ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA LONTAR
KRAMA PURA, PUTRU PASAJI, TATTWA
SANGKANING DADI JANMA,
DEWA RUCI, CATUR YUGA (2008)
KRAMA
PURA
Lontar Krama Pura yang dialihaksarakan ini adalah lontar
yang ditulis oleh Putu Mangku dari Banjar Jro Dikit Seririt pada Tahun Saka
1919 (1997 M). Lontar Krama Pura tergolong naskah muda karena dilihat dari
bahasa yang dipakai sebagai wahananya yaitu bahasa Kawi-Bali. Lontar ini
termasuk lontar sesana, yang lebih mengkhusus pada tata cara masuk tempat suci.
Dalam lontar ini disebutkan bahwa orang yang bertindak
sebagai pengemong pura hendaknya waspada dan mematuhi ajaran Sangyang Dewa
Sasana tentang tata cara orang masuk pura. Bila krama desa ingin menghaturkan
sesajen, pada saat membuat hendaknya disucikan dahulu dengan tirtha dari
Sulinggih karena sesajen yang tidak diperciki tirtha dianggap kotor (leteh).
Penyebab kekotoran itu adalah dilangkahi anjing, dilangkahi manusia, dipakai
mainan oleh anak-anak, hasil belanjaan di pasar yang dijual oleh orang kotor,
diterbangkan ayam, kena rambut, bedak, ludah. Bila banten tersebut dihaturkan,
dianggap akan dapat mengusir dewa dan mengundang bhuta.
Selain itu, orang yang tidak boleh masuk pura adalah orang
gila, orang yang menstruasi, orang cuntaka karena kematian, pencuri. Di areal pura,
orang dilarang untuk marah sampai memaki-maki, bicara ngacuh, bersanggama,
berselingkuh, bahkan untuk memperbaiki pakaian. Yang paling dilarang masuk pura
adalah orang panten (orang yang dosanya tidak terampuni), yaitu orang
yang memperkosa, yang laki-laki dari golongan sudra sedangkan wanitanya dari
golongan tri wangsa (brahmana, ksatriya, wesya). Orang yang mengawini yang
tidak patut dikawini (gamia-gamana) juga dilarang masuk pura. Ada juga yang
disebut cacilaka, yaitu seorang wanita yang telah cukup umur namun tidak
menstruasi, walaupun sudah berobat pun juga tidak menstruasi, dilarang masuk
pura lebih-lebih untuk membuat perlengkapan sesajen.
PUTRU
PASAJI
Lontar yang dialihaksarakan ini adalah lontar koleksi
pribadi Perpustakaan Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Dalam lontar ini disebutkan ada ikan/daging yang dilarang
untuk dijadikan persembahan, karena akan menghilangkan kesucian sehingga
kembali pada papa dan neraka. Dalam Pitra Yadnya, ada banyak jenis ikan yang
dapat dijadikan persembahan kepada sang pitara. Lamanya kesenangan yang dapat
diberikan oleh masing-masing ikan berbeda. Ikan laut kualitasnya paling rendah
karena dapat memberikan kesenangan hanya selama satu bulan. Sedangkan
ikan/daging yang kualitasnya tertinggi adalah badak, karena akan dapat
memberikan kesenangan selamanya di sorga.
Dalam lontar ini disebutkan juga nama beberapa gunung
seperti: Gunung Malaya, Suktiman, Wreksawan, Himawan, Makuta, dan Nindana yang
harus dilalui oleh para pitara menuju sorga. Pada gunung-gunung itulah tempat
penyiksaan para pitara yang berdosa menunggu untuk dientas agar bisa
masuk sorga. Pitara yang telah dientas kemudian masuk sorga memperoleh
penyambutan yang luar biasa dari makhluk-makhluk kahyangan. Dengan diantar oleh
burung kahyangan, Sang Wimana, sang pitara dapat menyaksikan keindahan
masing-masing sorga.
Dalam sorga disebutkan ada banyak sorga seperti: Iswarapada,
Brahmaloka, Budhaloka, Wisnupada, Swarga Manik, Sri Manuh, Indrapada, Darapada,
Wilasatya, Siwapada, Ganda Langha Jandewa Pralabda, dan lain-lain. Sorga-sorga
itulah tempat bagi atma yang telah dientas dan sesuai dengan pekerjaannya di
bumi ketika masih hidup. Misalnya, ketika masih hidup dia suka belajar,
menggubah kidung, pralambang, akan tinggal di Swarga Manik, yaitu kahyangan
Sanghyang Saraswati.
Amanat dari Lontar Putru Pasaji ini adalah agar keluarga
yang ditinggalkan segera melaksanakan upacara bagi yang meninggal, agar tidak
berlama-lama menderita dan bisa segera masuk sorga. Dalam melaksanakan upacara
agar dipilih ikan/daging yang dianjurkan agar dapat memberikan kesenangan
kepada para pitara di sorga. Sesorang jika telah berhasil melaksanakan upacara
terhadap orang yang telah meninggal, ia akan memperoleh pahala dari pelaksanaan
upacara itu. Ada empat pahala yang akan dinikmati, seperti: saksi, bhakti,
sura, dan wira. Lebih-lebih jika upacara itu dilaksanakan dengan didasari hati
yang suci dan tulus ikhlas.
TATTWA
SANGKANING DADI JANMA
Tattwa Sangkaning Dadi Janma adalah sebuah pustaka lontar
yang memuat ajaran tentang hakikat Siwa. Lontar ini mengacu pada pustaka yang
lebih tua seperti, Bhuwanakosa, Wrehaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Jnana
Siddhanta, Ganapati Tattwa.
Materi Pokok yang diajarkan dalam pustaka Tattwa Sangkaning
Dadi Janma adalah pengetahuan rahasia, yaitu tentang ilmu kadyatmikan, ilmu
untuk melepaskan Sang Hyang Urip untuk kembali ke asalnya atau kamoksan,
kalepasan, kesunyataan.
Janganlah mengajarkan kepada murid yang tidak mentaati tata
krama. Dan kepada orang yang tidak terpelajar, rahasiakanlah ajaran Beliau para
Resi, sebab murid yang pandai tetapi tidak bermoral, tidak mentaati tata krama
dan tidak hormat kepada guru, itu akan mendapat petaka besar bagi si murid.
Sebaliknya, walaupun murid itu agak kurang, kalau mentaati ajaran tata krama
dari guru, pastilah murid itu akan berhasil.
DEWA
RUCI
Dewaruci dimulai dengan cerita keberangkatan Sang Bhima atas
perintah Bhagawan Drona ke laut untuk mencari Toya Amreta. Terlihat olehnya
tepi laut dengan ombaknya beriak, bergulung menerjang batu karang. Dengan tiada
rasa takut ia menceburkan diri ke dalam laut, diempas gelombang, ditindih air.
Tiba-tiba datanglah seekor ular besar bernama Si Nakatnawa
mengambang di atas air. Ular yang sedang kelaparan itu kemudian menyerang Sang
Bhima dengan sangat buas. Akan tetapi ular tersebut akhirnya dapat ditangkap
oleh Sang Bhima, lalu dipotong-potong dengan kukunya sehingga air laut menjadi
merah karena darah ular itu.
Tersebutlah Sang Hyang Wisesa, sangat kasihan terhadap Sang
Bhima. Sang Bhima sangat senang melihat Sang Hyang Wisesa yang berbadan kecil
seperti boneka. Sang Hyang Wisesa bertanya apa tujuan Sang Bhima datang ke
tengah laut yang berbahaya itu. Sang Bhima pun menjawab bahwa tentunya Sang
Hyang Wisesa telah mengetahuinya. Sang Bhima kemudian menanyakan nama Sang
Hyang Wisesa sebagai resi berbadan kecil. Sang resi menjawab ia adalah
Dewaruci. Kemudian ia memberi wejangan kepada Sang Bhima agar jangan gegabah
berbuat. “Janganlah mencari bila belum tahu apa yang dicari”.
Dewaruci senang karena sang Bhima mau menerima ajarannya. Ia
menyuruh Sang Bhima masuk ke dalam garbanya (perutnya) melalui telinga kirinya.
Setelah Sang Bhima masuk, dilihatlah olehnya lautan yang amat luas, alam
kosong. Kemudian Sang Resi kembali mewejang tentang indriya, tentang dasa, tiga
musuh sang pertapa, tentang subyek dan obyek, tentang yang tunggal menjadi
banyak, tentang jiwa, tentang Tuhan yang tanpa wujud, tanpa ruang.
CATUR
YUGA
Lontar ini pada intinya menceritakan tentang seorang raja
yang bertahta di kerajaan Purbbhasasana bergelar Maharaja Bhanoraja sedang
mencari pertimbangan dari para pendeta, para mahaguru, para mentri, dll.,
perihal putrinya yang bernama Dewi Ratnarum yang hendak dilamar oleh raja dari
Negara Sunyantara yang bergelar Sri Maharaja Rekatabyuha yang sangat kaya dan
gagah berani, akan tetapi berjiwa jahat karena dipengaruhi oleh zaman kali.
Para pendeta, mahaguru pun memberi pertimbangan/petuah
kepada sang raja. Pada zaman dahulu, disebutkan bahwa Hyang Parameswara (Sang
Hyang Siwa) memberikan ajaran tentang Catur Yuga. Empat perbedaannya yaitu:
Kretha Yuga, Traita Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Kretha Yuga lamanya
4.444.400 tahun, Traita Yuga 3.333.300 tahun, Dwapara Yuga 2.222.200 tahun, dan
Kali Yuga 1.111.100 tahun lamanya.
Pada zaman Kretha Yuga, keadaan manusia tidak banyak
mengalami perubahan, tidak tertimpa rasa sakit, tidak akan mati semasih bayi,
tidak memikirkan baik buruk, mati hidup, suka duka, sakit lapar. Adapun umur
manusia pada Zaman Kretha Yuga adalah seratus ribu tahun, sepuluh-puluh
kurangnya, kecatur sunyaning rat.
Pada Zaman Traita Yuga, demikian juga tentang umur manusia
selalu suka, lima ratus tahun umurnya, ukurannya lima-lima, tiga kakinya dunia,
seperti air dalam perigi, berkurang sekendi dari tempurung kelapa, mendung yang
tebal akan menjatuhkan hujan, selaku dalam keadaan suka semua manusia, tidak
ingat dengan hari tua.
Zaman Dwapara Yuga, dua ratus tahun umurnya manusia,
ukurannya dua-dua, dua kakinya dunia, demikianlah ukuran manusia patut
disikapi, berlaksana harus bijaksana, pemberani, tahu tentang siasat, tahu
dengan tanda-tanda, dapat mengendalikan indera, sayang kepada orang melarat,
kasih kepada orang yang tahu membalas budi, taat aturan, melaksanakan ajaran
weda, dll.
Zaman Kali Yuga, seratus tahun umurnya manusia, ukurannya
satu-satu, satu kakinya dunia, itu sebabnya huru-hara di dunia, hampir-hampir
rusak tiada tara, mendung tebal akan menurunkan hujan, perigi akan kering,
nempuluh tahun penuh dengan kekerasan, itu yang disebut sapta, tiada tenggelam
di Barat, selalu berpisah tiada mau bersatu, dari Utara datangnya ciri-ciri
yang tidak baik. Dari hal itu timbullah Tri Mala. Itulah sebanya dunia manjadi
kacau, bisa merajalela menyakiti, merampok, memperkosa, membunuh sesama manusia
yang tidak berdosa, aneka rupa kejahatan di muka bumi, yang berlaksana benar
mati, yang sombong hidup dan mendapatkan kesenangan, tamak, bersifat kejam.
Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html