Gadis Penari Bali |
Karena itu banyak orang berpendapat, peristiwa adat dan agama di Bali itu sendiri sudah merupakan peristiwa kesenian yang sangat unik. Kata mereka lagi, hanya kalau melarang kegiatan keagamaan saja yang sanggup membuat kesenian Bali musnah. Ini sama saja artinya dengan seni di Bali itu akan macet total kalau adat dan agama lumpuh. Tentu, ini suatu hal yang sulit terjadi, mustahil.
Tapi tak banyan orang yang bertanya-tanya, mengapa kegiatan adat dan agama di Bali membutuhkan kesenian? Kalau toh ada yang berkomentar, pendapat itu adalah, karena seni merupakan persembahan kepada Sang Hyang Pencipta. Namun, begitu banyak upacara adat dan agama bagi orang Bali yang ternyata membutuhkan pertunjukan dan peristiwa kesenian. Orang meninggal harus diantar oleh kidung dan gamelan angklung. Upacara ngotonin harus disertai pertunjukan wayang kulit. Orang kawin senang sekali kalau disemarakkan dengan gamelan semara pengulingan. Wayang, angklung, kidung, semara pengulingan, memang sebuah persembahan, namun ia juga punya makna "demi seseorang". Untuk itu mengantar roh, untuk bayar kaul, untuk kesemarakan. Bukanlah ini berarti justru kegiatan ritual untuk manusia juga menyebabkan kesenian tumbuh subur? Lalu, mengapa upacara untuk manusia mesti ada bunyi kulkul (kentongan), gending dan suara gamelan?
Panca bunyi itu hampir selalu komplet kita dapatkan kalau ada upacara pitra yadnya ngaben. Pasti selalu ada puja-puja pendeta berupa mantra dan genta, gamelan kelentangan atau angklung, kidung-kidung mengantar roh ke kedituan (alam sana), dan suara kulkul pemberitahuan untuk krama banjar. (Baca Alam Setelah Kematian)
Untuk upacara perkawinan, ngotonin, menek bajang (akil balik), bunyi kulkul sangat jarang kita dengar menyertainya. Tapi menurut orang Bali pula, keluarga-keluarga berada, keluarga puri, dan keluargayang memegang teguh tradisi, selalu ingin tampil lengkap dengan panca bunyi itu. Untuk upacara balita seperti ngotonin, memang keluarga itu tak memukul kulkul balai banjar, karena biasanya cukup memberi tahu keluarga atau tetangga dekat saja.Namun keluarga itu biasanya membuat kulkul kecil dan dipukul sendiri dirumah.
Panca bunyi itulah yang menyebabkan upacara adat dan agama untuk orang Bali selalu menghadirkan kesenian. Seni pertunjukan mendapat tempat dan waktu untuk tampil. Tentu penampilan ini dilakoni oleh keluarga-keluarga berada, oleh orang-orang yang punya cukup uang buat menggelar seni pertunjukan.
Hal ini memang baru sebatas teori, pendapat ini tidak mengada-ngada, tidak mencari-cari, dan masuk akal. Sehingga orang yang mendengarkannya bisa dibuat manggut-manggut dan bergumam, "Ya, ya, yaaaa..."
Tapi ternyata orang Bali yang melaksanakan upacara adat lengkap dengan Panca bunyi tak banyak jumlahnya. Ngotonin misalnya, lebih menekannya pada sesaji dibandingkan pertunjukan dan hentakan gamelan. Karena itu orang selalu saja menggugat teori ini, dan menganggap banyak kelemahan. Misalnya, mengapa dikatakan panca bunyi, tidak sapta, sanga atau dasa bunyi ?
Kalau digugat tak apa-apa, toh ini sebuah teori. Yang penting ada jawaban baru dari pertanyaan; mengapa orang Bali sangat lengket dengan kesenian? Begitu dekat dengan bunyi? Sumber bacaan buku Basa Basi Bali Gde Aryantha Soethama. (RANBB)