Puja, Prathana, Japa dan Mantram
Puja
adalah pengucapan mantram yang sudah baku untuk memuja kebesaran Tuhan. Dalam
Puja ini kita bisa memohon suatu anugrah kepada Tuhan lewat Istadewata. Melakukan
Puja Trisandya dan Karamaning Sembah adalah contoh dari melakukan puja ini.
Ritual ini bisa dilakukan bersama-sama, tetapi ada aturannya baik dberupa cara
duduk, mau pun sarana. Kapan sembahyang memakai bunga, kapan memakai kuangen,
kapan tangan kosong, misalnya.
Prathana
adalah berdoa yang sebenarnya. Kita berdoa melakukan permohonan kepada Tuhan,
tetapi tidak dibatasi oleh sikap tubuh maupun sarana. Mantram pun tak harus
baku, bahkan bisa bebas dengan dengan bahasa sehari-hari. Juga bisa tak terucapkan,
hanya di dalam hati. Misalnya, ketika mendengar ada seorang yang meninggal
dunia, kita langsung memberikan doa. Atau ada rintangan di jalan. Apakah saat
itu kita sedang menyetir mobil atau minum kopi di ruang tamu. Karena begitu
bebasnya dan sifatnya pun pribadi, berdoa cara ini tak harus bersama-sama.
Japa
adalah pengucapan nama suci Tuhan secara berulang-ulang, baik dihitung dengan
sarana genitri atau japamala, mau pun tak terbatas. Japa selain itu mendekatkan diri pada Tuhan juga bagus untuk mendisiplinkan
pikiran. Japa bisa dilakukan bersama-sama, tetapi karena tujuan sering tidak
sama, begitu pula berapa lama japa tidak sama, maka lebih baik dilakukan
sendiri.
Mantram adalah doa yang diucapkan dengan kata-kata yang sudah baku yang diambil dari kitab Weda. Tujuannya jelas, cara pengucapannyapun baku, meski iramanya bisa mengikuti budaya setempat. Mantram ini yang biasa dilakukan oleh seorang sulinggih dalam mempin ritual sebelum mengajak umat sembahyang bersama. Tidaklah mungkin mantram dilantunkan bersama-sama, kecuali Puja Trisandhya yang sesungguhnya adalah enam bait mantram dari berbagai sumber disatukan. Puja Trisandhya adalah kearifan Hindu Nusantara agar kita punya sarana untuk berdoa bersama. Di luar Bali, terutama umat Hindu etnis Jawa, seringkali melakukan Panca Sembah juga dengan melantunkan bersama-sama. Karena mereka taat dengan pedoman baku yang sudah disusun dan disebarkan. Namun di Bali agak sulit, karena sulinggih atau pemangku seringkali melantunkan mantram yang berbeda dari yang sudah dijadikan pedoman dalam buku. Misalnya, mantram kedua Panca Sembah tatkala memuja Hyang Raditya untuk “memohon kesaksian”. Ada banyak jenis mantram untuk memuja Raditya, kalau ternyata umat dan sulinggih saling beda mengambil sumber, bisa kacau dan selesainya pun tak bersama. Karena itu umat cukup diam saja menunggu mantram sulinggih.
Keempat cara berkomunikasi dengan
Tuhan penting untuk dibedakan agar ritual yadnyanya lebih rapi dan khusyuk. (sumber kutipan Dharma Wacana :
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas kunjungan dan kesan yang telah disampaikan