyang Siwa di Siwa Loka juga telah mengetahui bahwa Si Lubdhaka telah meninggal dunia, diutuslah bala tentaranya “Watek Gana”, untuk menjemput rokh Si Lubdhaka agar dibawa ke Siwa Loka. Setelah kedua kelompok utusan tersebut tiba ditempat rokh Si Lubdhaka, maka mereka saling berebut dan masing-masing menunjukkan perintah dan tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan antara laskar Sang Hyang Yama dengan laskar Sang Hyang Siwa. Akhirnya kalah laskarnya Sang Hyang Yamadipati dan rokh Si Lubdhaka diboyong ke Siwa Loka.

Setelah laskar Sang Hyang Yama sampai di Yama Loka, maka dilaporkan tentang kejadian yang tadi kehadapan Sang Hyang Yama, serta kagetlah Sang Hyang Yamadipati mendengar isi laporan tersebut, akhirnya Sang Hyang Yama datang ke Siwa Loka untuk menuntut dan menanyakan kehadapan Sang Hyang Siwa, kenapa Si Lubdhaka dapat pengampunan dosa padahal dia selalu melakukan perbuatan Himsa Karma semasih hidupnya di dunia. Sesudah Sang Hyang Yama memohon penjelasan tentang peleburan dosannya Si Lubdhaka maka, kembalilah Sang Hyang Yama ke Yama Loka dengan tangan kosong.

Bagaimana tatacara Siwaratri menurut lontar Siwaratri Brata ?

“Nihan Krama Siwaratri Brata Utama, Tindakira Sang Pandita Siwa Paksa, Muang Buda Paksa, Sang Maharep, Lepas Saking Atma Sangsara, Sidaning Yasa, Tapa, Brata, Dhyana, Yoga Samadhi Muang Kerthinia”

Apa maksudnya ?

Inilah tatacara Siwaratri Brata utama, yag dilaksanakan oleh Pendeta Siwa Buda Paksa, demikian juga kepada orang yang mengharakan terlepasnya atma dari kasengsaraannya, atas dasar berhasilnya pelaksanaan Tapa, Brata, Dhyana, dan Samadhinya, dan Yasa Kerthinya.

Jumat, 20 Februari 2015

Landasan Sastra Upacara Potong Gigi

Landasan Sastra yang menjadi Dasar Upacara Potong Gigi, adalah Pustaka Dharma Kahuripan, Pustaka Siwa Eka Samapta Pratama, Pustaka Puja Kala Pati dan Pustaka Puja Kalib. 


Pustaka Dharma Kahuripan
Pustaka Dharma Kahuripan memuat tentang Manusa Yadnya dari segi upacara dan upakaranya baik tingkat kecil (Kanistama), sedang (Madhyama) maupun besar (Utama). Juga ada penjelasan tentang Upacara Potong Gigi yang disebut Atatah. Baca tentang Mepandes, Potong Gigi, Metatah, Mesangih

Pustaka Siwa Eka Samapta Pratama
Pustaka Siwa Eka Samapta Pratama ini memuat tentang Manusa Yadnya dari segi Upacara dan Upakaranya sama seperti Pustaka Dharma Kahuripan tetapi agak ringkas dan menyebut juga Upacara Potong Gigi dengan Atatah

Pustaka Puja Kala Pati
Pustaka Puja Kali Pati ini menjelaskan tentang Upacara Potong Gigi mengenai tata cara juga pengertian filsafatnya. Dalam pustaka Puja Kala Pati ini ada petunjuk dari Bhatara Siwa kepada manusia kenapa harus melaksanakan Upacara Potong Gigi. Karena jika tidak melakukan maka mereka nanti setelah meninggal dunia maka arwahnya tidak akan bertemu dengan orang tuanya atau leluhurnya di alam Paratra atau Sorga. Baca tentang Dharmaning Yayah Rama Rena ring Putra

Pustaka Puja Kalib
Pustaka Puja Kalib memuat tentang Puja Astawa yang dipergunakan oleh para Sulinggih dalam memimpin Upacara Potong Gigi.

Sumber makalah Upacara Potong Gigi oleh Narasumber : Ida Pedanda Nabe Gde Putra Sidemen (RANBB)

Rabu, 11 Februari 2015

KUSUMADEWA

KUSUMADEWA LONTAR

Lontar Kusumadewa ini memaparkan tentang gegelaran pamangku yang meliputi kegiatan pamangku dalam urutan penyelesaian upacara di pura bersama dengan saa yang mengiringi. Urutan-urutan kegiatan itu ialah menyapu, membersihkan coblong, menggelar tikar, memetik daun, memasang caniga, membersihkan dan mengisi jun air. 



Menempatkan dupa di halaman palinggih, mempersembahkan dupa, mempersembahkan prayascita pada semua pelinggih, menyelesaikan segala sesuatu perlengkapan penyucian. Setelah urutan-urutan persiapan itu selesai, maka pamangku mohon perkenan Bhatara Siwa sudi hadir secara seksama pada diri pamangku itu. Baca Tugas Manggala Upacara

Pamangku mengucapkan saa pujian, mohon agar para Dewa/Bhatara menganugrahkan berkah, terhindar dari semua penderitaan. Dalam saa pujian itu terdapat mantra dewa-dewa dalam pengider-ider yang sesungguhnya semua dewa-dewa itu adalah ada Guru Dewa atau Bhatara Siwa

Kemudian Pamangku mempersembahkan semua banten piodalan, mulai dari Sanggar Agung, lanjut ke Padmasana, semua pelinggih, dan panggungan. 


Bagian akhir dari rangkaian upacara ini adalah persembahan kepada Bhatari Durga, Kala, Bhuta berupa bebangkit dan gelar sanga. Sebagai siddha ning don, tercapainya tujuan, pamangku mempersembahkan peras, dilanjutkan dengan masegeh agung, nglukar dan terakhir dengan matirtha.
Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html

Senin, 09 Februari 2015

Lontar Dewa Tatwa

DEWA TATTWA 


Adapun materi pokok yang diajarkan dalam Lontar Dewa Tatwa ini adalah uraian tentang tata upacara mendirikan bangunan suci, arca, dan juga bermacam pedagingan bangunan suci dengan segala upakaranya. 

Dalam membangun tempat suci, seperti Meru, Gedong, Prasada, Padmasana, Ibu, semuanya hendak dilengkapi dengan Padagingan Nista, Madya, Utama. 

Tentang proses pembangunan tempat suci sepatutnya terlebih dahulu disucikan dengan upakara Prayascita, Suci, Pajati, Rayunan Putih Kuning, Pangambeyan, Sasayut Durmanggala, Pras, Panyeneng, Rantasan, Daksina, Sesari 500. 



Tentang Kahyangan tempat suci yang terkena musibah (cuntaka) hendaknya disucikan dengan upacara Manyawang, mohon perkenan wara nugraha Sang Hyang widhi dengan rentetan upacara Ngenteg Linggih Bhatara, menghilangkan kekotoran, akhirnya melaksanakan upacara Pasasapuh dengan menghaturkan upacara Guru Piduka, dan lain-lain. 

Selain itu, dalam lontar ini juga diuraikan mengenai Upacara Ngusabha Desa Nini dengan segala upakaranya, tata cara membangun Palinggih Prajapati dan juga upacara di Kuburan, upacara Malabuh Gentuh di laut, Panjegjengan Hyang Narmada, Pancawalikrama, tentang jenis sesayut dan kepada siapa ditujukan, tentang ruwatan Sang Hyang Aghora untuk menghilangkan segala kekotoran dalam tubuh, dll.

Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html

Selasa, 28 Oktober 2014

Lontar Roga Sanghara Bhumi

Lontar Roga Sanghara Bhumi


Pemilik babon Lontar Roga Sanghara Bhumi adalah Ida Padanda Gde Tembau, Geria Aan Klungkung. Lontar ini tergolong lontar muda dan disusun di Bali. Lontar ini dapat memberikan petunjuk apa yang dapat dilakukan pada saat bumi mengalami sanghara. Sanghara tidak bisa ditolak, tidak bisa dihindari, pasti terjadi karena tarikan dari Sanghyang Catur Yuga yaitu Kali Yuga. 

Artikel Terkait Dengan Lontar Hindu :



Karena pengaruh Jaman Kali, maka manusia pada jaman itu teramat sangat kotor hingga mengotori bumi, sehingga dewa-dewa menjadi sangat murka kemudian menyebarkan malapetaka terhadap manusia di bumi. Sang Hyang Druwaresi yang berstana di langit memberikan tanda-tanda alam tidak baik yang disebut ‘Durmamanggala’ kepada manusia di bumi sebagai pertanda akan datangnya mala petaka. 

Dalam Lontar Roga Sanghara Bhumi disebutkan durmanggala itu sangat banyak seperti; terjadi gempa secara terus-menerus, manusia/binatang mengadakan hubungan dengan bukan pasangannya, bahkan dengan bukan jenisnya (manusia dengan binatang, babi dengan anjing, dll.), wujud kelahiran yang tidak seperti biasanya, air hujan berwarna merah, diterjang banjir, dsbnya.

Apabila ada tanda-tanda seperti itu maka pendeta kerajaan agar tanggap dan segera melaksanakan upacara selamatan dengan mempersembahkan sesaji atau caru agar bencana dapat dinetralisir serta kebaikan dunia dapat dikembalikan.

Artikel Terkait Dengan Lontar Hindu :




Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html

LONTAR TUTUR KUMARATATWA

Lontar ini menguraikan tentang hakikat kamoksan. Kamoksan itu pada prinsipnya adalah suatu proses yang tidak dapat dicapai secara sekaligus tetapi dicapai secara bertahap. Kamoksan merupakan proses penunggalan Yang Ada dengan Yang Tiada setelah mengalami pembebasan dari keterikatan duniawi. Yang Tiada (kekosongan) merupakan sumber segala sesuatu dan tujuan terakhir yang meleburkan segala sesuatu. 

Kekosongan itu merupakan awal, tengah, dan akhir segala spekulasi. Tutur Kumaratatwa berisi ajaran filosofis tentang mengapa manusia menderita, dan bagaimana manusia melepaskan diri dari penseritaan. 

Adapun sumber penderitaan manusia adalah Dasendriya, dan manusia harus mampu mengendalikannya dengan cara mengenali dan memahami kejatidiriannya sehingga manusia dapat mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html

Selasa, 14 Oktober 2014

Lontar Sundarigama Menggunakan Bahasa Kawi

LONTAR SUNDARIGAMA 

Lontar Sundarigama menggunakan bahasa Kawi, dan mengandung teks yang bersifat filosofis-religius karena mendeskripsikan norma-norma, gagasan, perilaku, dan tindakan keagamaan, serta jenis-jenis sesajen persembahan yang patut dibuat pada saat merayakan hari-hari suci umat Hindu Bali, mengajarkan kepada umatnya untuk berpegang kepada hari-hari suci berdasarkan wewaran, wuku, dan sasih dengan mempergunakan benda-benda suci/yang disucikan seperti api, air, kembang, bebantenan disertai kesucian pikiran terutama dalam mencapai tujuan yang bahagia lahir bathin (moksartam jagadhita) berdasarkan agama yang dianutnya. 



Teks Sundarigama merupakan penuntun dan pedoman tentang tata cara perayaan hari-hari suci Hindu yang meliputi aspek tattwa (filosofis), susila, dan upacara/upakara. Teks Sundarigama tidak hanya mendeskripsikan hari-hari suci menurut perhitungan bulan (purnama atau tilem) atau pun pawukon serta jenis-jenis upakara yang patut dibuat umat Hindu pada saat merayakan hari-hari suci tersebut, tetapi juga menjelaskan tujuan bahkan makna perayaan hari-hari suci tersebut. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dan makna perayaan hari-hari suci umat Hindu menurut Lontar Sundarigama adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan /Ida Sanghyang Widhi Wasa; Hubungan manusia dengan manusia; dan hubungan manusia dengan alam lingkungan. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat Hindu Bali melakukan upacara agama adalah dari dan untuk keselamatan alam semesta beserta seluruh isinya. 

LONTAR PENUGRAHAN DALEM 

Lontar Penugrahan Dalem ini menggunakan bahasa Bali, sehingga menandakan bahwa Lontar ini bukanlah lontar kuna. Penugrahan Dalem merupakan salah satu dari sekian banyak lontar yang mengungkapkan kehidupan dunia “mistik” masyarakat Bali, baik “kiwa” maupun “tengen”
Baca Gudha Artha adalah Mistik Hindu

Pada naskah ini banyak diajarkan mengenai sesuatu hal yang berkaitan dengan kekuatan dalam diri manusia (ilmu tenaga dalam) atau kesaktian. Mengingat isinya yang begitu “pingit”, maka di dalam mempelajari perlu pentahapan, dari tingkat yang paling sederhana sampai ke tingkat yang lebih tinggi agar tidak membingungkan, diperlukan persiapan batin yang matang dan mantap serta terolah secara meditatif. Itulah sebabnya, dalam Lontar Penugrahan Dalem ada kata “aywa wera”, “aywa cauh” yang tiada lain agar mempelajarinya haruslah berhati-hati dan harus dicamkan secara baik. Lontar ini mempunyai nilai kesakralan tinggi dan tidak sembarang orang bisa mempraktekkannya, sehingga perlulah kiranya orang yang ingin mempraktekkannya dibimbing oleh seorang guru pembimbing agar tidak terjadi kesalahan dalam mempraktekkannya. 

Sabtu, 04 Oktober 2014

BABAD ARYA KEPAKISAN

BABAD ARYA KEPAKISAN (1998)

 BABAD ARYA KEPAKISAN

Babad ini menceritakan tentang keturunan Arya Kepakisan di Bali. Arya Kepakisan adalah putra dari Arya Kadhiri, yang datang ke Bali diikuti oleh para bangsawan Kepakisan. Dinamakan Kepakisan karena pakis berarti paku, dipakukan menjadi raja oleh Mpu Dang Guru. Arya Kepakisan dijadikan raja oleh Rakryan Madha. Arya artinya Wisnu, yakni Bhatara Hari, hakikatnya keluarga bangsawan keturunan Wisnu, tiada kesatria yang berasal dari Batara Brahma, karena berasal dari Batara Wisnu asalnya. Itulah sebabnya raja yang baru tiba dinamakan Sri Kresna Kepakisan. Sri berarti raja, Kresna berarti Wisnu. Demikianlah atas kebijaksanaan Mahapatih Gajahmadha. Itulah sebabnya Sri Kresna Kepakisan beserta Arya Kepakisan terutama para Wesia dari Jawa bersama-sama pergi ke Bali atas perintah patih Gajahmadha sebagai penjelmaan Wisnu yang menjadi menteri dan paham akan perihal kenegaraan.
Sri Kresna Kepakisan keturunan Brahmana menjadi raja    di Bali dan Arya Kepakisan menjadi patihnya, diiringi oleh para arya yang dilantik, terutama para Wesia dari Jawa sebagai delapan penjaga raja yang berkuasa di Samprangan. Arya Kepakisan memiliki dua orang putra yang bernama Arya Asak dan Arya Arya Nyuhaya. Merekalah yang selanjutnya menurunkan keturunan berikutnya. Demikianlah keturunan Arya Kapakisan pada jaman dahulu.




ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA LONTAR SRI PURANA TATTWA (2004)

Sri Purana Tattwa adalah salah satu lontar purana yang memakai bahasa Jawa Kuna. Isinya mengandung ajaran agama hindu yang memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri, yang menganugrahkan kesejahteraan serta melindungi segala jenis tanaman pertanian. Sri Purana Tattwa menguraikan tentang sistem ritual dalam mekanisme pengolahan sawah dari permulaan/awal kegiatan sampai akhir panen termasuk juga pengendalian hama dan penyakit melalui upacara dan upakara panangluk marana.

BACA : BABAD BULELENG, BABAD ARYA GAJAHPARA, BABAD KI TAMBYAK



Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html
 
MENGENAL PURA GUNUNG SALAK 


LONTAR KRAMA PURA, PUTRU PASAJI, TATTWA SANGKANING DADI JANMA, DEWA RUCI, CATUR YUGA

ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA LONTAR

KRAMA PURA, PUTRU PASAJI, TATTWA SANGKANING DADI JANMA,

DEWA RUCI, CATUR YUGA (2008)

KRAMA PURA
Lontar Krama Pura yang dialihaksarakan ini adalah lontar yang ditulis oleh Putu Mangku dari Banjar Jro Dikit Seririt pada Tahun Saka 1919 (1997 M). Lontar Krama Pura tergolong naskah muda karena dilihat dari bahasa yang dipakai sebagai wahananya yaitu bahasa Kawi-Bali. Lontar ini termasuk lontar sesana, yang lebih mengkhusus pada tata cara masuk tempat suci.
Dalam lontar ini disebutkan bahwa orang yang bertindak sebagai pengemong pura hendaknya waspada dan mematuhi ajaran Sangyang Dewa Sasana tentang tata cara orang masuk pura. Bila krama desa ingin menghaturkan sesajen, pada saat membuat hendaknya disucikan dahulu dengan tirtha dari Sulinggih karena sesajen yang tidak diperciki tirtha dianggap kotor (leteh). Penyebab kekotoran itu adalah dilangkahi anjing, dilangkahi manusia, dipakai mainan oleh anak-anak, hasil belanjaan di pasar yang dijual oleh orang kotor, diterbangkan ayam, kena rambut, bedak, ludah. Bila banten tersebut dihaturkan, dianggap akan dapat mengusir dewa dan mengundang bhuta.



Selain itu, orang yang tidak boleh masuk pura adalah orang gila, orang yang menstruasi, orang cuntaka karena kematian, pencuri. Di areal pura, orang dilarang untuk marah sampai memaki-maki, bicara ngacuh, bersanggama, berselingkuh, bahkan untuk memperbaiki pakaian. Yang paling dilarang masuk pura adalah orang panten (orang yang dosanya tidak terampuni), yaitu orang yang memperkosa, yang laki-laki dari golongan sudra sedangkan wanitanya dari golongan tri wangsa (brahmana, ksatriya, wesya). Orang yang mengawini yang tidak patut dikawini (gamia-gamana) juga dilarang masuk pura. Ada juga yang disebut cacilaka, yaitu seorang wanita yang telah cukup umur namun tidak menstruasi, walaupun sudah berobat pun juga tidak menstruasi, dilarang masuk pura lebih-lebih untuk membuat perlengkapan sesajen.
  

PUTRU PASAJI
Lontar yang dialihaksarakan ini adalah lontar koleksi pribadi Perpustakaan Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Dalam lontar ini disebutkan ada ikan/daging yang dilarang untuk dijadikan persembahan, karena akan menghilangkan kesucian sehingga kembali pada papa dan neraka. Dalam Pitra Yadnya, ada banyak jenis ikan yang dapat dijadikan persembahan kepada sang pitara. Lamanya kesenangan yang dapat diberikan oleh masing-masing ikan berbeda. Ikan laut kualitasnya paling rendah karena dapat memberikan kesenangan hanya selama satu bulan. Sedangkan ikan/daging yang kualitasnya tertinggi adalah badak, karena akan dapat memberikan kesenangan selamanya di sorga.
Dalam lontar ini disebutkan juga nama beberapa gunung seperti: Gunung Malaya, Suktiman, Wreksawan, Himawan, Makuta, dan Nindana yang harus dilalui oleh para pitara menuju sorga. Pada gunung-gunung itulah tempat penyiksaan para pitara yang berdosa menunggu untuk dientas agar bisa masuk sorga. Pitara yang telah dientas kemudian masuk sorga memperoleh penyambutan yang luar biasa dari makhluk-makhluk kahyangan. Dengan diantar oleh burung kahyangan, Sang Wimana, sang pitara dapat menyaksikan keindahan masing-masing sorga.
Dalam sorga disebutkan ada banyak sorga seperti: Iswarapada, Brahmaloka, Budhaloka, Wisnupada, Swarga Manik, Sri Manuh, Indrapada, Darapada, Wilasatya, Siwapada, Ganda Langha Jandewa Pralabda, dan lain-lain. Sorga-sorga itulah tempat bagi atma yang telah dientas dan sesuai dengan pekerjaannya di bumi ketika masih hidup. Misalnya, ketika masih hidup dia suka belajar, menggubah kidung, pralambang, akan tinggal di Swarga Manik, yaitu kahyangan Sanghyang Saraswati.
Amanat dari Lontar Putru Pasaji ini adalah agar keluarga yang ditinggalkan segera melaksanakan upacara bagi yang meninggal, agar tidak berlama-lama menderita dan bisa segera masuk sorga. Dalam melaksanakan upacara agar dipilih ikan/daging yang dianjurkan agar dapat memberikan kesenangan kepada para pitara di sorga. Sesorang jika telah berhasil melaksanakan upacara terhadap orang yang telah meninggal, ia akan memperoleh pahala dari pelaksanaan upacara itu. Ada empat pahala yang akan dinikmati, seperti: saksi, bhakti, sura, dan wira. Lebih-lebih jika upacara itu dilaksanakan dengan didasari hati yang suci dan tulus ikhlas.
  

TATTWA SANGKANING DADI JANMA
Tattwa Sangkaning Dadi Janma adalah sebuah pustaka lontar yang memuat ajaran tentang hakikat Siwa. Lontar ini mengacu pada pustaka yang lebih tua seperti, Bhuwanakosa, Wrehaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Jnana Siddhanta, Ganapati Tattwa.
Materi Pokok yang diajarkan dalam pustaka Tattwa Sangkaning Dadi Janma adalah pengetahuan rahasia, yaitu tentang ilmu kadyatmikan, ilmu untuk melepaskan Sang Hyang Urip untuk kembali ke asalnya atau kamoksan, kalepasan, kesunyataan.
Janganlah mengajarkan kepada murid yang tidak mentaati tata krama. Dan kepada orang yang tidak terpelajar, rahasiakanlah ajaran Beliau para Resi, sebab murid yang pandai tetapi tidak bermoral, tidak mentaati tata krama dan tidak hormat kepada guru, itu akan mendapat petaka besar bagi si murid. Sebaliknya, walaupun murid itu agak kurang, kalau mentaati ajaran tata krama dari guru, pastilah murid itu akan berhasil.
DEWA RUCI
Dewaruci dimulai dengan cerita keberangkatan Sang Bhima atas perintah Bhagawan Drona ke laut untuk mencari Toya Amreta. Terlihat olehnya tepi laut dengan ombaknya beriak, bergulung menerjang batu karang. Dengan tiada rasa takut ia menceburkan diri ke dalam laut, diempas gelombang, ditindih air.
Tiba-tiba datanglah seekor ular besar bernama Si Nakatnawa mengambang di atas air. Ular yang sedang kelaparan itu kemudian menyerang Sang Bhima dengan sangat buas. Akan tetapi ular tersebut akhirnya dapat ditangkap oleh Sang Bhima, lalu dipotong-potong dengan kukunya sehingga air laut menjadi merah karena darah ular itu.
Tersebutlah Sang Hyang Wisesa, sangat kasihan terhadap Sang Bhima. Sang Bhima sangat senang melihat Sang Hyang Wisesa yang berbadan kecil seperti boneka. Sang Hyang Wisesa bertanya apa tujuan Sang Bhima datang ke tengah laut yang berbahaya itu. Sang Bhima pun menjawab bahwa tentunya Sang Hyang Wisesa telah mengetahuinya. Sang Bhima kemudian menanyakan nama Sang Hyang Wisesa sebagai resi berbadan kecil. Sang resi menjawab ia adalah Dewaruci. Kemudian ia memberi wejangan kepada Sang Bhima agar jangan gegabah berbuat. “Janganlah mencari bila belum tahu apa yang dicari”.
Dewaruci senang karena sang Bhima mau menerima ajarannya. Ia menyuruh Sang Bhima masuk ke dalam garbanya (perutnya) melalui telinga kirinya. Setelah Sang Bhima masuk, dilihatlah olehnya lautan yang amat luas, alam kosong. Kemudian Sang Resi kembali mewejang tentang indriya, tentang dasa, tiga musuh sang pertapa, tentang subyek dan obyek, tentang yang tunggal menjadi banyak, tentang jiwa, tentang Tuhan yang tanpa wujud, tanpa ruang.



CATUR YUGA
Lontar ini pada intinya menceritakan tentang seorang raja yang bertahta di kerajaan Purbbhasasana bergelar Maharaja Bhanoraja sedang mencari pertimbangan dari para pendeta, para mahaguru, para mentri, dll., perihal putrinya yang bernama Dewi Ratnarum yang hendak dilamar oleh raja dari Negara Sunyantara yang bergelar Sri Maharaja Rekatabyuha yang sangat kaya dan gagah berani, akan tetapi berjiwa jahat karena dipengaruhi oleh zaman kali.
Para pendeta, mahaguru pun memberi pertimbangan/petuah kepada sang raja. Pada zaman dahulu, disebutkan bahwa Hyang Parameswara (Sang Hyang Siwa) memberikan ajaran tentang Catur Yuga. Empat perbedaannya yaitu: Kretha Yuga, Traita Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Kretha Yuga lamanya 4.444.400 tahun, Traita Yuga 3.333.300 tahun, Dwapara Yuga 2.222.200 tahun, dan Kali Yuga 1.111.100 tahun lamanya.
 Pada zaman Kretha Yuga, keadaan manusia tidak banyak mengalami perubahan, tidak tertimpa rasa sakit, tidak akan mati semasih bayi, tidak memikirkan baik buruk, mati hidup, suka duka, sakit lapar. Adapun umur manusia pada Zaman Kretha Yuga adalah seratus ribu tahun, sepuluh-puluh kurangnya, kecatur sunyaning rat.
Pada Zaman Traita Yuga, demikian juga tentang umur manusia selalu suka, lima ratus tahun umurnya, ukurannya lima-lima, tiga kakinya dunia, seperti air dalam perigi, berkurang sekendi dari tempurung kelapa, mendung yang tebal akan menjatuhkan hujan, selaku dalam keadaan suka semua manusia, tidak ingat dengan hari tua.
Zaman Dwapara Yuga, dua ratus tahun umurnya manusia, ukurannya dua-dua, dua kakinya dunia, demikianlah ukuran manusia patut disikapi, berlaksana harus bijaksana, pemberani, tahu tentang siasat, tahu dengan tanda-tanda, dapat mengendalikan indera, sayang kepada orang melarat, kasih kepada orang yang tahu membalas budi, taat aturan, melaksanakan ajaran weda, dll.
Zaman Kali Yuga, seratus tahun umurnya manusia, ukurannya satu-satu, satu kakinya dunia, itu sebabnya huru-hara di dunia, hampir-hampir rusak tiada tara, mendung tebal akan menurunkan hujan, perigi akan kering, nempuluh tahun penuh dengan kekerasan, itu yang disebut sapta, tiada tenggelam di Barat, selalu berpisah tiada mau bersatu, dari Utara datangnya ciri-ciri yang tidak baik. Dari hal itu timbullah Tri Mala. Itulah sebanya dunia manjadi kacau, bisa merajalela menyakiti, merampok, memperkosa, membunuh sesama manusia yang tidak berdosa, aneka rupa kejahatan di muka bumi, yang berlaksana benar mati, yang sombong hidup dan mendapatkan kesenangan, tamak, bersifat kejam.

Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html
 

Selasa, 01 April 2014

Wija Kesawur : Kala dan Kali

KALA DAN KALI. Setiap kita mengadakan acara Dharma Santi, acara yang terangkai dengan penyambutan Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, kita senantiasa ingin merenungkan makna perjalanan "waktu", yang disebut sebagai Kala. Dalam kita Santi Parwa. Kala mendapat uraian penting dari Maharesi Wyasa, uraian yang disampaikan kepada Maharaja Yuddhistira : Bila menjadi kehendak Sang Kala, maka ilmu pengetahuan, mantra dan japa, demikian juga obat-obatan tidak akan membawa hasil.


Setelah menjelaskan secara mendalam tentang Sang Kala, juga Sang Kala Mretyu (Waktu Kematian, baca artikel terkait Menyadari Datangnya Kematian) yang mengerikan, Maharesi Wyasa membuat sebuah kesimpulan : " An mangkana purih niking janma, kinawasakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang budhhi, heneben wehen remegepang moksamarga "

Demikianlah keadaannya menjadi manusia dikuasai oleh waktu, dan biasanya menderita, oleh karena itu janganlah alpa, sucikanlah budi anda, tenangkan, berilah kesempatan untuk bermeditasi untuk mencapai alam "kebebasan".

Dalam karya-karya sastra, khususnya mahakawya Mahabharata dan Ramayana, senantiasa kita diajak untuk merenungkan hakikat Waktu itu, kita juga disarankan untuk "bersahabat" dengannya. Suatu kali Sri Rama bercakap-cakap dengan Sang Kala, ketika beliau mengunjungi Ayodhya, dan Sang Kala hadir berwujud seorang pandita (tapa-sarupa). Setelah bercakap-cakap dengan pandita siluman ini, tidak lama kemudian Sri Rama meletakkan kerajaan.

Agaknya para pemimpin diajarkan untuk memahami hakikat waktu itu. Maka dalam kitab Niti Sastra, sebuah kitab sastra-filsafat yang secara khusus ditulis untuk para pemimpin (niti) diuraikan secara mendalam dan menarik apa yang disebut zaman Kali, bagian keempat dari tahapan waktu atau zaman (Kali-Yuga). Menurut kitab ini siklus waktu ada empat tahapan disebut Catur Yuga; Kreta, Dwapara, Treta dan Kali. Kali-yuga adalah zaman kehancuran, ketika krisis terjadi dimana-mana. Ciri-ciri zaman Kali menurut kitab tersebut : ketika orang yang berkuasa adalah orang-orang kaya, dan semua lapisan masyarakat mengabdi kepada orang-orang kaya (dhaneswara). "Apabila zaman Kali tiba pada akhir masa, hanya kekayaan yang dihargai orang; kaum pejuang dan pemberani akan mengabdi kepada orang-orang kaya ( guna sura pandita widagdha pada mangayap ing dhaneswara ); semua pelajaran para pandita yang rahasia menjadi hilang, keluarga-keluarga yang baik dan para anak menipu dan mengumpat orang tuanya, orang-orang jahat mendapat penghargaan dan kepandaian ".

Selanjutnya dengan sangat mengesankan disuratkan : " Negara guncang dan diselubungi kebingungan, para pemimpin tidak lagi memberikan sedekah, melainkan disedekahi oleh orang-orang kaya ( ratu hina dina dinananing dhaneswara ). " Sementara itu struktur dan sistem alam menjadi kacau : pohon-pohon cempaka, cendana, nagasari yang harum ditebang untuk memagari pohon-pohon belatung yang berduri dan gatal; angsa, merak dibunuh untuk memanjakan burung gagak dan bangau, burung-burung pemakan daging.

Sungguh mengerikan gambaran yang diberikan terhadap zaman Kali itu, ketika Sang Kala (Mretyu) semakin mengicar manusia. Manusia tidak dapat menghindar dari Dewa Maut itu, karena waktu merupakan tubuhnya ( kala pinakawaknira ), ia memakan semua mahluk hidup yang ada ( sira ta amangan iking sarwabhawa ). Itulah Sang Kala, yang secara simbolik-religius adalah putra Hyang Siwa. Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)

Jumat, 10 Januari 2014

Masa Kinilah Yang Paling Penting.

"Pusatkan perhatianmu pada masa kini. Yang lalu telah lewat. Yang akan datang belum jelas".

Sad Guru.
Iswawa melambangkan hati

"Tridalam trigunakaram
trinetram cha triayudham
trijanma papa samharam
eka bilvam shiva arpanam"

"Kami persembahkan daun bilva rangkap tiga yang melambangkan tubuh dengan ketiga sifatnya (satwa, rajas dan tamas) kepada Shiva yang bermata tiga, yang menyandang trisula dan mampu melenyapkan kumpulan dosa selama tiga kelahiran"

Shiwa dilukiskan sebagai Beliau yang mempunyai mata ketiga. Mata ketiga ini bukan mata jasmani. Ini melambangkan kebijaksanaan dan kewaskitaan. Manusia hanya mempunyai dua mata karena ia hanya dapat melihat masa lalu dan masa kini. Namun Tuhan, juga mengetahui masa yang akan datang. Itulah sebabnya Beliau dilukiskan sebagai memiliki mata ketiga.

Dewasa ini manusia selalu asyik memikirkan masa lalu serta masa depan, dan sama sekali mengabaikan masa kini. Masa kinilah yang paling penting karena masa kini diakibatkan oleh masa lalu dan mengandung benih untuk masa depan. Masa kinilah yang membentuk masa depan. Karena itu, manusia harus memusatkan seluruh perhatiannya pada masa kini, agar ia mempunyai masa depan yang cerah. Masa kini adalah benih yang timbul dari pohon masa lampau. Masa kini juga merupakan benih bagi pohon masa depan. Masa depan manusia terletak pada masa kininya. Manusia dapat menyucikan masa kininya dengan pembicaraan dan pikiran yang baik. Kesucian pembicaraan ditimbulkan oleh kesucian pikiran dan perasaan.

"Anak-anak-Ku terkasih. Mungkin engkau melakukan beberapa kesalahan secara sengaja atau tidak sengaja. Namun tidak baik, jika hal itu terus menerus dipikirkan. Yang telah lampau biarlah berlalu. Lupakan masa lampau. Masa depan tidak pasti. Masa kinilah yang sangat penting. Ini bukan masa kini yang biasa, melainkan yang ada di mana-mana. Karena itu, sekarang berbahagialah" 
Sad Guru
Sumber bacaan Buku Kesehatan & Meditasi Matahari Terbit oleh Gede Arsa Dana.


CHANNEL YOUTUBE SAYA - MOHON DI SUBSCRIBE

Cari Artikel di Blog ini

Berita Terkait Semangat Hindu

Artikel Agama Hindu

108 Mutiara Veda 3 kerangka agama hindu advaita visistadviata dvaita Agama Hindu Dharma agama islam Ajaran Hindu aksara suci om alien menurut hindu Apa yang dimaksud Cuntaka Apa yang dimaksud dengan Japa Apa yang dimaksud dengan Puja arcanam nyasa aris widodo artikel hindu arya dharma Arya Wedakarna Asta Brata Atharvaveda Atman avatara sloka babad Badan Penyiaran Hindu bagian catur weda bahasa jawa kuno bahasa kawi bahasa sanskerta Banggalah Menjadi Hindu banten hindu bali Belajar Hindu BELAJAR ISTILAH AGAMA HINDU bhagavad gita Bhagawadgita bhagawan bhuta yadnya Bimas Hindu BPH Banten brahma wisnu siwa Brahman Atman Aikyam brahmana ksatriya wesia sudra budaya bali budha kliwon sinta Bukan Heroisme buku hindu terpopuler Canakhya Nitisastra cara sembahyang hindu catur asrama Catur Brata Catur Cuntakantaka Catur Purusha Artha Catur Purusharta catur veda Catur Warna Catur Weda Cendekiawan Hindu Cinta Kasih Dalam Perspektif Hindu Dana Punia Deva adalah sinar suci Brahman Deva Brahma Deva Indera dewa dewi hindu dewa yadnya dewata nawa sanga dewi kata-kata dewi saraswati dharma artha kama moksa Dharma Santi dharma wacana Doa Anak Hindu donasi buku hindu epos mahabharata ramayana filosofi pohon bambu filsafat agama hindu ganesha Gayatri Sebagai Mantra Yoga Hari Raya Galungan Hari Raya Kuningan Hari Raya Nyepi Hari Raya Pagerwesi Hari Raya Saraswati Hari Raya Siwaratri HINDU adalah ARYA DHARMA HINDU ADALAH SANATHANA DHARMA HINDU ADALAH VAIDHIKA DHARMA Hindu Agama Terbesar di Dunia Hindu Banten Hindu beribadah di Pura Hindu Festival Hindu Indonesia hindu nusantara Hindu Tengger Hinduism Facts Hinduism the Greatest Religion in the Word Hukum Karma Ida Pedanda sakti isi catur weda Jadilah Manusia Setia Japa dan Mantram Jiwa jual buku hindu kakawin Kamasutra Keagungan Aksara Suci OM Kekawin Lubdhaka kepemimpinan jawa kuna Kerajaan Hindu Keruntuhan Agama Hindu kesadaran diri kidung dewa yadnya Kitab Suci Weda lontar Lontar Kala Maya Tattwa Maharsi Atri Maharsi Bharadvaja Maharsi Gritsamada Maharsi Kanva Maharsi Vamadeva Maharsi Vasistha Maharsi Visvamitra manawa dharma sastra Mantra Mantra Yoga manusa yadnya Meditasi Matahari Terbit Mengapa Kita Beragama menghafal sloka Mimbar Agama Hindu Moksha Motivasi Hindu Mpu Jayaprema nakbalibelog Naskah Dialog Nuur Tirtha Om or Aum one single family opini hindu moderat Panca Sradha panca yadnya Panca Yajna pandita Panglong 14 Tilem Kepitu parahyangan agung jagatkartta paras paros segilik seguluk Pasraman Pasupati Pembagian Kitab Suci Veda Pemuda Hindu Indonesia pendidikan hindu pengertian catur weda Pengertian Cuntaka penyuluh agama hindu Peradah percikan dharma Percikan Dharma Dewa Yajna phdi pinandita Pitra Yadnya Ngaben Pitrapuja potong gigi Principle Beliefs of Hinduism Proud To Be Hindu Puja dan Prathana Pujawali purana purnama tilem Purwaning Tilem Kapitu Radio online Bali rare angon nak bali belog Reinkarnasi Rgveda ritual hindu Roh Rsi yadnya sabuh mas sad darsana sad guru Samaveda sanatana dharma sang hyang pramesti guru Sang Kala Amangkurat Sang Kala Dungulan Sang Kala Galungan Sang Kala Tiga sapta rsi Sapta Timira Sarassamuscaya Sarassamuscaya Sloka sattvam rajah tamah sejarah agama hindu Sekta Hindu Semangat Hindu seni budaya hindu Sex and Hinduism siwa budha waesnawa siwa ratri Sloka sloka bhagawad gita sloka bhatara sloka Rgveda sloka yayurveda Slokantara Sloka Spiritual Bersifat Misterius spiritualitas hindu spma ribek sradha dan bhakti sri rama krishna paramahansa Sri Sathya Sai Baba Sri Svami Sivananda sumpah dalam perkara tabuh gesuri tabuh kreasi baru tabuh telu lelambatan tantri kamandaka tat twam asi tattwa susila upakara Tempat Suci Hindu tiga hubungan harmonis tri hita karana Tri kaya parisudha tri kerangka agama hindu tri mala tri pramana Triji Ratna Permata tujuan perkawinan tujuh penerima wahyu tumimbal lahir upacara hindu upacara menek deha Upanisad upaweda Utsawa Dharma Gita vaidhika dharma Vasudhaiva Kutumbakam VEDA ADALAH ILMU PENGETAHUAN SUCI vedangga Vijaya Dashami Wasudewa Kutumbhakam widhi tatwa wija kasawur wiwaha agama hindu Yajna dan Sraddha yajna dan sradha Yayurveda Yoga Kundalini