Satyam Eva Jayate |
KASTA BALI. Bila kita bicara tentang 'warna' istilah yang dikenal dalam kitab-kitab suci Hindu, atau 'kasta' (caste) istilah yang berasal dari bahasa Portugis, kita membayangkan seolah-olah orang-orang Hindu ditempatkan dalam kotak-kotak kedap air yang disusun bertingkat. Sebuah pelapisan sosial yang statis dan beku, berbeda dengan pelapisan sosial masyarakat modern yang dinamis dan cair.
Apakah kenyataannya memang demikian? Berikut ini disampaikan beberapa penafsiran mengenai makna 'warna' atau kasta untuk menunjukkan bahwa 'warna' bukanlah suatu yang mati, yang tidak bisa ditawar-tawar, bahwa 'warna' sebetulnya ' subject to ' makna yang diberikan oleh para penafsirnya, yaitu kita sendiri.
- Mahabarata, dalam salah satu sarganya menyatakan bahwa pada awalnya semua brahmana, karena pekerjaan timbul 'warna' berbeda.
- Guru Gobind Singh, Guru ke 10 dari negara Sikh (1666-1708) menggabungkan keempat kasta jadi satu dan disebut 'Singha' - Ksatrya.
- M.K. Gandhi mengatakan India dibawah jajahan Inggris : Sudra
Sejarah India menunjukkan bahwa 'warna' bukanlah kotak-kotak kedap air. Beberapa dinasti terkemuka bukanlah dari kasta Ksatriya. Dinasti Nanda adalah Sudra; Sunga adalah Brahmana; Gupta adalah Waisya, Wataka Brahmana yang menjalin hubungan perkawinan dengan Gupta. Rastrakuta adalah Ksatriya. Bali juga demikian. Raja-raja Badung dan Tabanan mulanya adalah Ksatriya kemudian diturunkan menjadi Waisya. Raja Karangasem yang semula adalah Waisya mengangkat dirinya menjadi Ksatriya pada waktu kejatuhan Klungkung ke tangan Belanda. Baca artikel tentang Brahmana Ksatriya Waisya Sudra
"Gelar-gelar" soroh yang ada sekarang dibuat pada abad 15-19. Siapa yang menentukan memberikan gelar-gelar itu? Raja-raja berdasarkan jasa atau kesalahan dari seseorang terhadap raja (Dewa, Ngakan, Sang, Gusti, Gusi, Si). Sang Patriak sendiri, memberi gelar kepada 'anak-anaknya' seperti yang dilakukan oleh Pedanda Sakti Wau Rauh. Pedanda Sakti Wau Rauh atau Dang Hyang Nirartha, leluhur para Brahmana di Bali, memberikan peringkat kepada anak-anaknya berdasarkan golongan dari mana istri-istrinya berasal. Pemerintah Belanda menciptakan gelar, Anak Agung untuk raja-raja Gianyar, Bangli dan Karangasem, Cokorda untuk raja Badung dan Tabanan, Ubud dan Payangan. Raja Klungkung, raja dari seluruh raja Bali bergelar Dewa Agung. Tapi sekarang seluruh keturunan raja Klungkung memakai gelar Cokorda.
Sumber bacaan buku Hindu Akan Ada Selamanya oleh Ngakan Made Madrasuta. (RANBB)