Belajar Hindu.
Apakah wija sama dengan Bhasma ?. Kadangkala antara Wija / Bija dan Bhasma itu pengertiannya rancu. Wija dibuat dari beras sedangkan Bhasma dibuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat.
Kemudian hasil gosokan (asaban) ini diendapkan. Inilah bahan Bhasma. Kata Bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "Bhas" dalam kata Bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannya juga berbeda. Kalau Wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus Walaka, sedangkan Bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian Bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa ( Siwa Bhasma ), di samping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya ( Bhasma sesa ).
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dalam suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunir atau kunyit (Curcurma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah Bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiva-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuh-kembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang penting di dua tempat, yaitu; pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa Wija disamping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Sumber bacaan buku Hindu Menjawab 2 Susila dan Upakara, Ngakan Made Madrasuta. (RANBB)
Apakah wija sama dengan Bhasma ?. Kadangkala antara Wija / Bija dan Bhasma itu pengertiannya rancu. Wija dibuat dari beras sedangkan Bhasma dibuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat.
Kemudian hasil gosokan (asaban) ini diendapkan. Inilah bahan Bhasma. Kata Bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "Bhas" dalam kata Bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannya juga berbeda. Kalau Wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus Walaka, sedangkan Bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian Bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa ( Siwa Bhasma ), di samping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya ( Bhasma sesa ).
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dalam suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunir atau kunyit (Curcurma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah Bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiva-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuh-kembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang penting di dua tempat, yaitu; pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa Wija disamping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Sumber bacaan buku Hindu Menjawab 2 Susila dan Upakara, Ngakan Made Madrasuta. (RANBB)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan