Pertahankan Pura sebagai Kawasan Suci.
Pura sebagai kawasan suci memegang peranan penting dalam konteks hubungan spiritual umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Keberadaan Pura di Bali yang jumlahnya sangat banyak sehingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura. Sebagai tempat suci yang disakralkan, terdapat banyak aturan atau pantangan yang memang harus diikuti, baik oleh krama Hindu dalam melakukan persembahyangan, wisatawan yang berkunjung atau para penggiat ekonomi seperti para pedagang. Aturan itu dimaksudkan agar Pura memiliki radius tertentu sehingga tidak sembarang orang bisa masuk di luar kepentingan persembahyangan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut. Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan. Apalagi banyak pura di Bali sudah dijadikan destinasi kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Melihat kenyataan di lapangan demikian bebasnya wisatawan yang berkunjung ke pura, misalnya wisatawan sampai masuk ke jeroan, padahal ada umat Hindu yang sedang bersembahyang, sebaiknya aturan berwisata ke Pura dikaji lagi. Wisatawan diizinkan berkunjung ke Pura hanya sampai di jaba tengah.
Selain wisatawa, perlu juga mendapatkan perhatian serius adalah keberadaan pedagang-pedagang kaki lima yang hilir mudik sampai pelataran Pura. Apalagi diketahui banyak pedagang non-Hindu seenaknya keluar masuk areal Pura. Hal ini, selain terkesan mengganggu juga kebanyakan pedagang tersebut tidak mengindahkan aturan yang ada. Karena itu perlu dikaji ulang kebijakan yang membebaskan wisatawan berkunjung ke Pura, agar tidak mengganggu kesakralan Pura dan konsentrasi umat yang bersembahyang terjaga.
Perlu juga dibuatkan radius/jarak untuk memisahkan kegiatan persembahyangan dengan kegiatan perekonomian penunjang pariwisata. Sehingga, fungsi awal Pura sebagai kawasan suci umat Hindu kembali terwujud, karena banyak juga pihak-pihak luar ingin mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan Pura sebagai lahan bisnis pariwisata yang potensinya cukup menjanjikan.
Menjadi tanggung jawab umat Hindu untuk menjaga keberadaan kawasan suci. Menjaga kesakralan Pura merupakan harga mati yang mesti dipertahankan. Pura adalah kawasan spiritualitas bukan untuk kepentingan komersial berbasis profit.
Sumber : I Gusti Bagus Usada (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta Bali)
http://www.balipost.co.id
-->
Pura sebagai kawasan suci memegang peranan penting dalam konteks hubungan spiritual umat Hindu dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Keberadaan Pura di Bali yang jumlahnya sangat banyak sehingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura. Sebagai tempat suci yang disakralkan, terdapat banyak aturan atau pantangan yang memang harus diikuti, baik oleh krama Hindu dalam melakukan persembahyangan, wisatawan yang berkunjung atau para penggiat ekonomi seperti para pedagang. Aturan itu dimaksudkan agar Pura memiliki radius tertentu sehingga tidak sembarang orang bisa masuk di luar kepentingan persembahyangan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut. Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan. Apalagi banyak pura di Bali sudah dijadikan destinasi kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Melihat kenyataan di lapangan demikian bebasnya wisatawan yang berkunjung ke pura, misalnya wisatawan sampai masuk ke jeroan, padahal ada umat Hindu yang sedang bersembahyang, sebaiknya aturan berwisata ke Pura dikaji lagi. Wisatawan diizinkan berkunjung ke Pura hanya sampai di jaba tengah.
Selain wisatawa, perlu juga mendapatkan perhatian serius adalah keberadaan pedagang-pedagang kaki lima yang hilir mudik sampai pelataran Pura. Apalagi diketahui banyak pedagang non-Hindu seenaknya keluar masuk areal Pura. Hal ini, selain terkesan mengganggu juga kebanyakan pedagang tersebut tidak mengindahkan aturan yang ada. Karena itu perlu dikaji ulang kebijakan yang membebaskan wisatawan berkunjung ke Pura, agar tidak mengganggu kesakralan Pura dan konsentrasi umat yang bersembahyang terjaga.
Perlu juga dibuatkan radius/jarak untuk memisahkan kegiatan persembahyangan dengan kegiatan perekonomian penunjang pariwisata. Sehingga, fungsi awal Pura sebagai kawasan suci umat Hindu kembali terwujud, karena banyak juga pihak-pihak luar ingin mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan Pura sebagai lahan bisnis pariwisata yang potensinya cukup menjanjikan.
Menjadi tanggung jawab umat Hindu untuk menjaga keberadaan kawasan suci. Menjaga kesakralan Pura merupakan harga mati yang mesti dipertahankan. Pura adalah kawasan spiritualitas bukan untuk kepentingan komersial berbasis profit.
Sumber : I Gusti Bagus Usada (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta Bali)
http://www.balipost.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan