KALA DAN KALI. Setiap kita mengadakan acara Dharma Santi, acara yang terangkai dengan penyambutan Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, kita senantiasa ingin merenungkan makna perjalanan "waktu", yang disebut sebagai Kala. Dalam kita Santi Parwa. Kala mendapat uraian penting dari Maharesi Wyasa, uraian yang disampaikan kepada Maharaja Yuddhistira : Bila menjadi kehendak Sang Kala, maka ilmu pengetahuan, mantra dan japa, demikian juga obat-obatan tidak akan membawa hasil.
Setelah menjelaskan secara mendalam tentang Sang Kala, juga Sang Kala Mretyu (Waktu Kematian, baca artikel terkait Menyadari Datangnya Kematian) yang mengerikan, Maharesi Wyasa membuat sebuah kesimpulan : " An mangkana purih niking janma, kinawasakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang budhhi, heneben wehen remegepang moksamarga "
Demikianlah keadaannya menjadi manusia dikuasai oleh waktu, dan biasanya menderita, oleh karena itu janganlah alpa, sucikanlah budi anda, tenangkan, berilah kesempatan untuk bermeditasi untuk mencapai alam "kebebasan".
Dalam karya-karya sastra, khususnya mahakawya Mahabharata dan Ramayana, senantiasa kita diajak untuk merenungkan hakikat Waktu itu, kita juga disarankan untuk "bersahabat" dengannya. Suatu kali Sri Rama bercakap-cakap dengan Sang Kala, ketika beliau mengunjungi Ayodhya, dan Sang Kala hadir berwujud seorang pandita (tapa-sarupa). Setelah bercakap-cakap dengan pandita siluman ini, tidak lama kemudian Sri Rama meletakkan kerajaan.
Agaknya para pemimpin diajarkan untuk memahami hakikat waktu itu. Maka dalam kitab Niti Sastra, sebuah kitab sastra-filsafat yang secara khusus ditulis untuk para pemimpin (niti) diuraikan secara mendalam dan menarik apa yang disebut zaman Kali, bagian keempat dari tahapan waktu atau zaman (Kali-Yuga). Menurut kitab ini siklus waktu ada empat tahapan disebut Catur Yuga; Kreta, Dwapara, Treta dan Kali. Kali-yuga adalah zaman kehancuran, ketika krisis terjadi dimana-mana. Ciri-ciri zaman Kali menurut kitab tersebut : ketika orang yang berkuasa adalah orang-orang kaya, dan semua lapisan masyarakat mengabdi kepada orang-orang kaya (dhaneswara). "Apabila zaman Kali tiba pada akhir masa, hanya kekayaan yang dihargai orang; kaum pejuang dan pemberani akan mengabdi kepada orang-orang kaya ( guna sura pandita widagdha pada mangayap ing dhaneswara ); semua pelajaran para pandita yang rahasia menjadi hilang, keluarga-keluarga yang baik dan para anak menipu dan mengumpat orang tuanya, orang-orang jahat mendapat penghargaan dan kepandaian ".
Selanjutnya dengan sangat mengesankan disuratkan : " Negara guncang dan diselubungi kebingungan, para pemimpin tidak lagi memberikan sedekah, melainkan disedekahi oleh orang-orang kaya ( ratu hina dina dinananing dhaneswara ). " Sementara itu struktur dan sistem alam menjadi kacau : pohon-pohon cempaka, cendana, nagasari yang harum ditebang untuk memagari pohon-pohon belatung yang berduri dan gatal; angsa, merak dibunuh untuk memanjakan burung gagak dan bangau, burung-burung pemakan daging.
Sungguh mengerikan gambaran yang diberikan terhadap zaman Kali itu, ketika Sang Kala (Mretyu) semakin mengicar manusia. Manusia tidak dapat menghindar dari Dewa Maut itu, karena waktu merupakan tubuhnya ( kala pinakawaknira ), ia memakan semua mahluk hidup yang ada ( sira ta amangan iking sarwabhawa ). Itulah Sang Kala, yang secara simbolik-religius adalah putra Hyang Siwa. Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)
Setelah menjelaskan secara mendalam tentang Sang Kala, juga Sang Kala Mretyu (Waktu Kematian, baca artikel terkait Menyadari Datangnya Kematian) yang mengerikan, Maharesi Wyasa membuat sebuah kesimpulan : " An mangkana purih niking janma, kinawasakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang budhhi, heneben wehen remegepang moksamarga "
Demikianlah keadaannya menjadi manusia dikuasai oleh waktu, dan biasanya menderita, oleh karena itu janganlah alpa, sucikanlah budi anda, tenangkan, berilah kesempatan untuk bermeditasi untuk mencapai alam "kebebasan".
Dalam karya-karya sastra, khususnya mahakawya Mahabharata dan Ramayana, senantiasa kita diajak untuk merenungkan hakikat Waktu itu, kita juga disarankan untuk "bersahabat" dengannya. Suatu kali Sri Rama bercakap-cakap dengan Sang Kala, ketika beliau mengunjungi Ayodhya, dan Sang Kala hadir berwujud seorang pandita (tapa-sarupa). Setelah bercakap-cakap dengan pandita siluman ini, tidak lama kemudian Sri Rama meletakkan kerajaan.
Agaknya para pemimpin diajarkan untuk memahami hakikat waktu itu. Maka dalam kitab Niti Sastra, sebuah kitab sastra-filsafat yang secara khusus ditulis untuk para pemimpin (niti) diuraikan secara mendalam dan menarik apa yang disebut zaman Kali, bagian keempat dari tahapan waktu atau zaman (Kali-Yuga). Menurut kitab ini siklus waktu ada empat tahapan disebut Catur Yuga; Kreta, Dwapara, Treta dan Kali. Kali-yuga adalah zaman kehancuran, ketika krisis terjadi dimana-mana. Ciri-ciri zaman Kali menurut kitab tersebut : ketika orang yang berkuasa adalah orang-orang kaya, dan semua lapisan masyarakat mengabdi kepada orang-orang kaya (dhaneswara). "Apabila zaman Kali tiba pada akhir masa, hanya kekayaan yang dihargai orang; kaum pejuang dan pemberani akan mengabdi kepada orang-orang kaya ( guna sura pandita widagdha pada mangayap ing dhaneswara ); semua pelajaran para pandita yang rahasia menjadi hilang, keluarga-keluarga yang baik dan para anak menipu dan mengumpat orang tuanya, orang-orang jahat mendapat penghargaan dan kepandaian ".
Selanjutnya dengan sangat mengesankan disuratkan : " Negara guncang dan diselubungi kebingungan, para pemimpin tidak lagi memberikan sedekah, melainkan disedekahi oleh orang-orang kaya ( ratu hina dina dinananing dhaneswara ). " Sementara itu struktur dan sistem alam menjadi kacau : pohon-pohon cempaka, cendana, nagasari yang harum ditebang untuk memagari pohon-pohon belatung yang berduri dan gatal; angsa, merak dibunuh untuk memanjakan burung gagak dan bangau, burung-burung pemakan daging.
Sungguh mengerikan gambaran yang diberikan terhadap zaman Kali itu, ketika Sang Kala (Mretyu) semakin mengicar manusia. Manusia tidak dapat menghindar dari Dewa Maut itu, karena waktu merupakan tubuhnya ( kala pinakawaknira ), ia memakan semua mahluk hidup yang ada ( sira ta amangan iking sarwabhawa ). Itulah Sang Kala, yang secara simbolik-religius adalah putra Hyang Siwa. Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan