TERJADINYA PUNARBHAWA
Telah diuraikan bahwa Punarbhawa
(Samsara) saling jalin-menjalin dengan hukum Karma, yang meliputi; Karma,
pahala, dan Waҫana (sisa atau bekas Karma).
Punarbhawa; lahir kembali, Samsara; rentetan
daripada kelahiran yang berulang kali, sebelum mencapai kebebasan yang mutlak (Moksa).
Selain dari itu ada suatu istilah : Awatara.
Awatara berarti Perwujudan Sang Hyang
Widdhi ke dunia dengan mengambil salah satu bentuk yang dengan perbuatan
dan ajaran-ajarannya memberi tuntunan untuk membebaskan manusia dari
kesengsaraan yang diakibatkan oleh kegelapan (Awidya).
Bhagawad Gita IV 7 :
“Kapan saja Dharma (kebenaran) mulai runtuh dan
A-Dharma (kejahatan) mulai merajalela, Aku menjelma kembali ke dunia untuk
menegakkan Dharma (kebenaran).”
Dalam Purana dijelaskan adanya
Dasa Awatara, yaitu Penjelmaan Wisnu ke dunia sebanyak 10 kali, namun Awatara yang kesepuluh belum turun.
Adapun nama-nama kesepuluh Awatara tersebut
adalah :
1. Matsya : Ikan
2. Kurma : Kura-kura, Penyu
3. Waraha : Badak, Babi Besar
4. Narasinga : Manusia Berkepalakan kepala Singa
5. Wamana : Orang Kerdil, Cebol, Katek
6. Paraҫurama
:
Rama yang bersenjatakan
Kampak
7. Rama : Rama (Raghutama) dalam Ramayana
8. Krishna : Krishna Putra Wasudewa,Raja Dwarawati
9. Buddha : Putra Raja Ҫuddodhana dengan Dewi Mahamaya
10. Kalki : Awatara yang akan datang
Kini mari kita bicarakan bagaimana proses terjadinya Punarbhawa menurut ajaran Agama Hindu
(Hindu Dharma). Punarbhawa (Samsara) atau
kelahiran ke dunia yang berulang kali ini disebabkan oleh terikatnya Atma (Jiwatma) oleh Maya, Awidya, kegelapan, kebodohan dan Hukum Karma.
Karma yang meliputi : pikiran, kata-kata, perbuatan jasmani, yang digerakkan
oleh kehendak (keinginan) mempengaruhi raga Ҫarira
(Badan Wadag) manusia yang terdiri dari Panca
Mahabhuta dan mempengaruhi pula Suksma
Ҫarira (Badan halus, rohani) yang terdiri dari : Buddhi, Manah, Ahamkara, Indriya dan Panca Tan Matra (benih tak terukur yang menjadikan Panca Mahabhuta). Pada kelahiran ke
dunia ini sudah merupakan ikatan Karma dan
Samsara.
Pada masa kehidupan ini mulai dari lahir sampai meninggal dunia maka
telah tercatat (terekam) timbunan Karma
baik dan buruk. Setelah meninggal dunia, badan wadag hancur kembali ke Panca Mahabhuta, sedangkan Suksma Ҫarira yang memuat rekaman Karma menerima pahalanya di alam Neraka
maupun di alam Sorga, sesuai dengan Ҫubha
A-Ҫubha Karma (baik-buruk perbuatannya).
Weda Smreti (Dharma Ҫastra)
VI. 63 :
“Tentang perpisahan jiwa seseorang dari badannya ini
serta tentang kelahiran dari pada rahim lain dan tentang pengembaraan Jiwa
melalui sepuluh ribu juta penjelmaan.”
Weda Smreti (Dharma Ҫastra)
VI. 64
“Tentang kesaktian yang dialami Jiwa dalam badan oleh
tidak adanya kebajikan serta kebahagiaan abadi yang dinikmati yang disebabkan
oleh tercapainya tujuan utamanya yang dihasilkan berkat kebijaksanaan
rohaninya.”
Adapun menurut penjelasan tersebut bahwa Punarbhawa (Tumimbal Lahir) nya Atma
(Jiwatma) ke dunia serta alam lainnya dapat berujud berbagai macam
penjelmaan, apakah sebagai Dewa, Manusia,
Binatang, Bhuta dan sebagainya, dimana dinyatakan ada sepuluh ribu juta
jenis penjelmaan.
Setiap Suksma Ҫarira yang
dihidupi oleh Atma sebelum mencapai
kesucian yang mutlak, akan terus menerus mengalami Samsara dari satu kehidupan menuju kehidupan yang lainnya sesuai
dengan tingkat Karmanya
masing-masing.
Dalam Itihasa (Wiracarita) seperti
Ramayana dan Mahabharata banyak dikisahkan mengenai Tumimbal Lahir atau penitisan, bahkan para Dewa pun turut lagi menjelma ke dunia menyempurnakan kesuciannya
untuk dapat menikmati Moksa (Nirwana)
Mengenai alam tempat Punarbhawa banyak
jenisnya. Ada Punarbhawa di alam Dewa, alam Manusia, alam Binatang (Bhuta
dan sebagainya). Menurut ajaran filsafat Hindu ada tingkatan alam yang disebut Sapta
Loka, terdiri dari pada :
- Bhur Loka
- Bhuwah Loka
- Swah Loka
- Tapa Loka
- Jana Loka
- Maha Loka
- Satya Loka
Sapta Loka itu sering disingkatkan saja menjadi Tri Loka :
- Bhur = Alam Bumi
- Bhuwah = Alam Atmosfir
- Swah = Alam Sinar, Swarga, Surga, Dewa
Singkatnya Atma (Jiwatma) atau
Suksma Ҫarira, mengembara dengan Karma Wasana (sisa, bekas) Karma menuju alam yang sesuai dengan
jenis Karmanya.
Demikian pula pakaian (badan) baru yang akan diperolehnya semua
bergantung dari Karma; mungkinlahir
sebagai manusia tetapi kalau Karmanya
jelek akan lahir sebagai binatang.
Dengan keadaan ini, dapat kita lihat di masyarakat ada yang dilahirkan
di tempat orang kaya, ada di tempat orang miskin, ada yang lahirnya tampan,
bijaksana dan kaya, tetapi di pihak lain ada yang kelahirannya cacat, miskin,
jelek, bodoh dan sebagainya.
Itu semua akibat dari pada hasil Karmanya
sendiri di masa yang telah lalu. Memang Tuhan (Sang Hyang Widhi) yang menciptakan dunia beserta isinya, secara
universal, adil dan cinta kasih, namun kemudian selanjutnya Karma mahluk itu sendirilah yang akan
menentukan kehidupan berikutnya.
Berikut ini beberapa petikan dari Weda
Smreti (Manawa Dharma Ҫastra) perlu kita renungkan pengertiannya sehubungan
dengan Punarbhawa.
Weda Smreti XII.9
“Sebagai akibat dari pada dosanya yang dilakukan oleh
badan, seseorang akan menjadi benda tak bernyawa kelak pada kelahirannya
kemudian, sebagai akibat dosa yang dibuat oleh kata-kata menjadi burung atau
binatang buas dan sebagai akibat dosa
yang dibuat oleh pikiran ia akan lahir ke kelahiran yang rendah.”
Weda Smreti XII.15 :
“Dari badannya lahir bermacam-macam untuk kelahiran
yang terus-menerus memaksa aneka ragam mahluk untuk berbuat.”
Weda Smreti XII.40 :
“Mereka yang memiliki sifat-sifat yang satva akan
mencapai alam Dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajah mencapai alam
manusia, dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamah akan terbenam pada
sifat-sifat alam binatang, itulah tiga jenis jalan perobahan.”
Weda Smreti XII.74 :
“Dengan mengulang perbuatan-perbuatan dosa yang mereka
lakukan, mereka yang sedikit perngertiannya menderita siksaan hidup ini dalam
berbagai macam kelahiran.”
Karena diri kita sendiri merupakan pusat terjadinya Punarbhawa (Samsara), maka hendaknya dalam kesempatan hidup sebagai
manusia ini kita gunakan benar-benar untuk melaksanakan ajaran Dharma, kesempurnaan serta kesucian,
supaya dapat tahap demi tahap menuju kesempurnaan serta tujuan terakhir, yaitu Moksa (kebahagiaan yang kekal abadi).
Selanjutnya pada
Weda Smreti (Manawa Dharma Ҫastra) Bab
IV. 239 s/d 242.
Weda Smreti (Manawa Dharma
Ҫastra) IV. 239.
"Karena di dunia sana, bukannya ayah, tidak pula
ibu, tidak pula istri, bukannya anak-anak, bukan pula sanak keluarga yang
tinggal sebagai kawan-kawannya. Kebajikan-kebajikan Spiritual sajalah yang
tinggal bersama dirinya.”
Weda Smreti (Manawa Dharma
Ҫastra) IV. 240.
“Sendirianlah seseorang itu lahir, sendirian pulalah
ia meninggal, sendirianlah ia menikmati pahala perbuatan baiknya dan sendirian
pulalah ia menerima hukuman dosa-dosanya.”
Weda Smreti (Manawa Dharma
Ҫastra) IV. 241.
“Meninggalkan badan wadagnya di bumi sebagai sepotong
kayu atau segumpal tanah sanak keluarga meninggalkan dengan muka berpaling,
maka hanya kebajikan-kebajikan spiritual yang terus mengikuti jiwa.”
Weda Smreti (Manawa Dharma
Ҫastra) IV 242.
“Oleh karena itulah hendaknya ia sedikit demi sedikit
mengumpulkan kebajikan-kebajikan spiritual untuk nantinya menjadi kawannya
setelah meninggal, karena dengan kebajikan sebagai kawannya ia akan bisa
menembus kegelapan yang sukar ditempuh dalam perjalanan ke dunia berikutnya.”
Demikianlah isi pustaka suci tersebut untuk direnungkan bersama serta
melaksanakan amanat-amanat penting yang tercantum di dalamnya.