MAHA SIWA RATRI.
Berikut saya kutipkan sepotong isi Siwa Purana yang bermuatan tentang asal muasal malam pemujaan kepada Dewa Siwa.
Dipanggil dengan sebutan ”nak”, dewa Brahma merasa tidak puas, sehingga terjadilah perdebatan sengit, sehingga mengarah kepada pertikaian. Peristiwa tersebut berlangsung terus, hingga jangka waktu lama.
Pada awal penciptaan, semesta ini suniya, yang ada hanya Brahman. Brahman yang diluar jangkauan pikiran, oleh para sidhaatma, para sadhu diungkapkan dengan ”neti-neti”, bukan ini bukan itu.
Berikutnya nampak air dimana-mana dan diatas lautan yang maha luas berbaring Dewa Wisnu dengan sangat santainya. Disatu tempat Dewa Brahma mengadakan perjalanan sambil mencari informasi siapakah dirinya, dari mana asalnya.
Dalam kebingungan tersebut Dewa Brahma bertemu dengan dewa Wisnu, yang bertangan empat bersenjatakan cakra sudarsana, sankha, gada dan padma. Dewa Brahma bertanyakepada Dewa Wisnu ” Siapakah anda gerangan, berada ditempat ini? Dewa Wisnu menjawab, ”Nak kamu adalah ciptaanku”.
Suatu malam hari yang gelap gulita tiba-tiba muncul balok cahaya cemerlang dengan ukuran besar dan sangat panjang. Kemunculan cahaya yang terang benderang tersebut membuat kedua dewa yang sedang bersitegang, menjadi terperangah.
Dewa Wisnu berprakarsa mengajak Dewa Brahma berhenti bersitegang, bersama-sama mencari tahu siapa atau apa sesungguhnya cahaya cemerlang tersebut. Yang lebih dulu mendapatkan informasi adalah pemenangnya. Mereka sepakat dan Dewa Wisnu mengambil wujud seekor angsa melesat keatas, Dewa Brahma mengambil wujud seekor babi menukik kebawah. Ribuan tahun berlalu, namun keduanya belum menemukan ujung atau pangkal cahaya tersebut, sehingga akhirnya dalam kelelahan keduanya kembali ketitik semula.
Dewa Wisnu dengan jujur mengatakan bahwa tidak menemukan ujung dari cahaya tersebut. Dewa Brahma dengan menyodorkan setangkai bunga capaka atau ketaki, mengatakan bahwa sudah menemukan pangkal cahaya tersebut.
Ketika dialog sedang berlangsung tiba tiba terdengar dengingan suara OM.... bergitu panjang dan merdu dan dari dalam cahaya tersebut muncul satu sosok baru yang kemudian dikenal sebagai Dewa Siwa atau Mahadewa. Dewa Wisnu kemudian berkata ”rupanya anda muncul karena, pertengkaran kami berdua, siapa anda”. Dewa Siwa menjawab, ”Kita bertiga adalah bagian dari yang tunggal, dengan tugas masing-masing.
Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara ciptaan dan tugasku pada waktunya mengembalikan semuan ciptaan tersebut keasalnya. Karena Brahma sudah berbohong, mengatakan sudah menemukan pangkal dari cahaya ini, maka kupastu agar Brahma tidak banyak dipuja umat manusia. Demikian juga bunga capaka/ketaki yang dijadikan sarana berbohong kupantangkan untuk dijadikan sarana pemujaan kepadaku”.
Setelah Dewa Siwa berkata demikian, Dewa Brahma dan Dewa Wisnu sujud menyembah Dewa Siwa, yang selanjutnya gaib kedalam balok cahaya. Dari sini muncul tradisi pemujaan kepada Dewa Siwa, setiap malam yang paling gelap dalam kurun waktu tertentu. Balok cahaya tersebut adalah joytir linggam, yang merupakan lingga pemujaan ditempat Dewa Siwa pernah memberikan pemunculan ”darshan”.
Diseluruh India terdapat 12 joytir linggam, satu diantaranya di Kedarnath temple, dimana Dewa Siwa Muncul dihadapan Panca Pandawa yang melakukan tapasya pengampunan perasaan berdosa atas pembunuhan yang mereka lakukan selama Bharata yudha. Ditempat ini juga Sri Adi Sangkara acharya mokhsa setelah menyelesaikan tugas memurnikan ajaran Siwa pakca.
Pastu yang didapat Dewa Brahma ternyata terbukti, dimana hingga saat ini di India sangan sedikit dijumpai mandir pemujaan Dewa Brahma, sedangkan dimana-mana dijumpai dengan mudah Wisnu dan Siwa Mandir.
Di lingkungan kita, melaksanakan upacara dan brata Ciwaratri, yang pertama kita ingat adalah karya mahakawi Mpu Tanakung tentang Lubdhaka, dalam kekawin Siwaratrikalpa. ”Lubdaka” adalah tokoh pengejar kenikmatan duniawi, bahkan untuk mencapainya tidak segan melakukan himsa-karma.
Dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka bisa jadi telah numitis menjadi Lubdaka kontemporer. Reinkarnasi menjadi orang yang tidak pernah puas dengan harta dan tahta yang didapat.
Menjadi pemburu gunung, hutan, danau, teluk, dan laut, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan, tanpa memperhatikan kelestriannya. Walau saya yakin semeton pengayah adalah orang-orang yang berhati ikhlas.
Namun demikian malam pemujaan kepada Dewa Siwa, perwani tilem sasih kepitu, sepatutnya kita jadikan malam perenungan, sehingga menyadari kemungkinan adanya dosa dosa yang telah dilakukan dalam kurun waktu 12 perwani yang lalu.
Barangkali dapat menemukan jauh dalam diri masih tersembunyi Lubdaka kecil. Sadar akan dosa, dan berupaya untuk tidak mengulagi lagi, merupakan salah satu syarat cairnya dosa tersebut.
Selamat melaksanakan bratha Siwaratri, semoga anugrah Dewa Siwa menyucikan hidup ini. OM shanti, shanti, shanti OM.
sumber copas #group PAJK GN Salak
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan