Tafsir dalam Hindu (Veda Vedanta) sumber : http://m.mpujayaprema.com/index.php |
Tentang Weda (Veda) Kitab suci umat Hindu adalah Weda. Weda adalah wahyu Tuhan yang diterima oleh Maharsi, Rsi yang (maha) utama. Weda juga sering disebut sebagai Kitab Sruti, artinya kumpulan wahyu yang diterima melalui pendengaran para Maharsi. Juga disebut Kitab Rahasia, karena inti ajarannya adalah menuntun umat untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yakni moksa. Weda juga sering disebut Kitab Mantra – apalagi di Bali – karena kitab ini berisi puji-pujian berupa mantra, baik untuk menjalankan ritual maupun untuk pemenuhan rohani. Sebagai wahyu Tuhan, kapankah Weda itu diturunkan? Ini pun tak pernah ada kejelasan atau ada yang menyimpulkan – sesuatu yang biasa di dalam Hindu tak ada sebuah kesimpulan yang pasti dan satu-satunya kesimpulan. Beberapa sarjana tercatat mempunyai argumentasi tentang kapan Weda dibahyukan:
Memang,jarang sekali diperdebatkan kapan turunnya Weda. Barangkali perdebatan yang tak akan pernah selesai sementara tujuan berdebat pun tak pernah sampai. Yang penting bagi penganut Hindu, Weda diwahyukan dan ada yang menerima wahyu itu. Ada 7 Maharsi penerima Weda. Mereka itu adalah: Maharsi Grtsamada, Maharsi Wiswamitra, Maharsi Wamadewa, Maharsi Atri, Maharsi Bharadwaja, Maharsi Wasistha, Maharsi Kanwa
Diperkirakan Weda ini turun dalam rentang waktu yang panjang dan tidak di satu tempat. Dan yang berjasa mengumpulkan wahyu yang tersebar ini adalah Maharsi Wyasa. Beliaulah yang kemudian memilah-milah disesuaikan dengan fungsinya. Maharsri Wyasa yang juga penyusun Mahabharata, Bhagavadgita dan Brahmasutra ini, memiliki empat asisten untuk memilah Weda. Mereka itu:
Samaveda mempunyai 1.875 mantra, isinya juga puji-pujian dalam melaksanakan yadnya (upacara). Yajurveda mempunyai 1.975 mantra, isinya tentang tuntunan hidup keseharian yang berhubungan dengan masalah duniawi. Atharwaveda mempunyai 5.987 mantram, isinya juga tentang tuntunan kehidupan yang berhubungan dgn masalah duniawi. Untuk mempermudah mempelajari ke empat Weda (Catur Weda) ini para maharsi membuat buku pedoman. Rsi Panini misalnya membuat kitab-kitab yang berhubungan dengan pengetahuan bahasa Sansekerta, seperti kitabSiksa (ilmu phonetika), kitab Wyakarana (ilmu tata bahasa Sansekerta), Nirukta (ilmu etimologi Sansekerta). Lalu ada kitab Kalpasastra (petunjuk tentang upakara agama) dan Jyotistha yang berisi pengetahuan tentang astrologi dan astronomi. Dua kitab terakhir ini erat kaitannya dengan waktu pelaksanaan upacara. Di Bali ilmu ini berkembang demikian pesat yang disebut ilmu wariga, dan berujung pada bagaimana menentukan hari baik dan hari buruk untuk pelaksanaan upacara keagamaan. Keenam kitab di atas karena berisi petunjuk bagaimana mempelajari dalam arti membaca Weda, maka hampir tak ada masalah. Beda dengan kitab-kitab yang berisi cara menerangkan Weda sehingga bisa dijadikan praktek atau pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab-kitab itu disebut kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Semua Weda didampingi kitab-kitab ini. Kitab Brahmana menerangkan bagaimana mempergunakan mantra Weda dalam rangkaian upacara. Aranyaka kemudian menjelaskan bagian-bagian mantra itu. Sedangkan Upanisad berisi petunjuk bagaimana memahami ajaran suci Weda dalam khidupan di dunia ini. Secara garis besar kemudian bisa digolongkan, kitab Brahmana dan Atanyaka sebagai pedoman Karma Kandha (karma=perbuatan, kandha = bagian), yakni bagaimana kita berbuat sesuai dengan Weda. Sedang Upanisad tergolong Jnana Kandha (jnana=ilmu pengetahuan). Di sinilah diatur bagaimana Weda mengajarkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia, apa yang harus dilakukan, apa yang tak boleh dilakukan, apa yang dipantang, dan semua seluk beluk masalah kehidupan manusia. Saking luasnya pembidangan ini, Upanisad terdiri dari 108 kandha (bagian atau kitab) dan di bagian inilah terbuka penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran itu bisa karena “salah membaca” karena tidak dikuasainya kitab Siksa, Wyakarana, Nirukta atau berbeda pemahaman dalam mempelajari Kalpasastra dan Jyotistha. Kitab-kitab yang muncul dari cara menafsirkan Weda ini disebut kitab Smerti (Smrti). Kitab-kitab inilah yang sangat banyak adanya, disusun oleh para rsi yang terkenal pada zamannya seperti Maharsi Manu, Yajnawalkhya, Sanka, Likhita, Parasara. Kitab-kitab itu umumnya berlabel dharmasastra yaitu ajaran tentang dharma menjadi petunjuk tentang kebenaran. Yang terkenal di bawa ke Nusantara ini misalnya Manawadharmasastra, Sarasamuccaya dan lainnya. Sebelum sampai pada masalah penafsiran, inti dari pembahasan kali ini, baik dilengkapi dulu penggolongan kitab-kitab suci yang menunjang Weda. Ada yang disebut kitab Itihasa, ini adalah karya sastra (bisa saja berupa kejadian yang sebenarnya tetapi disastrakan) yang menceritakan tentang kepahlawanan dengan segala lika-likunya. Ada 2 Itihasa yang dianggap “bisa mewakili cara pemahamanWeda untuk kalangan awam dan anak-anak” yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata. Ramayana digubah oleh Maharsi Walmiki terdiri dari 7 kandha (bagian atau buku) dengan 24.000 bait syair. (1) Ayodhya Kandha (kisah kelahiran Rama), (2) Bala Kandha (kisah Rama ketika kanak-kanak), (3) Aranya Kandha(kisah Rama di hutan mengamankan pertapaan Wiswamitra), (4) Kiskinda Kandha (kisah Rama yang diminta bantuan oleh Sugriwa dalam perang saudara melawan Subali, akhirnya Sugriwa menjadi abdi Rama), (5) Sundara Kandha (pembuatan jembatan menuju Alengka), (6) Yuda Kandha (kisah pertempuran Rama melawan Rahwana), dan (7) Utara Kandha (kisah asal-usul leluhur dan keturunan Rama, Sita dan lain-lain). Kitab Mahabharata disusun Maharsi Wyasa terdiri dari 18 Kandha (di sini disebut parwa karena bagian-bagian itu besar dengan banyak sub-bagian. Itu sebabnya di Bali, wayang kulit Mahabharata disebut wayang kulit parwa). Bagiannya: (1) Adiparwa (ini pengantar semua parwa dengan cerita garis besarnya saja), (2) Sabhaparwa (tentang perjudian dan kekalahan pihak Pandawa), (3) Wanaparwa (pembuangan Pandawa ke hutan), (4)Wirataparwa(tentang penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata selama satu tahun), (5) Udyogaparwa (tentang upaya perdamaian yang dipimpin Prabu Kresna), (6) Bhismaparwa (kisah Rsi Bhisma sebagai panglima perang Korawa), (7)Dronaparwa (cerita Rsi Drona sebagai panglima perang Korawa), (8) Karnaparwa (cerita Senopati Karna sebagai panglima perang Korawa), (9) Salyaparwa (tentang Senopati Salya sebagai panglima perang Korawa), (10)Sauptikaparwa (kisah penculikan dan pembunuhan Panca Kumara, putra Pandawa oleh Aswatama), (11) Striparwa (kisah tangisan para istri yang suaminya giugur di medan perang), (12) Santiparwa (tentang nasehat Rsi Kripa dan kawan-kawannya kepada Pandawa), (13) Anusasanaparwa (cerita penobatan cucu Arjuna, Parikesit, sebagai raja keluarga Pandawa), (14) Aswamedaparwa (upacara korban kuda memperluas kerajaan Hastina), (15)Asramawasanaparwa (kisah memasuki Wanaprasta sampai meninggalnya leluhur Pandawa seperti Dewi Kunti, Prabu Drestarasta di hutan), (16) Mausalaparwa (tentang pralayanya – kiamat – keluarga Yadhu dan hancurnya kerajaan Dwarawati), (17) Mahaprasthanikaparwa (tentang meninggalnya Pandawa dan Drupadi, kecuali Dharmawangsa yang langsung masuk sorga), (18) Swargarohanaparwa (tentang kehidupan Pandawa di Sorga). Dari seluruh parwa ini, ada satu parwa yakni Bhismaparwa dianggap istimewa karena di salah satu bagiannya ada wejangan yang penuh muatan filsafat dari Sri Kresna kepada Arjuna di tengah Padang Kurusetra, yang terkenal kemudian dengan nama Bhagawadgita. Kitab BG ini sering disebut sebagai Pancamo Weda, atau Weda yang kelima, meski mengundang polemik sampai sekarang karena: apakah ini bisa digolongkan wahyu Tuhan atau tidak? Sebagian menyebut BG bukan wahyu,jadi bukan kitab suci, namanya saja gubahan Maharsi Wiyasa. Tapi sebagian lain menyebut kitab suci karena posisi Kresna saat itu adalah Awatara. Kelompok fanatik yang menyebutkan BG sebagai kitab suci dan Krishna adalah Tuhan adalah Hare Krishna. Kelompok ini dalam istilah Hindu disebut Sampradaya atau aliran. Selain Itihasa, adakitab-kitab penunjang Weda yang sering disebut-sebut sebagai “cara awal mempelajari Weda”. Kitab itu disebut Purana. Arti harafiah Purana adalah sejarah (di Bali setiap pura ada purananya), yakni cerita tentang sejarah penciptaan bumi ini dan siapa yang berkuasa saat itu. Ada 18 Kitab Purana, yakni (1) Brahmanda Purana, (2) Brahmawaiwarta Purana, (3) Markandeya Purana, (4) Bhawisya Purana, (5) Wamana Purana, (6) Brahma Purana, (7) Wisnu Purana, (8) Narada Purana, (9) Bhagawata Purana, (10) Garuda Purana, (11) Padma Purana, (12) Waraha Purana, (13) Matsya Purana, (14) Kurma Purana, (15) Lingga Purana, (16) Siwa Purana, (17) Skanda Purana, (18) Agni Purana. Masuknya agama Hindu ke Indonesia pada abad 4 tidak membawa serta kitab-kitab itu, apalagi Catur Weda. Yang dibawa adalah kitab-kitab “dibawahnya” seperti Itihasa, Purana, Dharmasastra dan sejenisnya. Ini yang kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa Jawa Kuno (Kawi) sehingga muncullah berbagai jenis lontar (karena ditulis didaun rontal) dan dari sana menyebar ke umat. Demikianlah orang-orang di Nusantara mengenal Kekawin Ramayana, Arjuna Wiwaha (dari kelompok Itihasa), Manawadharmasastra, Sarasamuccaya (dari kelompok Dharmasastra), Brahmanda Purana (kelompok Purana), Argapatra, Wraspati Tatwa, Bhuwanakosa dan banyak lagi dari kelompok pedoman pemujaan dan pelaksanaan upacara. Di manakah Penafsiran Bermasalah? Kitab-kitab yang hanya menuntun bagaimana cara “membaca Weda” tentu tidak bermasalah. Demikian pula kitab Itihasa, Purana, nyaris tanpa masalah, karena itu hanya berupa cerita. Kalau pun ada penafsiran yang bermasalah lantaran menangkap pesan dari sudut yang berbeda, itu bukan masalah besar. Misalnya: Pandawa kalah berjudi sampai dibuang ke hutan. Penafsiran positif: janganlah berjudi karena ternyata berjudi itu akibatnya tidak baik, lihat keluarga Pandawa. Namun penafsiran negatif; judi itu sudah ada sejak dulu kala, Pandawa yang dipimpin Yudistira yang alim saja berjudi. Yang bermasalah adalah kitab-kitab Smerti. Para penafsir, yang merupakan Rsi ternama di zamannya, bisa berbeda cara menafsirkan kata-kata yang indah – sekaligus—misteri dari Weda. Ini menyangkut pemahaman pada kiasan yang bisa berbeda, atau ada missi tertentu dari para Rsi itu – termasuk pula posisi sang Rsi. Kitab Sarasamuccaya yang disusun Bhagawan Wararuci dianggap kontroversial bertahun-tahun yang lalu, ketika pertamakali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kitab yang berisi 511 sloka (ayat) ini berisi pedoman tentang perilaku yang baik atau etika. Diperkirakan disusun pada abad ke-9 – 10, kitab ini ditulis Bhagawan Wararuci dengan dua bahasa yaitu Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Karena itu banyak yang menduga Bhagawan Wararuci lahir di Nusantara karena kitab ini ditemukan dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno dari aslinya, Sansekerta. Kedua bahasa itu dipersandingkan. Namun, tidak ada kepastian bahwa beliau lahir di Nusantara, bisa saja Sarasamuccaya itu datang dari India dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Hal-hal yang anonim itu jamak dalam susastra Hindu di era kerajaan-kerajaan di Jawa. Kitab Sarasamuccaya ini dimaksudkan oleh Wararuci sebagai intisari dari Astadasaparwa (Mahabharata), gubahan Rsi Wiyasa. Sara artinya intisari, sedangkan samuccaya artinya himpunan. Inilah himpunan dari instisari ajaran etika yang ada dalam Astadasaparwa. Karena kitab ini intisari dari Ithihasa Mahabharata, sementara Mahabharata adalah “kisah kepahlawanan” untuk memahami Weda lebih lanjut, maka tak mudah menemukan di mana sloka-sloka Sarasamuccaya ini ada dalam Weda. Pertamakali kitab ini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh I Nyoman Kajeng dkk. Kitab yang slokanya indah ini ternyata beberapa ayat di bagian akhirnya, ketika membahas soal wanita, menjadi kontroversi. Itu lantaran disebutkan wanita hanya menjadi pengumbar nafsu seks, dan wanita menjadi perusak keluarga karena tak bisa menahan birahinya. Kesimpulannya: hindarilah wanita. I Nyoman Kajeng (kini telah tiada) menerjemahkan Sarasamuccaya bukan dari bahasa Sansekerta, beliau tak paham bahasa itu. Staf di Gedung Kirtya Singaraja ini menerjemahkan Sarasamuccaya dari buku Prof. Dr. Raghu Vira, Ph.D pada tahun 1959. Kajeng menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari sloka Jawa Kuno, dan karena itu dia menyebut kemungkinan banyak yang janggal. Ya, kejanggalan ini, bisa jadi pula termasuk sloka/ayat yang kontroversi soal wanita itu. Sarasamuccaya terjemahan Nyoman Kajeng ini kembali diterbitkan tahun 1997 dengan catatan penutup dari Parisada Hindu Dharma. Isi catatan itu adalah wanita yang dimaksudkan dalam sloka yang bermasalah itu adalah untuk seseorang yang memang tak boleh berhubungan dengan wanita, seperti yang memilih hidup Sukla Brahmacari, misalnya, Brahmacari, Sannyasi, pertapa, pendeta. Bagi orang-orang seperti inilah tujuan sloka itu. Nah dengan menggolongkan kitab ini hanya untuk kaum Sukla Brahmacari, maka masuk akallah jika wanita itu harus dijauhi atau dihindari. Belakangan, seorang ahli Sansekerta Tjok Rai Sudharta, menerjemahkan Sarasamuccaya ke dalam bahasa Indonesia langsung dari bahasa Sansekerta. Tjok menyebutkan kitab ini untuk semua golongan usia, bukan hanya untuk kaum Sukla Brahmacari. Tjok Rai Sudharta menyebutkan, yang dimaksudkan oleh Wararuci tentang wanita dalam buku ini adalah wanita nakal. Karena itu wanita nakal harus dihindari, bukan semua wanita dihindari. Di era internet belakangan ini (sekitar tahun lalu) muncul web anonim dalam bahasa Indonesia yang membuat terjemahan Sarasamuccaya. Terjemahan lumayan bagus. Dalam ayat-ayat tentang wanita, terjemahan ini menyebutkan “wanita jalang”, bahkan di setiap kata wanita jalang ada garis miring kata “lelaki hidung belang”. Yang mau dikatakan oleh penerjemah moderen ini adalah, Sarasamuccaya selain baik untuk pelajaran etika bagi semua golongan usia, juga baik untuk wanita. Karena kata wanita dalam Sarasamuccaya haruslah diartikan semua orang yang jalang atau binal, baik ia wanita maupun lelaki. Saya kutip satu sloka, ayat 428 Bahasa Sansekerta Nasam kascidagamyo’sti nasam wayasi niscayah, Wirupam wa surupam wa pumanityewa bhunjate Terjemahan Kajeng dkk Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita, tidak patut aku pergi ke situ, sebab keadaanku begini, akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati, tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu, sebaliknya dia pergi saja dan ia tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda atau pun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk. Ah, laki-laki ini, demikian saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang. Terjemahan Tjok Rai Sudarta Bagi seorang perempuan nakal, tidak ada yang tidak boleh didatanginya. Ia akan langsung menuju sasarannya dan ia tidak peduli apakah itu orang tua, apa orang muda. Tidak peduli dia apakah orang itu tampan atau jelek rupanya. “Ia adalah laki-laki” hanya itu yang dipikirkannya ketika perempuan nakal itu ada dalam gejolak nafsunya. Terjemahan era internet Tidak ada yang menjadi pantangan bagi wanita jalang/lelaki hidung belang, ia tidak membedakan apakah orang tua ataukah bocah, jika nafsu birahinya datang semua orang digoda dan diajak melakukan senggama. Tafsir Weda di kitab terjemahan Al Quran Ada contoh menarik lagi. Pada kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan Departemen Agama, ada dikutip kitab Weda, walau hanya beberapa baris. Kutipan itu ada di Bab Dua yang bertajuk Nabi Muhamad S.A.W pada point (b) berjudul: Kitab Weda adalah kitab untuk sesuatu golongan berisi pernyataan sebagai berikut: Di antara pengikut-pengikut Weda, maka membaca kitab Weda itu menjadi hak yang khusus bagi kasta yang tinggi saja. Demikianlah maka Gotama Risyi berkata: “Apabila seorang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya, apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Weda, maka raja harus memotong badannya. (Gotama Smrti 4). Siapa Gotama Risyi? Tak begitu dikenal, bahkan jika pun nama ini misalnya salah dan yang benar adalah Rsi Gotama, juga tak dikenal di kalangan para penulis Smrti. Karena itu pula kitab Gotama Smrti yang dikutip dalam terjemahan Al Quran ini tak jelas memuat soal apa saja, di luar teks yang dikutip. Dalam Weda tak pernah satu pun ada mantra yang menyebut soal kasta. Jika dihubungkan dengan istilah Sudra, Brahmana dan lainnya, itu ada di dalam ajaran Catur Warna, empat jabatan fungsional dalam masyarakat, yaitu Sudra, Wesya, Kesatria dan Brahmana. Ayat tentang “warna” ini ada banyak di dalam Weda. Sudra adalah awal kehidupan seorang manusia, dan ketika orang itu belajar dan memanfaatkan ilmunya untuk melaksanakan fungsi sosial di masyarakat, ia bisa menjadi Wesya atau pun Kesatria. Wesya fungsi sosial yang bergerak di bidang ekonomi dan secara gampang disebut pedagang, atau mungkin lebih tepatnya swasta. Sedang Kesatria melaksanakan pengabdiannya di pemerintahan, atau sebut gampangnya pegawai negeri. Jika seorang Sudra itu tak memperbaiki kualitas pribadinya lalu mencari penghasilan dengan mengandalkan tenaga ototnya semata, maka ia tetap saja Sudra. Sedangkan Brahmana adalah fungsi sosial orang yang sudah lanjut – ia tak lagi mencari uang untuk menghidupi keluarganya karena ditopang oleh keturunannya – dan itu bisa ditempuh dari jalur Sudra, Wesya, Kesatria. Brahmana lah orang yang sepenuhnya menekuni Weda, terutama mempraktekkan mantra-mantra Weda untuk kepentingan ritual, puja-puji kepada Tuhan Yang Esa. Nah, dalam proses belajar menjadi seorang Brahmana inilah ada berbagai ketentuan dimuat dalam Weda. Misalnya, jika mendengar ada orang yang membaca Weda, seorang Sudra (atau siapa pun) harus konsentrasi penuh. Semua suara-suara di luar pembacaan Weda itu harus dihindari, jika perlu telinga ditutup dengan timah, sehingga hanya pembacaan Weda saja yang didengar. Kemudian kalau hasrat itu meningkat dan tidak puas hanya dari mendengar, lalu mencoba membaca sendiri Weda, seorang Sudra (atau siapapun) harus “dipotong lidah”nya. Ini simbolis, bukannya lidah dipotong tetapi ditulisi aksara suci oleh sang guru, yang secara kasat mata kelihatan seperti diiris-iris (istilah di Bali: dirajah). Proses ini sampai sekarang diteruskan, di Indonesiadisebut mewinten dan di India disebut upayana. Seseorang harus mengikuti ritual ini untuk pertamakalinya jika belajar Weda denganmembaca Weda secara langsung. Kalau terus lagi mempelajari Weda karena ingin tuntas menjadi Brahmana sejati, maka sang guru Nabe “memotong badan” sang Sudra (arau siapapun) dengan cara simbolis. Upacara ini disebut seda raga (ritual kematian) dan beberapa saat ritual itu dinyatakan lahir kembali untuk kedua kalinya (dwijati). Pada kelahiran kedua inilah orang tersebut baru menjadi Brahmana. Bagaimana mungkin Gotama Risyi melahirkan pernyataan yang jauh bedadari penafsiran yang umum? Mungkin ada kendala bahasa, atau ada tujuan politis, atau Gotama terpancing dengan perbedaan kelas yang memang terjadi di India dan dia kebetulan dari kasta yang tinggi. Ini pun masih dipertanyakan mengingat jumlah kasta di India banyak sekali, tidak cuma empat. Hampir setiap profesi mengikatkan diri dengan membentuk kasta, misalnya, ada kasta untuk kaum pengrajin gerabah. Sudra di pedalaman India bukanlah yang terendah karena ada lagi kasta Paria. Tetapi yang lebih mengherankan orang Hindu termasuk saya adalah apa relevansinya kitab “Al Quran dan Terjemahannya” yang diterbitkan proyek Departemen Agama harus mengutip kitab Smerti yang kontroversial itu. Apa yang mau diinformasikan kepada pembaca muslim, pengguna Al Quran? Boleh dikatakan dalam kasus Gotama Risyi ini,tafirnya bisa digolongkan salah menerjemahkan keindahan kata Weda. Begitu banyak soal Catur Warna ini ada disebutkan dalam Weda, ssalah satu saya kutip: Yathenam wacam kalyanim, awadai jnebhyah Brahmana Rajanyabhyam Cudra ya caryaya ca Swaya carana ca (Yajurweda XXV.2) Terjemahannya: Biar kuajarkan pengetahuan suci ini, kepada orang banyak. Kaum Brahmana, Kesatria, Sudra dan Waisya. Dan bahkan kepada orang asing sekalipun. Di sini jelas semua orang bisa mempelajari Weda, termasuk kelompok Sudra, bahkan kepada orang asing, yang ditafsirkan sebagai orang yang bukan penganut Hindu. Jadi Weda bukan kitab untuk satu golongan. Sloka ini sering dijadikan pembenar pula bahwa agama Hindu sebenarnya juga agama missi, menangkis anggapan orang tua Bali di masa lalu yang menyebutkan, Hindu tidak mencari pengikut tetapi mereka datang sendiri. Di kitab-kitab “turunan” Weda pun soal Catur Warna sering disebut, termasuk di dalam kitab Bhagawadgita. Salah satunya BG IV. 13 berbunyi: Chatur varnyam maya srishtam, guna karma vibhagasah Tasya kartaram api mam, viddhy akartaram avyayam Terjemahan Nyoman S Pendit: Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja. Tetapi ketahuilah walau pencitanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku. Terjemahan Mohan MS:Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuaidengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja).Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapiketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat). Ini ulasan Mohan MS: Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra. Sistim varna ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orangorang luar. Tapi Mohan MS juga berbeda menafsirkan salah satu ayat BG dibandigkan penerjemah BG lainnya. Satu contoh tafsir yang berbeda itu, misalnya, Bhagawad Gita Percakapan 4 ayat 11 (BG IV.11), berbunyi: Ye yatha mam prapadyante Tams tathai ‘va bhajamy aham Terjemahan Nyoman S Pendit Jalan manapun ditempuh manusia ke arah Ku, semuanya Kuterima Dari mana-mana semua mereka, menuju jalanKu, oh Partha Terjemahan Mohan MS (dipakai dalamweb resmi PHDI) Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna! Nah, apa pengertian jalan itu? Para penerjemah Weda seperti Ida Bagus Puja, Prof. Dr Mantra, Nyoman S. Pendit dan lainnya lagi, mengartikan jalan itu sebagai “jalan karma” atau “Karma Yogya” dan “jalan ilmu pengetahuan” atau “Jnana Karma”. Apapun yang dipilih, apakah memuja Tuhan lewat kerja atau memuja Tuhan lewat ilmu pengetahuan, semuanya diterima, karena semua jalan itu menuju ke arah Tuhan. Penafsiran yang lebih liar lagi adalah orang bisa memuja Tuhan dengan tekun melakukan pekerjaan tanpa pamrih – misalnya mengajar di tempat terpencil mencerdaskan orang-orang padahal tak pernah sembahyang – atau orang bisa mengerjakan berbagai sesajen untuk dihaturkan kepada Tuhan dalam suatu persembahan