Si Bhanggala membeli secutak tanah milik Si Jarembha. Setelah mendirikan rumah si Bhanggala membuat sumur di pojok pekarangan. Tanah pun digali, dan ternyata segumpal emas ia temui dalam galian itu.
Maka perdebatan pun terjadi. Orang-orang pada berdatangan, lalu menganjurkan supaya mereka menyampaikan persoalannya kepada maharaja Dharmawangsa.
Sang Dharmawangsa yang telah memerintah hampir empat puluh tahun sejak kemenangannya dalam peranbf besar Bharatayuddha melihat persoalan ini sebagai tanda-tanda zaman, terlebih lagi ciri-ciri alam pun menunjukkan bahwa zaman kehancuran akan tiba, zaman kali sanghara.
Ida Pedanda Made Sidemen mengolah cerita tersebut ke dalam bentuk kakawin yang indah. Kakawin Kalpha Sanghara, dikarang pada tahun Saka 1866 atau tahun 1944 Masehi. Tidak jelas dari mana pengarang besar Bali tersebut mendapatkan sumbernya. Tetapi dalam kitab Mosalaparwa, kitab ke-enambelas yang membangun Mahabharata kita menemui cerita lain yang maknanya sama.
Tiga puluh enam tahun setelah perang besar Bharata Yuddha berakhir, terjadilah pertanda alam yang buruk. Maharaja Dharmawangsa menyadari akan adanya tanda-tanda itu. Angin kering bertiup kencang. Debu, pasir dan bahkan batu-batu kerikil berterbangan dari berbagai penjuru. Cirit bintang berjatuhan menghantam bumi dengan bara panas berpijar. Matahari selalu bagaikan tertutup debu. Pada saat terbit dan terbenam bundaran matahari seolah-olah disilang oleh tubuh-tubuh tanpa kepala. Dan memang benar. Sang Dharmawangsa mendapat kabar tentang kehancuran bangsa Wresni. Bangsa ini hancur karena saling bunuh, yang merupakan perwujudan dari kutuk para pandita. Baca Sudahkah Dharma Mengalahkan Adharma ?
Bermula dari tindakan yang dilakukan oleh para ksatria untuk mengelabui para pandita : Sang Samba menyamar sebagai wanita hamil, labu beramai-ramai diarak dan diantar menghadap sang pandita. Salah seorang mengajukan pertanyaan apakah yang akan lahir dari kandungan tersebut. Dengan sangat marah para pandita tersebut menyatakan bahwa wanita hamil tersebut sesungguhnya adalah Sang Samba, dan ia akan melahirkan bom yang akan meledak dan menghancurkan bangsa-bangsa Wresni dan Andakasa. "Kalian semua sungguh berhati jahat, kejam mabuk kesombongan. Kalian akan saling bunuh dan bom-bom besi akan memusnahkan seluruh bangsa ini", kutuk para pandita.
Maka hancurlah bangsa Wresni dalam perang saudara itu. Memang mereka diselimuti oleh kemabukan, kesombongan, asusila. Dalam kitab ini disebutkan hanya Janardhana atau Sri Kresna di antara bangsa Wresni yang bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kesusilaan. Maka Beliaupun terbebas dari kehancuran itu.
Tjokorda Mantuk Dirana, raja Badung yang melakukan puputan mengolah cerita itu dalam sebagian karya besarnya Geguritan Purwa Sanghara. Raja yang pengarang produktif ini menulis; Reh kocap tan saking sastra, tan mantra tatan mas manik, sida manulak sanghara, kewala sane asiki, kasusilaning budi, punika kangken perau, kukuh kaliwat-liwat, tuara keweh tempuh angin, sida mentas saking sanghara sagara. Sebab bukan sastra, bukan pula mantra atau emas permata, yang mampu menolak sanghara, hanya satu, yaitu kesusilaan budi, yang bagaikan perahu yang kukuh, yang tiada goyah diterpa angin, yang akan mampu menyebrangi lautan sanghara.
Sebuah perbandingan yang sangat berkesan, tetapi juga sebuah penegasan yang amat penting; hanya dengan kesusilaan budi kita dapat menyebrangi lautan zaman kehancuran. Sumber bacaan buku Wija Kasawur Ki Nirdon 1992. (RANBB)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan