Tempat Suci Sebagai Obyek Wisata
Banyak sekali tempat suci berbagai agama yang menjadi obyek wisata. Beragam hal yang menarik bisa dilihat wisatawan. Ada mengenai artsitekturnya, sejarahnya, lokasi tempatnya berdiri yang begitu indah, atau gabungan dari unsur-unsur itu.
Orangyang ke Roma (Italia) pasti berniatmengunjungi Kota Suci
Vatikan.Kota Vatikan adalah salah satu obyek wisata menarik di dunia.
Wisatawan mengagumi arsitekturnya, koleksi yang bersejarah, tentu pula
suasana religius untuk wisatawan yang beragama Katolik. Karena ini
adalah tempat suci, tak semua ruangan bisa dimasuki wisatawan. Kapel
Sistina, misalnya, di mana para kardinal berkumpul pada saat pemilihan
Paus yang baru, tak bisa dimasuki wisatawan. Pada hari-hari tertentu
keagaman Katolik beberapa bangunan juga steril dari pengunjung.
Di India, tempat suci umat Hindu pun menjadi obyek wisata yang menarik,
tak hanya dikunjungi oleh pemeluk Hindu. Bahkan ada masjid atau tempat
suci umat Islam yang menjadi obyek wisata yang penuh sesak pengunjung.
Yakni Taj Mahal yang terletak di Agra. Arsitekturnya sangat dikagumi
orang.
Di dalam negeri begitu banyak tempat suci di luar tempat suci umat
Hindu yang jadi obyek wisata. Bukan saja pura yang dikunjungi wisatawan,
juga masjid, gereja dan wihara. Masjid Istiqlal di Jakarta tiap hari
(kecuali Jumat) dikunjungi pelancong yang tak semuanya beragama Islam.
Ini masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun oleh Presiden
Soekarno pada 21 Agustus 1951. Arsitektur masjid bertingkat lima ini
justru dibuat oleh penganut Kristen Protestan yaitu Frederich Silaban.
Masyarakat non-Muslim yang berkunjung ke masjid ini sebelumnya mendapat
pembekalan informasi mengenai Islam dan Masjid Istiqlal, seperti halnya
wisatawan yang berkunjung ke Pura Besakih mendapat informasi dari
pemandu wisata. Tentu ada aturan yang harus dipatuhi, misalnya, melepas
alas kaki, tidak merokok dan berlaku sopan. Saya beberapa kali
berkeliling ke sini terutama melihat perpustakaannya. Kebetulan di
masjid ini juga berkantor berbagai ormas Islam.
Masjid Kudus yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus, juga
menjadi daya tarik wisatawan. Masjid yang dibangun tahun 1530oleh Sunan
Kudus (nama asli Ja’far Sodiq)ini memanfaatkan peninggalan kuil Hindu
yang dijadikan menara masjid, sampai kini. Bahkan karena memakai
peninggalan budaya Hindu, Sunan Kudus meminta masyarakatnya untuk tidak
menyembelih sapi, menghormati agama Hindu yang memuliakan sapi. Sampai
sekarang tak ada penyembelihan sapi di Kudus, di sana yang terkenal
daging kerbau. Kalau pun ada dijual sate sapi, daging sapi itu
didatangkan dari Pati. Masjid Menara Kudus dijadikan lambang perpaduan
harmonis budaya Hindu dan Islam dengan arsitekturnya yang tinggi. Saya
berkali-kali ke masjid ini.
Masjid Agung Demak pun menarik bagi wisatawan. Ini masjid peninggalan
Wali Songo yang dibangun tahun 1479. Masjid ini mengungkap banyak sekali
sejarah Islam di Tanah Jawa selain arsitekturnya yang sangat dikagumi
dengan begitu banyak tiang penyangga. Kisah unik adalah pembangun soko
guru (tiang utama) masjid. Sunang Bonang membuat tiang di bagian barat
lau, Sunan Kalijaga di timur laut, Sunan Ampel di tenggara, Sunan Gunung
Jati di barat daya. Satu dari tiang utama ini tidak memakai kayu yang
utuh, tetapi potongan-potongan kayu yang direkatkan begitu saja.
Masjid Menara Kudus dan Masjid Agung Demak sudah masuk ke dalam
destinasi pariwisata nasional. Dalam rencana induk kepariwisataan
nasional 2011-2026 masjid-masjid ini masuk dalam KPPN (Kawasan
Pengembangan Pariwisata Nasional) dan belum berhasil masuk ke dalam KSPN
(Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Tinggal menunggu giliran saja.
Gereja Katedral Jakarta yang berdiri kokoh di sebelah utara Lapangan
Banteng Jakarta setiap hari dikunjungi banyak wisatawan. Bahkan gereja
umat Katolik yang bangunannya bergayaarsitektur neo-Gotik ini
dijadikancagar budaya nasional. Ini membuat gereja itu terpelihara
dengan baik dan koleksinya terus bertambah. Kita di Bali jangankan
menjadikan Pura Besakih sebagai cagar budaya, untuk dijadikan warisan
budaya dunia saja menolak, bahkan kini masuk KSPN juga ditolak. Takut
kesuciannya luntur, padahal terbukti gereja dan masjid terkenal tak
pernah takut kesuciannya luntur hanya karena wisatawan.
Tentu ada bagian-bagian yang suci dan bagian-bagian yang bebas untuk dinikmati. Gereja Katedral Jakarta yang dibangunpada 1891 ini dilengkapi museum yang padat dikunjungi wisatawan. Salah satu yang menarik, misalnya, bagian yang menyimpan busana rohaniawan Katolik, mulai dari jubah, topi, kasula berbagai warna. Kasula adalah lapisan terluar busana yang dikenakan rohaniwan Katolik. Warna kasula yang dikenakan seorang pastor memiliki makna tertentu. Kasula berwarna putih biasanya dipakai untuk ibadah sehari-hari, sedangkan ungu dan merah digunakan untuk acara duka seperti misa tutup peti dan paskah.
Hal serupa juga saya lihat ketika mengunjungi vihara yang disebut-sebut
sebagai terbesar di Asia, yaitu Maha Vihara Duta Maitreya di kota
Batam. Banyak sekali ornamen yang digunakan oleh para bhiku dalam ritual
maupun pernik-pernik ritual itu sendiri. Pengunjung bahkan bisa membeli
replikanya untuk kenang-kenangan.
Belajar dari sejumlah tempat suci non-Hindu yang jadi obyek wisata dan
mau dikembangkan menjadi kawasan strategis pariwisata, saya lalu
membayangkan Pura Besakih menjadi tempat suci yang juga kawasan
strategis pariwisata. Boleh saja Pura Besakih tak perlu dijadikan cagar
budaya seperti Kaderal Jakarta, karena kita takut. Atau tetap menolak
dijadikan warisan budaya dunia seperti Taj Mahal dan sebagainya, karena
kebetulan pendaftarannya sudah selesai. Namun, sekiranya Besakih mau
dimasukkan dalam KSPN “Besakih – Gunung Agung dan Sekitarnya” dan
kemudian terbentuk Badan Otorita Besakih, maka pura ini akan bersinar
kesuciannya dan menjadi obyek wisata yang menarik.
KSPN Besakih itu yang dibangun pusat, hanya jalan lokal ke hutan lindung untuk melindungi flora dan fauna. Namun karena target wisata
adalah tempat ibadah atau peninggalam masa lalu, dana dari pusat bisa
dikelola Badan Otorita untuk membangun hal-hal di luar areal suci.
Seperti halnya Katedral yang areal kebaktiannya tak bisa dimasuki turis,
Pura Besakih tak bisa dimasuki turis pada bagian manda utama (jeroan). Semua jeroan
tak boleh dimasuki apalagi yang mahasuci Penataran Padma Tiga. Apapun
alasannya, jika tidak bersembahyang, tak boleh masuk ke sana. Nah di
luar itu lorong-lorong dibangun yang bagus. Wantilan Besakih di jaba
bisa dijadikan museum (atau membangun yang baru), pamerkan berbagai
sarana ritual, dokumentasi yadnya dan – meniru Katedral – pamerkan
busana sembahyang. Kalau walaka (orang biasa) bagaimana busananya, kalau
pemangku bagaimana, kalau sulinggih bagaimana pernik-pernik dan artinya
itu. Sekarang ini banyak yang tak tahu apa arti warna ketu (bawa) sulinggih, apa arti genitri dan sebagainya.
Kesucian Besakih tak akan ternoda kalau kita meniru Katedral. Juga
meniru masjid-masjid, di mana saat sholat Jumat tak boleh ada kunjungan
turis. Nanti di Besakih diperlakukan pula, saat ada Panca Wali Krama
dan sejenisnya Pura Besakih ditutup untuk wisatawan. Besakih jadi
semakin suci (dibandingkan sekarang) dan semakin tertata rapi jika Badan
Otorita mau menata lingkungannya. Dana KSPN bisa ditarik untuk ini.
Tapi kalau KSPN sudah ditolak, ya sudahlah, kita akan tetap melihat
Besakih yang semerawut seperti sekarang, pedagang merangsek sampai
lorong-lorong dan turis seenaknya masuk Penataran asal memakai kain.
Kita kekurangan dana mengelola tempat suci ini jika hanya mengandalkan
Pemda. Mengurusi sampah upacara saja sulit.
sumber : http://m.mpujayaprema.com/index.php/?x=r&i=286