yang kasat mata. Semua diterima Tuhan. Penafsiran seperti ini didasarkan pula pada urutan-urutan sloka BG itu, di mana sebelumnya Krishna banyak memberikan wejangan kepada Arjuna tentang berbagai jalan yang bisa digunakan untuk sampai pada-Nya, termasuk Karma Yoga dan Jnana Yogya. Tetapi seorang guru spiritual seperti Mohan MS – beliau keturunan India tetapi sangat membaur dengan masyarakat pedesaan – menafsirkan lain. Jalan itu adalah agama atau keyakinan. Jadi, agama atau keyakinan apapun yang dipeluk manusia, tujuannya sama saja, menyembah Tuhan. Saya kutip penafsiran Mohan MS yang lengkap dari sloka ini: Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untukmencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yangdiinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan ituberdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan ituakan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakanoleh Sang Kreshna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu kearahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salahmengartikannya. Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang MahaEsa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dantidak ada alasan lain untuk mengubah atau mempengaruhi orang yangberagama atau berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. SeorangHindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempatpemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuanyang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa. Konon, ayat ini gencar digunakan oleh kalangan missionaris di Bali di tahun-tahun 1960-1970an – ketika penafsiran BG belum banyak beredar – sehingga umat Hindu banyak beralih agama pasca meletusnya Gunung Agung yang menimbulkan penderitaan hebat di Bali. Jika digunakan kata-kata sederhana, bentuknya seperti ini: “sudahlah untuk apa beragama Hindu yang ruwet, pindah ke agama lain yang lebih simple saja, toh kitab suci Hindu membolehkan semuanya itu, agama itu hanya jalan saja.” Penafsiran di akar rumput Sejatinya, perbedaan penafsiran seperti contoh tadi, hampir tak punya pengaruh di kalangan masyarakat Hindu pedesaan, katakanlah kaum yang “tidak terbiasa mempelajari tatwa agama”. Dalam agama Hindu dikenal tiga kerangka dasar: tatwa, susila, acara. Tatwa adalah memahami ajaran-ajaran agama, susila adalah perilaku yang baik sebagai ciri memeluk agama, acara adalah rangkaian ritual. Penafsiran tadi (contoh dari Gotama Risyi, Mohan MS) termasuk dalam ranah tatwa, terlalu “akademis” dan diawang-awang bagi masyarakat pedesaan. Karena itu, betapa pun simpang siurnya, tak berpengaruh besar. Lain hal kalau beda penafsiran di tataran acara atau ritual. Ini pasti jadi masalah. Lalu bagaimana umat Hindu di Nusantara ini, khususnya di Bali memecahkan masalahnya? Parisada dan pemerintah Bali pernah melahirkan lembaga penafsir dengan menghimpun wakil-wakil Parisada di semua kabupaten dan tokoh-tokoh yang dianggap layak mempunyai ilmu dalam bidang agama. Maka lahirnya lembaga yang disebut Lembaga Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Lembaga ini menyelenggarakan seminar yang beruntun untuk memecahkan persoalan yang sudah dihimpun sebelumnya. Sekitar lima tahun bekerja (1973-1978) – tentu tidak sepanjang waktu – dengan 14 kali mengadakan seminar, menghasilkan 39 kesatuan tafsir dari berbagai masalah. Ada yang menyangkut tentang pedoman hari raya keagamaan, alat-alat upacara, tata busana bersembahyang, jenis dan bentuk pura dan sebagainya. Bahkan sampai diatur bagaimana seorang sulinggih atau pendeta, misalnya, disarankan tak menyetir mobil karena takut terjadi pelanggaran lalulintas, pendeta tidak etis diadili. Tapi tak semua kesatuan tafsir ini dipatuhi masyarakat, pro dan kontra tetap saja terjadi. Namun Parisada dan Pemda Bali tetap ngotot melanjutkan kerja Lembaga ini pada tahun anggaran 1988/1989, setelah 10 tahun absen. Pada seminar ke XV itu hanya dibahas 2 hal yakni Upacara Nuntun Dewa Hyang (menuntun roh yang sudah suci setelah upacara Ngaben, di mana ditempatkan) dan Tata Cara Membangun Perumahan. Kedua hal ini dianggap mendesak, terutama ketika lahan perumahan semakin sempit di perkotaan bagaimana membangun rumah yang bertingkat.Di mana meletakkan tempat suci dan sebagainya. Lagi-lagi hasil seminar kesatuan tafsir ini tak begitu diperhatikan, tetapi juga tak menimbulkan kehebohan. Masyarakat tetap dengan “kearifannya sendiri” tentu dengan dukungan para pendeta Hindu yang memang sulit sepakat untuk berbagai masalah – selalu ada perbedaan di sana-sini. Dan itulah akhir dari tugas lembaga Kesatuan Tafsir itu, karena setelah 1989, lembaga itu bubar dengan sendirinya. Lalu siapa yang mengambil alih penafsiran itu? Tugas itu dibebankan kepada PHDI Pusat, karena majelis ini dianggap lebih berwewenang menafsirkan Weda dan sifatnya nasional (bukan Bali sentris) sehingga bisa diberlakukan secara nasional di seluruh Indonesia. Nah, PHDI menugaskan Sabha Walaka (himpunan para pemikir Hindu yang bukan pendeta), sebuah lembaga resmi dalam PHDI untuk menyusun apa-apa yang perlu “disatukan tafsirnya”. Kemudian setiap tahun dalam Pesamuan Agung (semacam Rakernas) hal itu dibahas bersama Sabha Pandita (himpunan para pendeta Hindu). Kalau yang dibahas memenui syarat dan memang penting “disatukan tafsirnya” lahirlah apa yang disebut Bhisama (semacam fatwa di Islam). Jadi, bhisama itu jauh lebih kuat dari hanya sekedar hasil Seminar Kesatuan Tafsir. Sudah banyak bhisama yang dilahirkan PHDI, dari yang tidak berani dibahas Seminar Kesatuan Tafsir seperti soal Kasta dalam Hindu, sampai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan seperti Bhisama Kesucian Pura. Juga ada Bhisama Soal Tabuh Rah dan Bhisama Tentang Dana Punia. Para pendeta dalam melahirkan bhisama itu sangat berpijak pada Weda, dan kupasan itu memakan energi yang luar biasa. Misalnya ketika membicarakan bagaimana kasta itu tak ada dalam Hindu dan justru bertentangan dengan ajaran Hindu, yang dibahas adalah soal Catur Warna, sehingga namanya juga Bhisama Tentang Catur Warna. Begitu pula ketika menyasar soal haramnya sabungan ayam (tajen) yang dibahas bukan sabungan ayamnya, tetapi Tabuh Rah (upacara memercikkan darah hewan) yang selama ini dianggap sebagai pembenar adanya sabungan ayam. Ini untuk menghindari kesan PHDI mengurusi hal-hal yang bukan agama, seperti mengurusi kasta dan sabungan ayam. Apakah bhisama ini serta merta dipatuhi umat Hindu? Tidak juga. Bhisama Tentang Dana Punia meskipun sudah lahir tahun 2002, tetap saja sulit dilaksanakan. Dalam bhisama ini disebutkan antara lain, umat Hindu wajib menyetorkan dana punia sebesar 2,5 % dari pendapatan bersih (maksudnya setelah dipotong pajak dan kewajiban pada negara). Sepuluh tahun sudah berjalan, PHDI tetap merasa sulit menerapkan bhisama itu. Hanya masalah Kasta yang lebih diikuti, itu pun sebenarnya sulit disebut karena bhisama, tetapi lebih pada kesadaran orang Bali yang tak mau lagi dikelas-kelaskan sesuai keturunan. Apalagi organisasi yang berlabel keturunan ini makin eksis dan mereka berlomba-lomba mendidik para Brahmana, pendeta Hindu, suatu hal yang di masa lalu kelas Brahmana ini dimonopoli golongan (atau tepatnya keturunan) tertentu. Om a no bhaadrah kratavo yantu visvato, semoga pikiran yang baik datang dari segala arah. (Makalah ini dibacakan pada Kuliah Tafsir di Komunitas Salihara Jakarta, pada 1 Desember 2012) Marilah Membaca tentang Kebenaran yang sejati , kunjungi website resmi Mpu Jayaprema yang kita sucikan klik http://m.mpujayaprema.com/index.php |
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan